Berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912, di Yogyakarta, mempunyai pertalian dengan lahirnya organisasi Serikat Dagang Islam (SDI), yang berdiri empat tahun sebelumnya di Solo. Keduanya merupakan fenomena Islam perkotaan. SDI lebih menekankan sebagai gerakan ekonomi, sedangkan Muhammadiyah lebih menekankan pada gerakan sosial dan purifikasi ajaran Islam.
SDI memiliki misi melawan dominasi ekonomi kongkalikong pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, SDI bersikap non-kooperatif dengan pemerintah kolonial Belanda. Risikonya, SDI memperoleh tekanan hebat dari pemerintah kolonial, sehingga tidak mampu leluasa berkembang.
Menghadapi kenyataan seperti itu, banyak tokoh SDI mengalihkan kesibukannya ke Muhammadiyah, sekaligus menggunakan Muhammadiyah sebagai wahana membangun jaringan perdagangannya di daerah-daerah.
Memang belum ada studi mendalam mengenai jaringan perdagangan Muhammadiyah, kecuali penggalan-penggalan cerita, misalnya bahwa KH Ahmad Dahlan, pendiri sekaligus Pimpinan Muhammadiyah waktu itu, selalu membawa barang dagangan, terutama kain batik setiap berkunjung ke daerah.
Tahun 1945, Indonesia merdeka, segera diikuti dengan permintaan tenaga pegawai untuk mengisi birokrasi pemerintahan baru. Sekalipun posisi pegawai negeri masih diisi oleh bekas pegawai kolonial atau lulusan dari sekolah yang didirikan oleh para misionaris Kristen.
Namun, Muhammadiyah juga ikut mengisi lowongan pegawai tersebut karena sudah banyak juga lulusan sekolah Muhammadiyah sebagai buah politik “koperasinya” di bidang pendidikan.
Hingga tahun 70-an, anak-anak keturunan Muhammadiyah mulai ikut mendominasi birokrasi. Perubahan tahun 70-an ini agaknya telah menggeser latar belakang profesi pelaku utama Muhammadiyah. Yang semula para pedagang dan wiraswasta diganti oleh para pegawai negeri sipil. Perubahan latar belakang profesi para pimpinan dan anggota Muhammadiyah ini telah mengubah orientasi dan kinerja Persyarikatan Muhammadiyah.
Waktu dan kesempatan yang digunakan untuk memimpin Muhammadiyah semula cukup fleksibel dan longgar menjadi sangat terbatas karena terikat dengan jam kantor. Etos kerja yang semula sangat mandiri menjadi etos menunggu instruksi.
Mengalirnya anak keturunan Muhammadiyah ke kantor-kantor pemerintah ternyata juga menjadi sisi “negatif” bagi Muhammadiyah. Tradisi entrepreneur berkurang dalam keluarga Muhammadiyah. Ketika Presiden Habibie, sebagai pengganti Soeharto, menggulirkan program ekonomi kerakyatan sebagai anti-tesis program ekonomi konglomerasi pro-pasar, terasa bahwa dunia wiraswata dan bisnis telah jauh ditinggalkan sebagian besar warga Muhammadiyah. Dan hanya direspons oleh sebagian kecil warga Muhammadiyah.
Oleh karena itu, Muhammadiyah masa datang harus memperhatikan masalah pemekaran anggota sekaligus peningkatan kesejahteraan ekonominya. Di samping perlu memproduksi berbagai metode dan teknik guna menggerakkan semangat berjamaah, Muhammadiyah mesti menjadikan jaringan ekonomi sebagai alat rekrutmen dan pembinaan anggota. (ron)
Disarikan dari makalah yang berjudul “Muhammadiyah: Menyeimbangkan antara Gerakan Amal dengan Gerakan Jamaah”
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 6 Tahun 2017