Oleh: Mukhlis Rahmanto
Dari Sa’ad bin Abi Waqas berkata: Rasulullah saw bersabda: “Ada empat (tanda) kebahagiaan :Wanita shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang shalih, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat (tanda) kesengsaraan : Tetangga yang buruk, wanita yang buruk, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang buruk” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).
Hadits di atas dinilai oleh beberapa kritikus Hadits modern, di antaranya Syu’aib Al-Arnauth, bahwa sanadnya shahih menurut syarat-syarat yang diajukan oleh Imam Al-Bukhari. Yang menarik adalah kata kebahagiaan yang disebutkan eksplisit oleh Nabi dalam riwayat tersebut, dimana membutuhkan uraian mendalam dari perspektif Islam yang luas mengenai apa itu kebahagiaan.
Selama ini banyak pendapat mengenai definisi kebahagiaan itu sendiri. Para filosof pun berbeda, contohlah Nietzsche yang menganggap kebahagiaan adalah ketika kekuatan yang kita punyai bertambah. Socrates dari Yunani kuno mengatakan bahwa kebahagiaan itu adalah ketika kita mampu menikmati kekurangan yang ada. Perspektif Islam mengenai kebahagiaan dapat kita lacak dalam Al-Qur’an dan Hadits dan tentu penafsiran dan pemahaman para ulama, intelektual serta filosof Islam mengenai kedua sumber ajaran Islam tersebut.
Jika ditelisik, kata kebahagiaan dalam Al-Qur’an diwakili oleh kata sa’idun, salah satunya dalam surat Hud 105 dan 108:
“Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia (105) …dan orangorang yang berbahagia ada di dalam surga… (108). Kedua ayat tersebut konteksnya adalah kebahagiaan di surga yang tidak dapat dilepaskan dari amal perbuatan manusia di dunia.
Banyak ulama muslim yang membahas dan mengarang buku mengenai tema kebahagiaan, ada Ibnul Qayim Al-Jauziyah dengan Miftahu dar Al-Sa’adah (kunci rumah yang bahagia) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan Nashirudin Al-Tusi, astronom sekaligus filosof dengan bukunya Akhlaq Nashiri (Nashirian Ethics) yang sepertinya belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Menurut Nashirudin al-Tusi, kebahagiaan dapat dicapai apabila seseorang telah mencapai kesempurnaan (kamaliah), yaitu mencapai tujuan penciptaannya, sebagaimana Al-Qur’an mengungkapkan untuk beribadah kepada Allah. Baginya, kebaikan adalah tujuan akhir dari sesuatu, maka kebaikan adalah kesempurnaan itu sendiri.
Dengan ini, ia menyamakan antara kebaikan dengan kebahagiaan. Artinya, dari sisi logika mantiq-nya, kebahagiaan tercapai ketika ada kesempurnaan, sedangkan kesempurnaan sama dengan kebaikan, maka kebaikan identik dengan kebahagiaan. Akibat logisnya adalah, bahwa orang baik, yang betul-betul baik akan merasa bahagia.
Dan perlu kita cermati, bahwa kebahagiaan tidak identik dengan kesenangan, karena biasanya kesenangan identik dengan fisik-materi, yang bisa kita lihat, rasa, pegang dengan panca indera kita. Namun, kebahagiaan bisa hanya sekedar kesenangan fisik yang bersifat sementara, tetapi juga bisa mencapai tingkat kesenangan yang abadi dan transenden atau dalam bahasa tasawufnya, menggapai dan merasakan dimensi ketuhanan.
Sederhananya, merasa dekat dengan Allah dan mengetahui hikmah serta rahasia kehidupan. Untuk itu, kebahagiaan itu sendiri bertingkat-tingkat menurut para filosof muslim.
Ibnu Miskawaih dengan bukunya Maratib al-Sa’adah (Tingkatan-tingkatan kebahagiaan), membagi kebahagiaan ke dalam lima tingkatan.
Tingkatan yang pertama adalah kesenangan fisik, seperti kita dapat merasakan nikmatnya beragam makanan semacam soto atau coto Makasar; merasakan segarnya minum es dawet di siang hari, di malam hari kita dapat tidur tenang hingga kenikmatan berhubungan suami-istri.
Tingkatan kedua adalah kebahagiaan mental, seperti kita dapat merasakan manisnya mengingat dan menghafal sesuatu, berimajinasi, hingga memperkirakan dan merencanakan sesuatu di masa depan. Bisa dibayangkan kalau kita tidak dapat mengingat masa lampau dan memperkirakan masa depan.
Tingkatan ketiga adalah kebahagiaan intelektual, seperti kita dapat menemukan suatu konsep, teori, dan atau penemuan yang baru, kita berpikir, membuat refleksi dan menghasilkan penelitian yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Menulis sesuatu, namun dilandasi dengan kemampuan si penulis membedakan mana kebiasaan dan corak intelektual yang baik dan yang buruk.
Tingkatan keempat, yaitu kebahagiaan moral, dimana ditandai dengan kita merasa senang ketika berbuat baik, bertawakal kepada Tuhan, beribadah kepada Allah, positive thingking (husnuzhan), sabar, bersyukur, rendah hati dan perbuatan baik lainnya.
Tingkatan kelima adalah kebahagiaan spiritual, yaitu ketika kita merasa dekat dengan Allah, cinta dan rindu kepada Nabi dan para sahabatnya, merasa zikir dengan nikmat, merasakan nikmatnya shalat malam, dan ketika lalai berbuat dosa muncul kesadaran segera bertaubat.
Kelima tingkatan ini bagi Ibnu Miskawaih kadang datang silih berganti dalam kehidupan manusia. Pun tidak bisa manusia mencapai semua tingkatan karena manusia banyak diliputi dan memiliki kekurangan-kekurangan di sana-sini, misalnya, banyak sekali apa yang tidak kita ketahui di dunia ini.
Namun Ibnu Miskawaih menekankan bahwa kebahagiaan intelektual merupakan puncak yang tertinggi karena ia mampu menghantarkan kepada agen spiritual yang biasanya dalam filsafat Islam dikenal dengan akal aktif.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya, Al-Wabil Al-Shayib berkomentar, beberapa tanda kebahagiaan dan tanda keberuntungan seorang hamba di dunia dan akhirat yaitu: terijabahnya doa; dilapangkan oleh Allah akan kenikmatan, baik lahir maupun batin; merasa bersyukur tatkala mendapat nikmat; bersabar ketika ditimpa musibah; dan segera memohon ampunan kepada Allah ketika terjerumus dalam dosa.
Oleh karena itu, membaca dan memahami isi (matan) Hadits Nabi di atas mengenai empat tanda (variabel) kebahagiaan Muslim dengan adanya karunia berupa wanita shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang shalih, dan kendaraan yang nyaman dan empat tanda kesengsaraan dengan kebalikannya, dapat digunakan cara pandang kebahagiaan yang telah dibagi-klasifikasikan tingkatannya oleh Ibnu Miskawaih di atas.
Mana saja variabel yang masuk ke dalam tingkatan kesenangan fisik belaka? Dan variabel mana saja yang masuk ke dalam tingkatan tertinggi berupa kebahagiaan spiritual?
Kemampuan kita menempatkan isi sabda Nabi di atas ke dalam tingkatan-tingkatan kebahagian versi Ibnu Miskawaih, menandakan kita berada di dalam tataran-level kebahagiaan yang mana dan keberapa.
Wallahu a’lam bi alshawab
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 5 Tahun 2018 dengan judul Tataran Kebahagiaan