Alhamdulillah, dalam rangka menghadiri Hari Pers Nasional yang dilangsungkan di Kota Padang, Sumatera Barat, kami rombongan majalah Suara Muhammadiyah berkesempatan untuk mengunjungi tanah kelahiran Buya Syafii Maarif, Sumpur Kudus. Selama ini tidak ada dalam pikiran apalagi angan-angan, untuk dapat menginjakkan kaki di daerah yang selama ini hanya diketahui dari cerita-cerita. Selama lebih kurang empat jam perjalanan dari Bukittinggi, gambaran sebagai daerah terisolir, sebagaimana diceritakan selama ini membayang di pelupuk mata.
Sumpur Kudus, dalam pemerintahan di Sumatera Barat sebenarnya merupakan sebuah Kecamatan yang sangat luas, yang masuk bagian dari Kabupaten Sijunjung dengan membawahi 11 Kelurahan (Nagari).
Saat ini salah satu nagari itu, bernama Sumpur Kudus Selatan nagari dimana Buya Syafii Maarif di lahirkan. Kampung kecil ini dikelilingi oleh bukit, tidak heran kemanapun kita memandang yang terlihat hanyalah bukit. Tapi, walaupun dikelilingi oleh banyak bukit, disitu jugalah kita bisa menemukan keindahan-keindahan alam,yang bisa dinikmati setiap harinya. Salah satunya hamparan persawahan yang menghijau, membuat mata terasa segar, ditambah hawa dingin khas perbukitan.
Sumpur Kudus, berada didaerah paling timur Provinsi Sumatera Barat, terletak antara perbatasan Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Riau. Nagari Sumpur Kudus, terlentang di sepanjang sungai, yang bernama sungai Batang Sumpur, yang mengalir dari nagari Unggan, sampai ke Sisawah,yang mengaliri 5 nagari di Sumpur Kudus.
Nagari Sumpur Kudus, dalam sejarahnya adalah nagari semasa Kerajaan Pagaruyung tempat bersemayam Rajo Ibadat Sultan Abdul Jalil Khalifatullah yang merupakan salah satu dari Rajo Nan Tigo Selo.
Jauh sebelum itu, Sumpur Kudus merupakan salah satu wilayah di Minangkabau yang pertama kali disebarkannya ajaran Islam oleh Syekh Ibrahim (Syekh Brai) yang disebut oleh masyarakat Sumpur Kudus dengan nama Niniek Tanah Bato yang berjasa dalam mengembangkan ajaran Islam di pedalaman Minangkabau. Baik Syekh Ibrahim dan Rajo Ibadat Alif Khalifatullah sama-sama dimakamkan di Nagari Sumpur Kudus.
Dulu, Sumpur Kudus adalah daerah terisolir dan gelap gulita. Hanya cahaya lampu “cogok” yang menemani di malam hari. Tak ada lampu, tak ada barang-barang elektronik bahkan tak ada signal handphone untuk berkomunikasi.
Baru 10 tahun ini Sumpur Kudus merasakan terangnya lampu listrik dan handphone untuk berkomunikasi bahkan menjadi daerah yang maju dan berkembang. Masyarakatnya sebagian kecil ada yang merantau di dalam dan luar negeri. Menuntut ilmu dan kuliah di beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia. (IM)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 5 Tahun 2018