Oleh: Sule Subaweh
Surip berhenti menangis setelah mendengarkan murotal Qur’an yang disetel tetangga sebelah. Kini tidurnya pulas. Beberapa hari terakhir Surip selalu menangis tengah malam, tanpa sebab. “Mungkin dia mau tumbuh gigi atau mau lancar bicara,” kata nenek Surip mencoba menenangkan ayah Surip, Amir, lewat telepon.
Di dalam kamar istri Amir tampak kelelahan. Tak lama terlihat senyum istri Amir mengembang sambil menghela nafas panjang. Pelan-pelan dia ke luar dari kamar dengan langkah hampir tak terdengar. Hanya suara detak jam yang jarumnya menusuk ke angka sebelas. Dan lantunan ayat-ayat suci yang terdengar dari tetangga sebelah seperti mengelus dada keluarga kecil yang sedari tadi cemas.
“Sepertinya anak kita seneng dengan orang ngaji, Mas,” bisik Istri Amir menyimpulkan. Amir mengangguk pelan.
—
Pagi buta Amir sudah duduk di depan laptop, unduh Murotal. Sambil menunggu selesai dia putar Qori anak kecil yang hafal Al-Qur’an di Youtube.
“Subhanallah!” serunya menyaksikan anak yang masih umur delapan tahun sudah hafal 30 juz. Dia menggeleng-geleng kepala. Takjub. Dibayangkan anak kecil yang hafal Al-Qur’an itu memanggil-manggil ayah kepadanya. Lalu harapan-harapan kecil bermunculan di kepala Amir untuk menjadikan anaknya hafidz.
Setiap pagi, menjelang Maghrib dan saat si kecil, Surip akan tidur, Amir putar murotal itu. Mulai dari juz ‘amma hingga anaknya tidur, baru distop.
Setiap hari alunan ayat-ayat itu tak pernah absen. Jika bukan Amir, maka istrinya tanpa disuruh akan memutarnya. Hari-hari terasa menyejukkan. Suasana rumah terasa nyaman dan tenang sebelum akhirnya Surip kembali menangis histeris seperti beberapa hari yang lalu.
Istri Amir mondar-mandir menggendong Surip dengan wajah cemas malam itu. Segala cara telah dilakukan untuk mendiamkan tangis Surip yang mulai serak diikuti tubuhnya meronta-ronta.
Amir semakin cemas setelah Surip tetap menangis. Biasanya dia menangis sekitar jam 12 malam. Meski murotal sudah diputar tetap saja Surip tidak berhenti menangis. Malah semakin kencang.
“Bagaimana kalau dibacakan surat-surat pendek mas. Bukan diputar dari Mp3. Barangkali Surip akan lebih tertarik,” usulnya kemudian. Amir seperti mendapatkan angin segar sekaligus diterpa kebingungan mendengar ide istrinya. Mereka saling tatap, seperti saling melempar tanggung jawab. Tentu saja mereka sedikit bingung, selain tidak banyak suratsurat pendek yang dihafal mereka juga jarang baca.
“Coba Mas yang belajar,” istrinya cepat-cepat memutuskan.
“Bukan hanya aku, tapi kita berdua,” kata Amir. Istrinya diam. Maklum, selain tidak bisa membaca huruf hijaiyah, dia juga terhitung baru mendalami agama. Tepatnya setelah mereka menikah. Bahkan kecintaannya pada Islam semakin kuat, saat pertama kali Surip berhenti menangis ketika mendengarkan murotal itu. Sejak saat itu dia seperti mendapatkan energi baru dan semakin terpacu untuk terus berusaha mendalami agama. Tapi untuk membaca Al-Qur’an sampai saat ini dia belum fasih, bisanya hanya hafalan.
Lahir dan besar di Kota Metropolitan membuatnya jarang bergesekan dengan yang namanya agama. Apa lagi orang tuanya jarang, bahkan tidak pernah, mengajarkan agama secara langsung.
