Perintah Mengikuti Ajaran Agama Secara Keseluruhan dan Akibat Pengingkarannya (4)
Penjelasan-penjelasan di atas mempertegas pemahaman bahwa orang-orang beriman yang mengaplikasikan ajaran Islam secara sistemik dan yang bersedia mengorbankan jiwa dan raganya untuk mencari keridaan Allah, menempati posisi orang-orang yang mukhlis yang akan terhindar dari sifat-sifat orang-orang munafik. Terkait dengan hal itu, ayat 212 dalam surah al-Baqarah ini memberi gambaran bahwa orang-orang beriman akan menjadi orang-orang yang mulia. Kalimat wal ladzīnat-taqaw fauqahum yaumal qiyāmah
yang artinya “orang-orang yang bertakwa lebih mulia dari mereka di hari kiamat” mengandung pengertian bahwa dengan ketakwaannya orang-orang beriman akan menempati posisi yang mulia dibandingkan dengan orang-orang yang kafir dan munafik.
Hal ini disebabkan karena orang-orang bertakwa selalu mendasarkan kehidupannya dengan nilai-nilai Islam secara sistemik. Termasuk dalam hal ini adalah ketika orang beriman memandang dunia sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka memandang kehidupan dunia sebagai lahan beribadah dengan kesediaan berkorban dalam kehidupan dunia agar semakin dekat kepada Allah (Qs At-Taubah [9]: 24).
Terkait dengan pembahasan ini, orang beriman selalu memandang dunia sebagai sebuah kebaikan dan akan memandang apa saja dan siapa saja yang ada di dunia dengan kebaikan pula. Orang-orang beriman akan selalu menciptakan kebaikan di dunia (Qs Al-A’raf [7]: 56; al-‘Ankabut [29]: 36), dan iniliah wujud pengorbanan tersebut. Dengan kebaikan-kebaikan dan kemuliaan-kemuliaan yang diciptakan itu, orang-orang beriman menjadi orang-orang yang mulia. Kemuliaan-kemuliaan yang diciptakan di dunia itu akan membawa akibat kemuliaan di akhirat sebagai balasan atas kemuliaan yang diciptakan di dunia.
Cara pandang orang beriman ini sangat bertentangan dengan cara hidup orang-orang kafir dan munafik yang selalu menjadikan kehidupan dunia sebagai “sesuatu yang mempesona”. Orang-orang kafir memandang bahwa keindahan dunia adalah kenikmatan yang harus dinikmati sepuas-puasnya, sehingga bagi mereka dunia adalah sesuatu yang sangat menggiurkan. Ayat 212 ini menegaskan bahwa Allah menjadikan dunia indah dalam pandangan orang-orang kafir yakni dengan firman-Nya zuyyina lilladzīna kafarū-l-hayātu-d dunyā
yang artinya “dijadikan indah bagi orang-orang kafir kehidupan dunia”.
Kata zuyyina pada ayat di atas yang artinya “dihiasi atau dijadikan indah” bermakna mempersepsi sesuatu yang sebenarnya merupakan keburukan justru dipandang sebagai sebuah “kebaikan”. Maka “kebaikan” yang berasal dari persepsi mereka (orang-orang kafir) itu terasa indah bagi mereka. Dalam hal ini kata zuyyina merupakan persepsi dan aktualisasi orang-orang kafir terhadap dunia. Hal ini dapat dipahami bahwa setelah mempersepsi dunia sebagai sebuah keindahan, mereka kemudian mewujudkan “keindahan” itu sesuai dengan dorongan hawa nafsu mereka yang berbentuk perbuatan yang melenakan dan menjerumuskan. Hal ini tercermin dalam firman Allah dalam surah Muhammad [47]: 14,
Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang (setan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?
Dengan keindahan yang sejatinya merupakan keindahan semu itu orang kafir mempersepsi bahwa apa yang dia lakukan terhadap dunia tersebut untuk merendahkan orang beriman sebagaimana firman Allah wa yaskharūna mina-l ladzīna āmanū
yang berarti “dan mereka merendahkan orang-orang yang beriman”. Orang beriman dipandang rendah oleh orang-orang kafir karena dalam menjalani kehidupan dunia mereka terikat oleh aturan-aturan syari’at seperti menjalankan haji, membayar zakat, sadaqah, meninggalkan riba, meninggalkan suap, dan lain-lain. Hal itu dipandang oleh orang kafir sebagai sesuatu yang menyengsarakan. Bagi orang kafir, kehidupan dunia mestinya dinikmati sepuasnya, sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam Qs al-Insan [76]: 27,
Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat).
Dengan cara pandang seperti ini, mereka sangat menyukai “kehidupan dunia”
sebagai sebuah keindahan yang mempesona. Pengertian dunia di sini tidak serta merta dimaknai sebagai dunia yang dipertentangkan dengan akhirat, tetapi kata dunia dimaknai sebagai sebuah pola kehidupan dan gaya hidup (life style) yang melenakan dan menjerumuskan. Pola kehidupan dan gaya hidup ini sangat bertolak belakang dengan cara orang-orang yang beriman yang mendasarkan gaya hidupnya dengan tuntunan Islam yang sistemik.
Dengan dasar pandangan inilah, orang-orang beriman selalu direndahkan dan dihinakan oleh orang-orang kafir, meskipun menurut pandangan Allah orang-orang beriman lebih mulia baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, Allah memberi peringatan dini agar berhati-hati terhadap orang-orang kafir dan munafik dengan kalimat wa lā tuthi’il-kāfirīna wa-l munāfiqīn
yang artinya “janganlah mengikuti orang-orang kafir dan munafik” (Qs Al-Ahzab [33]: 1 dan 38).
Berdasarkan penjelasan di atas, pelajaran yang dapat diambil adalah pertama, umat Islam harus berhatihati terhadap orang-orang kafir dan juga orang munafik yang menjadikan dunia sebagai sesuatu yang menggiurkan. Mereka akan mengkampanyekan untuk “menikmati” keindahan dunia sepuasnya dengan menjauhkan diri dari upaya pendekatan kepada Allah. Kedua, dunia bagi umat Islam bukanlah sesuatu yang harus dijauhi hanya karena dipersepsi oleh orang-orang kafir sebagai keindahan. Namun, dunia harus dijadikan sebagai sebuah kebaikan dan dijadikan sarana untuk menciptakan kebaikan yang lebih luas.
Dengan demikian, umat Islam harus memanfaatkan kehidupan dunia seperti penguasaan sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan layanan-layanan sosial lainnya untuk menciptakan kebaikan yang lebih luas. Oleh karena itu, umat Islam harus menguasai dunia sebagai bentuk penghambaan dan peribadatan kepada Allah dengan cara menciptakan kebaikan di dunia yang lebih luas. Dengan kebaikan-kebaikan yang ditebarkan oleh umat Islam itu, maka Allah akan memberikan rezeki kepada orang-orang beriman, yakni berupa kejayaan di dunia dan di akhirat sebagaimana disebutkan pada penghujung ayat 212, yakni wallāhu yarzuqu man yasyā’u bi ghairi hisāb
yang artinya “Allah akan memberikan rezeki kepada siapa saja tanpa batas”.
—
Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Prof Dr Yunan Yusuf
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 6 Tahun 2017