Asas Keikhlasan dan Kesukarelawanan Muhammadiyah
Oleh: Aditya Pratama
“Pertolongan Moehammadijah b/g P.K.O. itoe boekan sekali-kali sebagai soeatoe djaring kepada manoesia oemoemnya, supaja dapat menarik hati akan masoek kepada agama Islam atau Perserikatan Moehammadijah, itoe tidak; akan tetapi segala pertolongannja itoe semata-mata karena memenoehi kewadjiban atas agamanja Islam terhadap segala bangsa, tidak memandang agama.”
Kutipan di atas adalah bagian dari dokumen yang jamak dikenal sebagai Asas PKO yang dimuat dalam Almanak Muhammadiyah 1929 yang diterbitkan oleh Bahagian Taman Pustaka. Sebagian pakar menganggap dokumen ini amatlah penting untuk menjelaskan ide dan spirit filantropi Muhammadiyah di tahun-tahun awalnya.
Dari dokumen tersebut kita bisa menemukan bahwa sejak awal asas keikhlasan dan kesukarelawanan dalam Muhammadiyah sudah mendarahdaging saat menjalankan fungsinya sebagai organisasi yang ingin menggembirakan ajaran Islam dan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Alhasil, “orang-orang fekir dan miskin… anak jatim… hingga orang sakit jang terlantar” menjadi “kelinci percobaan” di laboratorium sosial Muhammadiyah yang wujudnya berupa rumah miskin, rumah anak yatim, dan poliklinik. Sebab aksi demikian semata-mata memang ditujukan untuk memuliakan Sang Pencipta, karenanya juga ciptaan-Nya, maka jadilah “orang Eropah, baik orang Djawa (orang boemi), baik Tjina atau bangsa Arab, boleh datang kemari, akan ditolong dengan tjuma-tjuma, asalkan betoel miskin,” demikian yang disebutkan dr. