Tauhid Asma’ wa Sifat

Adzan

Masjid Korsel Foto Dok Ilustrasi

Oleh: Bahrus Surur-Iyunk

Entah sudah berapa kali krisis ekonomi yang terjadi di dunia ini. Namun, yang jelas, krisis yang terjadi dari dekade ke dekade seakan ingin menyadarkan banyak orang, terutama para ilmuan Barat. Peradaban Barat yang awalnya begitu mengagungkan logika dan kapabilitas teknis kini mulai berubah ke arah wisdom and value. Mereka menyadari betapa kesuksesan seseorang sangat bergantung kepada sistem nilai yang diyakininya. Keberhasilan finansial dan kecanggihan manajemen teknis bisa runtuh ketika jiwa dan mentalnya jatuh.

Mereka mulai menyadari bahwa krisis ekonomi global yang terjadi tidak dapat dipisahkan dari karakter pemain dunia keuangan dan perusahaan multi-nasional. Para analis berkeyakinan, dunia sesungguhnya tidak akan krisis hanya karena sell low and buy high (jual murah dan beli mahal). Sebab, hal ini paling akan terjadi sesekali saja akibat salah hitung para pebisnis pemula. Namun, dunia akan tetap mengalami krisis jika para pemainnya diliputi sifat tamak dan penipuan. Dan dua sifat inilah yang paling dibenci oleh Allah.

Deretan nilai pun kemudian dimunculkan dan dikembangkan untuk menyelamatkan fenomena ini. Ada Danah Zohar dengan spiritual quotient. Prof Gay Hendriks dan Kate Ludman dengan corporate mistics-nya. Steven Covey punya seven habits. James O’Toole mengandalkan value based leaders, dan sebagainya. Namun, satu hal yang sering dilupakan oleh mereka, dari mana hadirnya dan siapa pemilik nilai-nilai luhur tersebut. Danah Zohar sempat terperanjat ketika mengetahui bahwa 12 nilai yang dikembangkannya dalam spiritual capital tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan asma’ul husna.

Jauh dari abad kekinian, Islam telah mengajarkan tentang Tauhid Asma’ wa Shifat. Yaitu, mengimani dan meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang menunjukkan ke-MahasempurnaanNya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ada dua cara untuk mengimaninya. Pertama, dengan cara itsbat, mengimani bahwa Allah memiliki al-asma wash-shifat yang menunjukkan ke-Mahasempurnaan-Nya. Di sinilah ada asma’ul husna (Nama-nama Agung). Kedua, dengan Nafyu, menafikan dan menolak segala nama dan sifat yang menunjukkan ketidak-sempurnaan-Nya, misalnya dengan menafikan adanya makhluk yang menyerupai Allah.

Dengan asma’ul husna itu, pertama, kita tidak hanya beriman, tapi juga bisa mengenal Allah. Sebagai gambaran, seseorang mengenal orang lain biasanya lebih mengenal dari sifat dan kebaikannya daripada pakaian atau wajahnya. “Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang baik)” (Qs Thaha: 8).

Kedua, dengan asma’ul husna kita bisa berdoa memohon dan mengadukan keluh kesah kita kepadaNya (Qs Al-A’raf: 180).

Ketiga, bisa memohon perlindungan kepada Allah sesuai dengan nama-nama-Nya. Firman Allah (Qs AlHasyr: 24).

Keempat, dengan asma’ul husna kita bisa belajar dan meneladani-Nya, yaitu dengan cara mengamalkan pesan-pesan moral yang terkandung di kedalaman maknanya. Proses pembelajaran dan peneladanan ini tentunya disesuaikan menurut dimensi kemanusiaan kita. Wallahu a’lamu.

Bahrus Surur-Iyunk, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sumenep, Madura

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 6 Tahun 2017

Exit mobile version