Berguru dari Para Pendahulu

Masa awal berdirinya Muhammadiyah, organisasi Islam modern Indonesia ini memang tampil dan melekat dengan identitas berkemajuan. Bergaya trendy dengan setelan jas layaknya orang Barat serta selalu menonjolkan kedekatannya kepada budaya ilmu pengetahuan, hingga mampu mengoperasikan setiap produk kecanggihan zaman. Lihat saja beberapa pose foto KH Ahmad Dahlan dengan jas dan berhiaskan globe (bola dunia) serta barisan buku yang berjajar rapih di belakangnya. Jelas itu memikat perhatian anak muda.

Salah satu yang terpikat dengan keberadaan organisasi Muhammadiyah ialah M Yunus Anies muda. Suatu ketika, karena ketertarikannya kepada Persyarikatan ini, Yunus Anies muda berniat bergabung dengan membuat kartu keanggotaan Muhammadiyah. Ia datang dan menemui langsung salah satu tokoh Muhammadiyah saat itu, Haji Fachrodin.

Bertemu Haji Fachrodin, kemudian Yunus Anies muda menyampaikan maksudnya, yaitu ingin menjadi bagian dari Persyarikatan Muhammadiyah. Mendengar hal itu, Haji Fachrodin spontan bertanya kepada Yunus Anies muda tentang pengetahuannya terhadap Muhammadiyah.

“Apa yang kamu ketahui tentang Muhammadiyah? Apakah kamu pernah membaca AD/ART Muhammadiyah?,” Tanya Haji Fachrodin kepada pemuda tersebut. “Saya membaca (dari AD/ ART) yang penting-penting saja,” jawab Yunus Anies muda. Mendengar jawaban itu, Haji Fachrodin menyusulkan pertanyaan, “apakah yang tertulis dalam AD/ ART Muhammadiyah tidak semuanya penting?,” tanyanya kembali.

Tanpa bisa menjawab, Yunus Anies muda memilih untuk mengurungkan niatnya dan kembali ke rumah. Bukan untuk lari dan menjauh dari Muhammadiyah, tapi justru ingin menghafalkan dan mendalami AD/ART Muhammadiyah. Kejadian ini justru di kemudian hari mengantarkan Yunus Anies menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan ia diakui oleh banyak kalangan sebagai orang yang sangat paham Muhammadiyah pada masanya. Inilah sepenggal kisah dari M Yunus Anies Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959/1961.

Sekedar menggarisbawahi cerita di atas, bahwa semua putusan, kebijakan, gagasan, maupun rumusan yang dibuat oleh Muhammadiyah tidak ada yang tidak penting, tidak ada yang tidak baik. Semua itu penting dan baik bagi pribadi kader, anggota, pimpinan, Persyarikatan, bahkan bagi masyarakat luas, bangsa, dan negara. Tapi sayang, penguat ideologi Persyarikatan ini tidak lagi banyak disentuh oleh mayoritas warganya.

HM YUNUS ANIS (Dok SM)

Entah apa faktor yang melatarbelakangi terjadinya hal ini, tapi yang jelas ketidakpahaman akan ideologi akan berimbas pada perilaku menyimpang yang tidak sejalan dengan garis-garis keorganisasian Muhammadiyah. Mengutip kata-kata Ahmad Syafii Maarif Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2000/2005, orang yang ahistoris (tidak paham sejarah) pasti salah memahami realita.

Memang bukan perkara yang mudah untuk menjadikan pribadi kader paham akan ideologi Muhammadiyah. Apalagi, Wakil Ketua Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah Taufiqur Rahman mengatakan, telah terjadi pergeseran motif ketertarikan masyarkat kepada Muhammadiyah.