“Mas saja dulu. Nanti aku belajar dari, Mas. Hehehehe,” kilahnya dengan senyum lebar. Amir mengangguk ragu.
Meski Amir lebih bisa, tapi dia sudah lama tidak membaca Al-Qur’an. Setelah di rantau dia disibukkan dengan pekerjaan dan hanya buku atau koran yang rutin dibaca. Ada getaran yang luar biasa berdenyut di dadanya saat mencoba membaca Al-Qur’an. Bibir yang biasa lancar berbicara tiba-tiba kaku.
—
Bertahun-tahun tidak pernah membaca Al-Qur’an, tidak hanya membuat bibir Amir kaku tapi juga muncul debaran perasaan bersalah. Keringat mengucur saat di depan ustadz yang ia minta mengajarinya.
Amir menjadwalkan seminggu tiga kali setelah pulang kerja belajar membaca. Pekan pertama dia hanya melancarkan bacaan. Tentu saja bukan hal mudah baginya. Begitu membaca satu baris, teguran dari ustadz sudah tak terhitung berapa kali. Panjang pendeknya masih kelabakan dipahami oleh Amir, belum lagi yang lainnya. Tapi semangatnya tak luntur sedikitpun untuk terus belajar. Dukungan istrinya menjadi salah satu semangat yang memacu untuk terus belajar membaca.
“Sudah berapa lama tidak baca, Mas?” tanya ustadz mencoba setelah berkali-kali mengalami kesulitan mengeja.
“Sudah lama sekali, Ustadz.”
“Kenapa ingin membaca lagi?”
“Entah kenapa, akhir-akhir ini ingin membaca lagi, Ustadz.” Amir menunduk menahan malu dan berusaha menyembunyikan persoalannya. Selain ngaji ke ustadz, untuk lebih memperlancar ngajinya, Dia selalu mendengarkan qori menggunakan headset sambil niteni lewat android saat tengah malam. Di sela-sela itu terdengar pula tangis anaknya yang selalu menangis di jam duabelas ke atas.
Di ruang shalat Amir mencoba terus berlatih memperbaiki bacaannya. Tapi masih terasa kaku. Dia luruskan punggung sambil membuka baju dan mengusap keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Punggung dan segala sendi-sendi ngilu setelah menunduk lama. Tapi segalanya menjadi tidak terasa setiap teringat si kecil dan semangat istrinya yang setia menunggu.
Mengingat itu, diam-diam, di antara malam yang dingin, saat semua orang dalam kantuk, pelan-pelan Amir membaca surat-surat pendek dengan tartil yang sedikit sudah dikuasai. Kadang-kadang dia gunakan maghom, meniru qori yang selalu didengar. “Ceks…!” serunya saat mendengar suaranya yang parau. Saat seperti itu kekecewaan selalu berkumpul di dadanya yang dipenuhi keringat.
Besoknya, setelah shalat Maghrib pelan-pelan dia baca terlebih saat anaknya nangis. Aktivitas itu dilakukannya setiap hari. Meskipun suaranya parau, terdengar dipaksa-paksakan, canggung, bahkan fals dan belepotan, jauh dari suara qori yang selalu didengarnya. Amir tidak peduli. Dia terus membaca. Sekarang dia lebih percaya diri dan mulai mengeraskan suara.
Pada malam selanjutnya, entah kenapa Amir seperti biasa tidak membaca Al-Qur’an setelah shalat. Ia hanya berdzikir dalam hati di atas sajadah.
Hening…
Lamat-lamat terdengar suara langkah kaki tak beraturan. Langkah itu tidak berhenti, terus menuju ke arahnya. Dari belakang punggung Amir, tangan anaknya meraba-raba. Perlahan dia berteriak seperti melantunkan ayat-ayat tak beraturan sambil menunjuk pada AlQur’an yang masih berada di atas rak. Melihat anaknya tersenyum Amir merasa seperti ada angin berputar-putar di dadanya, tak beraturan.
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 23 Tahun 2017