Oleh: Hasnan Bachtiar
Kasus transformasi di Australia sangat menarik. Pasalnya, semua penduduk kecuali kaum pribumi (Aborigin) adalah imigran. Mayoritas penduduk Australia adalah orang Barat, terutama berasal dari Inggris. Sisanya dari Asia, Timur Tengah, Afrika, dan lain-lain.
Menurut Australian Bureau of Statistics (2011) mayoritas penduduk beragama Kristen dengan berbagai alirannya (61%). Kemudian diikuti oleh penduduk yang tidak beragama 22% dan sisanya adalah penganut agamaagama lainnya dan yang tidak teridentifikasi agamanya. Sementara kaum Muslim sendiri adalah 2.2%, yang sebelumnya hanya 1.5% pada 2006. Artinya, populasi Muslim tumbuh dengan baik.
Sebagian besar imigran Muslim,telah menjadi warga negara Australia. Bahkan, Muslim yang lahir di Australia, dan tentu berkewarganegaraan Australia, mencapai 36% dari seluruh negara-negara tempat kelahiran yang ada, seperti Mesir, Lebanon, Turki, Arab Saudi, Malaysia, Indonesia, dan seterusnya.
Karena itu, identitas sebagai Muslim Australia sangat mencerminkan keragaman. Ia memiliki akar tradisi dan kebudayaan yang heterogen. Lalu ia juga hidup di tengah masyarakat yang juga tidak tunggal dari segi kebangsaan dan agama. Walaupun dalam kehidupan yang multikultural ini kaum Muslim berbahasa Inggris, sebagai bahasa bersama yang mampu dimengerti oleh seluruh bangsa, mereka juga mempertahankan bahasabahasa ibu mereka sendiri, seperti Arab, Turki, Persia, Urdu, Melayu. dan seterusnya. Barangkali, Australia bagi mereka adalah rumah: rumah keragaman.
Penulis kebetulan sedang menempuh studi pascasarjana di Australian National University (ANU), di ibukota Australia, Canberra. Tepatnya di Centre of Arab and Islamic Studies, College of Arts and Social Sciences. Di tempat penulis belajar, juga pusat akademisi Muslim di ANU, nilai keragaman terpatri dengan kuat. Tentu tidak semua akademisi beragama Islam, walaupun tanah kelahiran mereka adalah tanah Arab. Namun, sebagai akademisi, mereka dengan tekun mempelajari Islam, kaum Muslim, dan dunia Islam.
Direktur pusat studi tersebut, Amin Saikal, adalah pakar ilmu sosial dan politik di dunia Islam. Beliau berasal dari Iran dan memiliki akar tradisi Islam Iran yang kuat. Zahra Taheri, seorang akademisi di bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan Persia, juga berasal dari Iran. Ia mewarisi tradisi Persia asli, yakni Zoroasterianisme.
Sementara itu, Armando Salvatore berasal dari lingkungan komunitas Muslim di Sisilia, Italia. Ia adalah pakar sejarah sosial Islam, khususnya di Turki, Iran, dan India. Sedangkan James Piscatori dan Murat Yurtbilir, mereka adalah pakar masyarakat Muslim di Turki. Dale Eickelman dan France Meyer adalah pakar Islam di Afrika Utara, Kirill Nourzhanov adalah pakar Islam di Asia Tengah, Huda Al-Tamimi adalah pakar Islam di Irak dan sekitarnya, Raihan Ismail adalah pakar Islam di Asia Tenggara, khususnya masyarakat Melayu.
Pusat studi ini adalah representasi dari rumah keragaman dalam skala kecil. Para akademisi yang ada, adalah orang-orang yang berasal dari pelbagai belahan dunia Islam. Dalam hal pemikiran, mereka sangat kosmopolitan, modern, dan secara simplistis: Barat. Dalam hal sikap keberagamaan, tentu saja sangat toleran dan terbuka.
Nilai penting dari fenomena Muslim Barat ini adalah tidak bisa lagi selalu berpikir secara dikotomis Islam melawan Barat. Karena kenyataan Muslim Barat ini telah menjadi bukti betapa Islam dan kaum Muslim telah berkembang pesat di seluruh dunia. Dakwah nilainilai Islam yang universal, telah menjadi proyek kultural dan proyek peradaban yang begitu penting di era global saat ini. Tentu hal ini sama sekali bukanlah islamisasi dalam pengertian yang sempit, simbolik, dan ideologis.
Hasnan Bachtiar, Peneliti di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 14 Tahun 2017 dengan judul Pulang ke Rumah