Kampung kecil serta pengalaman Din Syamsuddin dalam menempuh pendidikan di Pesantren Gontor, dan pendidikan di perguruan tinggi dalam negeri (UIN syatif Hidayatullah) serta pendidikan tinggi luar negeri (University Of California Los Angeles Amerika Serikat), telah menjawab tanda alam saat Din kecil sebagai sosok pemimpin umat.
Banyak jabatan dan posisi penting yang diamanahkan ke Din Syamsuddin, diantara jabatan penting itu adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama dua periode (2005-2015), Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (2014-2015), hingga memimpin berbagai forum lintas agama dunia. Dan terakhir, beliau dipercaya oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo sebagai Utusan Khusus Presiden dalam bidang dialog dan perdamaian agama (September 2018).
Sosok Din yang tampil sebagai tokoh umat tidak hanya berkelas nasional namun juga Internasional, mengingatkan kembali akan sosok Kakek Buyut Din Syamsuddin dari generasi ke 7 sebelumnya, bernama Ismail Dea Malela.
Ismail Dea Malela, yang kemudian lebih dikenal dengan panggilan gelar Dea Malela, adalah sosok penting dalam memperjuangan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun-tahun 1750 an. Dea Malela yang sebelumnya bermukim di daerah Sulawesi, kemudian pada usia 17 tahun, hijrah ke Sumbawa untuk membantu perjuangan ayahnya Abdul Qadir Zaelani Dea Koasa dan Pamannya Lalu Angga Dea Tuan untuk membangun kekuatan dan perlawanan mengusir penjajahan Belanda.
Kegigihan dan keberanian Ismail dalam berjuang melawan penjajahan Belanda, dikagumi oleh sang ayah dan paman. Bahkan Belanda kewalahan menghadapi keberanian dan kepiawaian Ismail, sehingga Ismail harus diasingkan dan dipasung di puncak bukit daerah Pemangong, Sumbawa.
Walaupun sudah demikian tantangan yang dihadapi Ismail, ia tak berhenti melakukan perlawanan dengan menghimpun kekuatan umat slam. Walau hingga akhirnya, sebagai strategi pertempuran, ia harus melarikan diri bersama ayahnya ke Afrika. Di negara Nelson Mandela inilah ia membangun perlawanan baru, hingga akhirnya ia wafat dan dimakamkan disana tahun 1786 M. Sementara ayahnya Dea Koasa, sempat kembali ke Indonesia dan meninggal di Sumbawa.
Keberanian dan kecerdasan Ismail Dea Malela ini, menurut Wahyudin, tokoh masyarakat Pemangong yang juga saudara dari hubungan bapak dengan Din Syamsuddin, dilekatkan gelar Dea Malela, yang memiliki arti “besi hitam yang memiliki kesaktian”, atau dalam pemaknaan sekarang diartikan “sebuah kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang”.
Sejak wafatnya hingga hari ini, menurut Wahyudin, Ismail Dea Malela sudah memiliki 8 keturunan dari Dea Koasa. Keluarga besar Din Syamsuddin menurutnya adalah generasi ke 8 dari keturunan Dea Koasa, dan keturunan ke 7 dari Dea Malela yang merupakan saudara dari Dea Mar Lu Sanapiah. Berikut adalah silsilah keturunan Dea Malela hingga generasi Din Syamsuddin. (1) De Koasa, (2) Dea Mar Lu Sanapiah (Saudara Dea Malela), (3) Suta, (4), Arrahman, (5) Nuh, (6) Abdullah, (7) Syamsudin, (8) Sirajudin/Din Syamsuddin.
Jadi Dea Koasa memiliki dua keturunan, yaitu Dea Mar Lu Sanapiah dan Ismail Dea Malela. Dea Mar meninggalkan keturunannya di Pemangong Sumbawa, sedangkan Ismail Dea Malela meninggalkan keturunan di Afrika. Jadi Din Syamsuddin sebenarnya turunan dari Dea Mar Lu Sanapiah. Akan tetapi dari 8 generasi keturunan Dea Koasa, posisi Ismail Dea Malela lebih menonjol dari keturunan yang lain.
Sehingga menurut Wahyudin, jika dilihat pada keturunan atau generasi ke tujuh dari Dea Malela maupun generasi ke 8 dari Dea Koasa, sosok Din Syamsuddin lah yang sangat dekat mewarisi sosok seorang Dea Malela. Baik dari segi pemikiran, ketekunan, keuletan, keberanian serta cita-cita kebangsaannya. Walaupun ada beberapa generasi yang menonjol, namun ketokohannya tidak sekelas ketokohan Din Syamsuddin yang kini dikenal sebagai seorang ulama dan tokoh bangsa yang tidak hanya berkelas nasional namun juga berkelas internasional.
Bahkan dari sekian banyak ke turunan Dea Malela, pada saat generasi Din Syamsuddin inilah, muncul ide dan keberanian untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam berkelas Internasional yang kemudian diberikan nama Pesantren Modern Internasional Dea Malela.
Ide mendirikan lembaga pendidikan ini tentu sebuah keberanian yang sangat luar biasa, menimbang pilihan lokasinya yang jauh dari pusat peradaban, sekaligus daerah yang sulit ditempuh oleh kendaraan. Akan tetapi, ia melakukan itu, dengan pertimbangan, di lokasi inilah Dea Malela memiliki sejarah dalam melawan penjajahan Belanda.
Tidak hanya itu, melalui kampung pedalaman ini, konsep lembaga pendidikan Islam pun, tidak hanya berkelas lokal, akan tetapi juga dikemas berkelas Nasional dan Internasional. Hal ini dibuktikan, dengan tidak sedikitnya para pelajar asing yang menempuh pendidikan di PMI Dea Malela, di antaranya dari Rusia, Thailand, Malaysia, Kamboja, Timor Leste, dan lainnya.
Bahkan Mulai dari pejabat kementerian, para duta besar, Wakil Presiden Jusuf Kalla hingga presiden Republik Indonesia Joko Widodo, pernah hadir dalam peletakan batu pertama dalam pembangunan berbagai jenis gedung Pesantren ini. Sehingga gagasan berani seorang Din Syamsuddin, telah mengubah wajah Sumbawa, khusus Pemangong, daerah kecil perbukitan, tempat seorang Dea Malela pernah ditahan, menjadi perhatian dunia internasional. Maka sangatlah tepat, jika sosok Din Syamsuddin, adalah generasi ke 7 pewaris kepintaran, kegigihan, keuletan dan keberanian seorang ulama besar pada tahun 1700 an ini, yaitu Dea Malela. (denias)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 21 Tahun 2018