Muhammadiyah merupakan nama sebuah gerakan Islam yang lahir di Kauman Yogyakarta, pada 18 November 1912 M/8 Dzulhijjah 1330 H. Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan (nama kecilnya Muhammad Darwisy), seorang ulama dan Khatib Amin Masjid Gedhe Kauman. Paguyuban atau perhimpunan ini berupa sebuah organisasi resmi dan modern, yang mulanya menggunakan ejaan ‘Persjarikatan Moehammadijah.’
Dalam Berita Tahoenan tahun 1927 dinyatakan, “Mengadakan sjarikat didalam sesoeatoe pekerjaan jang baik itoe diperkenankan didalam agama Islam, sebagai: perdagangan, pertanian, peternakan, dan sebagainja; maka hasil dan tiadanja itoe tertanggoeng kepada orang-orang jang bersjarikat itoe bersama-sama. Mendirikan soeatoe golongan jang bersjarikat oentoek memenuhi kewadjiban agama, jang moesti dipikoel bersama-sama (fardloe kifajah) itoepoen tiada hanja diperkenankan; bahkan diperintahkan, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam Al-Qoer’an: soerat Ali Imran ajat 104.”
Pemilihan nama Muhammadiyah, diputuskan oleh Kiai Dahlan setelah melaksanakan shalat istikharah guna merenungkan usulan nama dari para murid dan sahabatnya, untuk sebuah organisasi yang mereka dirikan. Kata Muhammadiyah dinisbahkan kepada nabi Muhammad. Secara bahasa artinya adalah pengikut Muhammad, dengan harapan supaya warga Muhammadiyah senantiasa melandaskan laku hidupnya pada sosok pribadi terpuji tersebut.
Kiai Dahlan dalam catatan Kiai Soedja’ menuturkan, “Nama itu memang diambil dari nama Nabi panutan kita, Muhammad saw, yang menjadi Nabi dan Rasul akhir zaman. Karena kami ingin men-tafaul-kan nama itu dengan nama Nabi panutan (ikutan) kita, harapan kami mudah-mudahan Muhammadiyah menjadi jamiah akhir zaman, sebagai Nabi Muhammad dan Rasul akhir zaman. Adapun ditambah dengan ya’ nisbah (iyah), maksud kami hendaknya barangsiapa yang menjadi Anggota Muhammadiyah dapat menyesuaikan diri dengan pribadinya Nabi Muhammad saw.”
Pelekatan nama perkumpulan ini kepada Nabi Muhammad merupakan wujud menghilangkan kotak ashabiyah dan sektarianisme sempit. Semua umat Islam memang seharusnya menjadikan Nabi Muhammad sebagai panutan utama yang melampaui fanatisme pada imam atau ulama tertentu. Muhammad merupakan pribadi agung yang karakter akhlaknya selalu relevan untuk diteladani.
Dalam AD/ART Muhammadiyah pasal 4 ayat (1) disebutkan, “Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi mungkar dan tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah.” Berlanjut di pasal 6, “Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”
Gerakan ini berlandasakan pada nilai Islam, yang dipahami dengan seperangkat metodologi manhaj tarjih. Substansi ideologi Muhammadiyah melekat dengan paham Islam yang berkemajuan sebagai landasan dan pusat orientasi geraknya. Muhammadiyah memandang bahwa Islam merupakan agama yang shalih likulli zaman wa makan, dan selalu menuntun umatnya untuk maju, berkualitas dan berperadaban. Muhammadiyah menerjemahkan nilai-nilai Islam supaya menjiwai kehidupan manusia.
Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah menjalankan prinsip bil hikmah, mauidhah hasanah, wa jadilhum billati hiya ahsan (dialogis). Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah mengarahkan kesadaran warganya melakukan pembaruan yang membawa kepada keunggulan. Semua usahanya itu ditempuh melalui jalur kultural dan bertahap, tidak menggunakan strategi perjuangan politik praktis dan revolusioner. (ribas)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 1 Tahun 2019