Oleh: M Muchlas Abror
PROF KH A KAHAR MUZAKKIR, yang biasa disapa Pak Kahar, memiliki kepribadian baik. Penulis kolom ini tentu bersyukur. Karena sejak masuk Yogyakarta tahun 1959, penulis mulai mengenal Pak Kahar. Setelah itu perkenalannya berlanjut. Tidak lagi sekadar kenal nama. Tapi, sering bertemu. Apalagi penulis aktif di Muhammadiyah dan menjadi wartawan Harian Mercu Suar yang kemudian berganti nama Masa Kini.
Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), sebagai generasi penerus, perlu mengenal dan meneladani kepribadian Pak Kahar. Dalam tulisan sebelumnya, penulis telah mengenalkan siapa Pak Kahar. Sekarang, akan penulis kemukakan kepribadiannya.
Pertama, hidup sederhana. Pak Kahar sehari-hari hidupnya sederhana. Dalam rumahnya pun tak ada barang mewah. Ia punya kendaraan yang oleh masyarakat disebutnya sepeda kumbang. Karena bentuknya seperti sepeda. Suatu ketika, ia pernah kena tilang. Kendaraannya ditahan polisi dan tak diurus. Kebetulan, ada mahasiswanya ke Kantor Kepolisian untuk suatu urusan. Ia melihat sepeda kumbang milik Pak Kahar di situ. Lalu sekali jalan, kendaraan itu dapat diselesaikan urusannya dan bisa diambil.
Kedua, senang berdakwah kepada kaum lemah. Ketika menjadi Rektor UII dan Dekan Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Pak Kahar berangkat ke dan pulang dari kampus sering mbecak atau ngandong. Hanya terkadang ia dijemput dan diantar dengan mobil. Menurut H Yatiman Syafi’i, mantan Ketua PCM Kotagede, “Pak Kahar sering mbecak atau ngandong beralasan untuk berdakwah kepada kaum lemah, yaitu bang becak dan kusir andong bersama penumpangnya. Peluang itu digunakannya untuk berdakwah.
Sementara itu, H Bashori Anwar, juga mantan Ketua PCM Kotagede, punya pengalaman mbecak bersama Pak Kahar. Sampai suatu tempat, Pak Kahar minta bang becak berhenti. Karena melihat para bang becak sedang berjudi. Lalu ia mendekati dan memberi nasehat. “Saya tidak tega melihat bapak-bapak”, katanya. “Lho, mengapa Kiai ?”, mereka bertanya . “Bapak-bapak tiap hari bekerja keras. Menggenjot becak sampai keluar keringat. Tentu berharap dapat hasil. Hasilnya ditunggu isteri dan anak di rumah. Nah, ketika pulang tidak membawa hasil, sayang sekali. Karena itu, hasil seberapa pun, jangan untuk …”, ujarnya. “Ya, ya, kami paham dan terima kasih, Kiai”, jawab mereka.
Ketiga, disiplin. Ada ceritera dari Drs Achmad Charris Zubair, SU, kerabat dekat Pak Kahar. “Ketika ada mahasiswanya di UII yang terlambat untuk mengikuti kuliah, Pak Kahar tidak marah dan membentak. Kepadanya ia hanya mengatakan, “Tolong Anda tutup pintu ruang ini, tapi dari luar”, demikian ceritera ringkasnya. Jadi, Pak Kahar dalam mendidik mahasiswanya untuk berdisiplin dengan kearifan, bukan dengan marah.
Keempat, beraqidah dan berpendirian teguh. Pak AR Fakhruddin dan Pak Kahar, suatu waktu, diutus PP Muhammadiyah ke Musywil Muhammadiyah Jateng di Kudus. Penulis pun diajak. Kami sempat rekreasi ke lereng gunung Muria, tempat yang sejuk. Tibatiba ada alumnus UII, bekerja di suatu perkebunan, menemui Pak Kahar. Ia menjelaskan baru saja selesai ziarah ke makam Sunan Muria untuk mohon berkah. Mendengar itu, Pak Kahar lalu berkata, “Anda berziarah silahkan. Itu baik, asal dapat menjaga diri tidak berbuat syirik, misal, mohon berkah kepada orang yang sudah meninggal. Meskipun ia seorang wali. Kalau mohon berkah langsung kepada Allah”, demikian nasehat orang beraqidah teguh. Keteguhan aqidahnya itu menggambarkan ia berpendirian teguh. Pantas, ia masuk dalam Panitia Sembilan, perumus Piagam Jakarta.
Kelima, suka bersilaturrahim. Pak Kahar suka bersilaturrahim. Ketika bertiga ke Kudus itu, di sela-sela menghadiri Musywil Muhammadiyah Jateng, atas prakarsa Pak Kahar, bertiga memanfaatkan waktu untuk bersilaturrahim kepada beberapa orang. Pada waktu lain, ketika penulis masih di Notoprajan, Pak Kahar datang bertamu untuk bersilaturrahim. Meski hanya sebentar dan ia hanya bicara singkat. Terus pamit lalu bersalaman. Penulis terkesan dan tak bisa melupakannya sampai sekarang.
Prof KH A Kahar Muzakkir, semasa hayat, besar jasa perjuangan dan pengorbanannya untuk mencapai kemerdekaan. Juga dalam pembangunan bangsa untuk mengisi kemerdekaan dan keteladanannya kepada generasi berikutnya.
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 9 Tahun 2019