Manusia: Hamba dan Khalifah

Nadzar doa nabi isa

Ilustrasi

Oleh: M Husnaini

Di antara dua peran penting manusia adalah sebagai hamba dan khalifah. Sebagai hamba Allah, posisi manusia adalah sama dengan makhluk-makhluk lain. Hakikat penghambaan adalah ketundukan dan ketaatan total kepada Allah. Hamba Allah yang baik senantiasa ingat bahwa ibadah secara bagus dan istiqamah itulah tujuan penciptaan dirinya.

Selain peran sebagai hamba yang bersifat vertikal, manusia juga mempunyai peran horizontal, yaitu sebagai khalifah Allah di muka bumi. Tugas khalifah adalah menjadi wakil Allah untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Karena Allah telah menyediakan semua yang ada di bumi untuk kesejahteraan manusia, sudah seharusnya manusia merawat dan melestarikan segala fasilitas dari Allah sebagai bentuk syukur sekaligus pelaksanaan peran kekhalifahan.

Kedua peran di atas tidak bisa dibalik. Dengan kata lain, ketuntasan tugas sebagai hamba akan menentukan keberhasilan tugas sebagai khalifah. Manusia yang tidak beres menunaikan peran sebagai hamba mustahil mampu menjalankan peran sebagai khalifah. Sementara ada manusia yang begitu bagus sebagai hamba saja sering gagal sebagai khalifah. Menjalankan peran sebagai khalifah sungguh tidak mudah.

Ada sebuah hadits yang artinya “Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya dan paling bermanfaat bagi manusia.” Akhlak baik terbentuk karena manusia telah menunaikan peran sebagai hamba secara paripurna. Tegasnya, tidak ada akhlak baik bagi manusia yang tidak mau tunduk dan taat kepada Allah secara total sebagai bukti penghambaan.

Sementara itu, kebermanfaatan diri diperoleh karena manusia sukses menjalankan peran sebagai khalifah secara sempurna. Tugas kekhalifahan tidak harus selalu bermakna menjadi pejabat atau pemimpin politik, melainkan bisa dari lingkup kecil, seperti keluarga. Bahkan, memimpin diri sendiri agar tetap berada dalam rel kebaikan jelas wujud pelaksanaan tugas kekhalifahan juga.

Adanya dua peran tersebut secara tidak terpisah menandakan bahwa Islam tidak menganjurkan umatnya untuk sekadar menjadi shalih secara individu. Shalih secara sosial dengan cara menjalankan tanggung jawab keumatan lebih dipuji oleh Islam. Karena itu, seluruh rangkaian ibadah yang dilakukan manusia pasti berujung pada kebaikan dan kesejahteraan tatanan hidup umat.

Dalam Muhammadiyah, pelaksanaan peran sebagai hamba dan khalifah secara padu sudah dimulai sejak KH Ahmad Dahlan satu abad silam. Muhammadiyah jelas organisasi yang ketat dalam urusan tauhid dan ibadah.

Namun, dunia telah mengakui, tidak ada organisasi yang memiliki amal usaha lebih kaya dari Muhammadiyah hingga hari ini. Sangat jelas bahwa Muhammadiyah tidak hanya gigih mengajak mengikutnya shalih secara individu, namun juga maju secara sosial. Dan, itulah makna tauhid fungsional.

M Husnaini, Anggota Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Malaysia, Mahasiswa PhD di International Islamic University Malaysia (IIUM)

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 9 tahun 2018

Exit mobile version