Dewasa ini mungkin tidak ada warga Sumpur Kudus yang lebih terkenal dari Ahmad Syafii Maarif, mantan ketua PP Muhammadiyah dan guru besar Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta. Ia lahir dan besar di nagari itu, lalu melanglang buana ke Jawa dan Amerika, untuk kemudian menetap di Yogyakarta.
Tapi selama perantauannya di luar kampung halamannya itu Sumpur Kudus tidak pernah ia hilangkan dari memorinya, bahkan kerap ia sambangi, baik secara fisik maupun dalam kenangan. Tak jarang ia berbagi kisah tentang nagarinya ini pada publik. Alhasil, tak berlebihan bila dikatakan bahwa sekarang Sumpur Kudus adalah nagari paling terkenal di seantero Indonesia.
Lahir di Calau, Sumpur Kudus, pada 31 Mei 1935, Syafii awalnya hanyalah anak kampung biasa. Ia bersekolah di Sekolah Rakyat (SR) seperti yang lainnya. Pernah pula ia bacakak (berkelahi) dengan kawan sekelasnya. Sore-sore ia mandi di Batang Sumpur bersama anak-anak kampung lain.
Dalam autobiografinya, Syafii menggambarkan Sumpur Kudus di masa kanak-kanaknya dengan perpaduan antara sebuah desa yang jauh dari arus modernisasi dan kolonialisme namun memiliki warga yang aktif dan dinamis. Ia menyebut Calau “sepi”, tapi di saat yang sama juga memberikan pujian: “tanpa pemakaian mesin, kampungku sepenuhnya bebas dari asap dan polusi suara.”
Kampungnya mungkin terisolasi, tapi warganya senang bepergian. Ia berkali-kali menekankan bahwa betapapun tersuruknya Sumpur Kudus, nagari ini menempati posisi penting dalam sejarah Minangkabau masa Islam. Di sinilah Raja Ibadat, salah satu dari tiga raja yang secara tradisional berkuasa di Minangkabau, berkedudukan.
Merantau ke Yogyakarta, terutama saat bekerja sebagai jurnalis Suara Muhammadiyah (SM) sejak medio 1960an, adalah tonggak sejarah penting dalam relasi Syafii dengan kampungnya. Meski antara kampung halamannya dan Yogyakarta terpisah ribuan kilometer, Syafii tetap punya cara untuk ingat kampung. Adakalanya ia pulang.
Tapi, yang tak kalah penting sekaligus yang menarik, pekerjaannya sebagai wartawan SM memungkinkannya untuk membawa Sumpur Kudus via ruang berbeda. Maka, hadirlah nagari itu di artikel-artikel Syafii saat Bung Syafii—panggilannya saat itu—memakai nom de plume (nama pena) Ichwan Sumpur dan Salman Sumpur.
Kuatnya ingatan pada kampungnya—Sumpur—dan pada anaknya sendiri—Ichwan dan Salman—membuat Syafii merasa perlu mengabadikannya lewat tulisannya. Alhasil, pembaca SM se-Indonesia, khususnya di paruh kedua 1960an, pun terbiasa dengan kata “Sumpur”, dan pada ujungnya berkenalan dengan Sumpur Kudus.
Saat telah berada di berbagai posisi penting di Jawa, Syafii tidak melupakan kampungnya. Ia turut mengiringi masuknya listrik ke kampung halamannya pada tahun 2006. Syafii bukan hanya tidak melupakan kampungnya, tapi bahkan memperkenalkannya lebih jauh kepada masyarakat Indonesia, terutama lewat tulisan.
Otobiografinya yang terbit tahun 2009 bertabur kenangan tentang Sumpur Kudus, tentang keterpencilannya, tapi juga keterkenalannya dalam sejarah Minangkabau dan sejarah Indonesia (PDRI, yang sekali waktu merupakan kelanjutan Pemerintah RI, pernah eksis di sini). Syafii menjadi penyambung lidah rakyat Sumpur Kudus saat menulis di sebuah harian nasional tentang beratnya kehidupan masyarakat di sana; harga karet yang jatuh, warganya yang menjadi TKI, dan pendidikan anak-anak yang terbengkalai di sana.
Memang, setiap nagari melahirkan tokohnya sendiri, yang ketika kariernya mencapai puncak, turut membawa nama nagari tersebut ke tengah ruang publik di level nasional. Dulu yang paling beken adalah Koto Gadang, sebuah nagari di Agam. Daftar ‘alumni’ nagari ini amat berbobot, mulai dari Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Sutan Sjahrir hingga Haji Agus Salim. Kini Sumpur Kudus turut terangkat namanya oleh kiprah Syafii Maarif yang, kendati tidak tinggal di sana, senantiasa merawat ingatan tentang kampungnya itu dengan berbagai cara. (MYZ)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 5 Tahun 2018