Muhammad Sirajudin Syamsuddin (60), atau yang lebih dikenal dengan nama Din Syamsuddin, adalah putra ke 2 dari 9 bersaudara. Putra dari Syamsudin Abdullah (Ayah) dan Rohana Syamsudin (Ibu) ini, merupakan keluarga Muslim yang taat dalam menjalankan ajaran agamanya.
Lahir pada 1958 di pulau kecil di kawasan kepulauan Nusa Tenggara Barat (NTB), yang dikenal dengan pulau Sumbawa. Pulau ini, selain tempat kelahiran Din Syamsuddin, juga sebagai tempat dimana Din Syamsuddin mengawali sekolah pertama serta menghabiskan masa kecilnya.
Walaupun selepas menyelesaikan pendidikan di kampung halamannya, Din langsung melanjutkan pendidikan di luar Sumbawa dan luar negeri, namun keberadaan kampung dan keluarga kecilnya, banyak memiliki peran dalam melahirkan tokoh bangsa ini.
Setidaknya demikian pesan yang diambil oleh Suara Muhammadiyah saat berkunjung ke kampung halaman Din Syamsuddin, tepatnya di desa Samapuin, Sumbawa Besar dan ke Pondok Pesantren Modern Internasional Dea Malela, Pemangong, beberapa waktu yang lalu (11-12/10).
Cerdas dan Berani
Sejak kecil, Din dikenal sebagai sosok anak yang tekun, ulet, gigih dan berani. Ketekunan dan keuletan Din Syamsuddin tampak selama ia menempuh pendidikan di Ibtidaiyah (setingkat sekolah dasar) di Sumbawa Besar. Din seperti tidak memiliki banyak waktu seperti kebanyakan anak-anak seusianya untuk bermain sepulang sekolah.
Hal yang lazim bagi Din kecil, sepulang sekolah untuk mengulangi setiap pelajaran yang didapatkan. Bahkan menurut penuturan Fachri, Adik Kandung Din Syamsuddin (7), mengatakan, bahwa kakak kandungnya ini, juga memiliki pengajaran privat dengan ayahnya. Sehingga setiap pulang dari sekolah maupun pengajian, ia selalu mengulangi dan belajar kembali dengan ayahnya.
Memang sosok ayah Din Syamsuddin, selain sebagai seorang pegawai di Lembaga Urusan Agama (sekarang Departemen Agama), juga dikenal sebagai seorang kiai Nahdhatul Ulama (NU) yang taat. Sehingga, Din memanfaatkan semua ini, untuk mengembangkan pelajaran yang diperolehnya di sekolah maupun pengajian.
Ketekunan dan kegigihan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2015 ini, mengantarkan Din sebagai pelajar tercepat menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya. Karena Din dapat mengikuti jenjang pendidikan sekolah dasarnya dengan melompat dua kali dari yang semestinya. Sehingga ia menghabiskan waktu sekolahnya di Ibtidaiyah hanya selama 4 tahun.
Tidak hanya itu, selain tekun dan gigih, Din Kecil juga dikenal sebagai sosok anak yang berani. Tidak sedikit waktunya dihabiskan di masa kecilnya untuk berceramah, berorasi, dan tampil dalam berbagai acara politik, di panggung-panggung besar. Karena ayahnya adalah aktif dalam gerakan keagamaan dan politik saat itu, maka Din dengan senang hati menawarkan diri untuk menjadi asisten dan sekretaris yang menemani berbagai kegiatan dakwah dan politik dari sang ayah.
Kesempatan ini, selalu dimanfaatkan oleh Din untuk bisa tampil di hadapan publik. Walaupun untuk seukuran usianya saat itu, sangat jarang bahkan tidak ada seorang anak sekolah dasar yang berani tampil dalam kegiatan-kegiatan besar dan resmi. Namun Din Syamsuddin sudah melakukan semua itu.
Untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, Din Syamsuddin dibina oleh seorang pamannya, yang juga merupakan seorang pengajar yang datang ke Sumbawa. Kehadiran pamannya, menurut Fachri, selain mendorong Din Syamsuddin untuk melanjutkan pendidikanya ke Pondok Pesantren Modern Gontor, Jawa Timur, juga sebagai inspirasi dan awal bagi Din dan Keluarga beralih serta aktif ke organisasi persyarikatan Muhammadiyah.
Sehingga, sejak Din memasuki Pesantren Gontor, ia mulai mempelajari dan aktif dengan Muhammadiyah. Bahkan keluarga besarnya pun di Sumbawa mulai aktif mendirikan Ranting dan pengajian-pengajian Muhammadiyah. Tidak hanya itu, keluarga besar Din pun, menjadikan kediaman mereka sebagai sekretariat dan lokasi pengajian warga Muhammadiyah. Maka tidak heran, selepas Din sebelumnya diamanahi jabatan Ketua IPPNU saat bersekolah di Sumbawa, kemudian Din Syamsuddin di amanahi Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), saat menempuh pendidikan sarjana. (denias)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 21 Tahun 2018