Ketertarikan tersebut bukan lagi berbasis pembinaan jamaah tapi lebih banyak berbasis ketertarikan untuk aktif di amal usaha Muhammadiyah. Tentu akan sangat berbeda ketika orang masuk Muhammadiyah memang karena yakin bahwa nilai-nilai paham Muhammadiyah sejalan dengan perspektif yang diyakini. Akibatnya orang masuk Muhammadiyah itu lebih kepada aktivitas, baik itu secara organisasi maupun kepentingan-kepentingan politik atau terlibat dalam mengelola amal usaha.

“Tidak salah, tapi itulah realitanya. Dulu basis Muhammadiyah adalah jamaah dengan pengajiannya, tapi sekarang basis Muhammadiyah adalah amal usaha,” terangnya. Dan kebanyakan sudah merasa cukup hanya dengan beraktivitas di amal usaha. Seolah tugas sebagai seorang kader Persyarikatan sudah dijalankan dengan baik.

Memori akan kuatnya jamaah pengajian sebagai basis Persyarikatan juga dirasakan betul oleh Agus Taufiqurrohman Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Kesehatan. Ia ingat betul betapa hal-hal dasar Persyarikatan betul-betul dijadikan sebagai bahasan dalam berbagai forum Muhammadiyah di berbagai level, termasuk suasana serupa juga sangat terasa di semua ortom.

“Dulu kita sering belajar tentang Masalah Lima, yaitu tentang apa itu agama, dunia, jihad fi sabilillah, dan ibadah. Juga menggali kembali nilai-nilai yang ada dalam Muqaddimah AD/ART, Kepribadian, dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah. Itu harus kita sebarkan, latihkan, diajarkan, hingga mengimplementasikannya, dan senantiasa terus dikawal,” ingatnya.

Namun, Agus Taufiqurrohman juga menyadari, bahwa dulu dan sekarang beda zamannya beda pula tantangannya. Apalagi sekarang Muhammadiyah makin besar yang di dalamnya makin banyak ragam pemahaman. Karenanya ia menyarankan agar ada semacam forum konsolidasi ideologi agar saling memahami keberagaman paham tersebut.

Sedang menurut Muchlas Abror, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1995/2000, untuk menanamkan kembali paham Muhammadiyah sebenarnya hanya dibutuhkan metode atau cara yang sesuai dengan zamannya. Baitul Arqam misalnya, pelaksanaannya tidak lagi kaku, sebab prinsipnya semua materi perkaderan tersampaikan dengan baik.

“Tapi perlu dipahami bersama, bahwa tugas untuk membina jamaah butuh keseriusan dan pengorbanan dan untuk memahami paham Muhammadiyah dibutuhkan waktu yang lama, bukan singkat,” tandas Muchlas.

Persoalan cara juga menjadi sorotan Irfan Amalee, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sebab zaman sudah berubah tentu cara-cara dan metodemetode penguatan Muhammadiyah juga harus sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Paling mendasar, katanya, adalah merubah cara berfikir lama kepada cara berfikir era milenial.

Di antaranya pertama, mengubah cara berfikir dari majelis taklim menjadi platform, sebab persebaran informasi tidak lagi dari mimbar ke mimbar tapi sudah berbasis online. Kedua, mengubah mustami’ (pendengar) menjadi viewer. Hari ini da’i sejuta umat sudah terkalahkan oleh keberadaan da’i puluhan juta viewer (umat).

Ketiga, karena generasi milenial adalah generasi yang mengedepankan jaringan, maka perlu merubah instruksi menjadi persuasi. Terakhir, adalah mengubah retorika menjadi narasi. Kesemuanya itu nantinya akan menjadi maksimal jika timing (penjadwalan) dan packaging (kemasan) baik juga tepat.

Mungkin jika Muhammadiyah menguasai cara dakwah baru ini, yaitu dakwah digital, yang penting dan yang baik dari Muhammadiyah akan mudah dipahami. Dan mungkin karena masih dominan cara lama, yang penting dan baik dari Muhammadiyah justru dikesampingkan. (bahan bas/ris/gan, tulisan gsh)

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 18 Tahun 2019

Exit mobile version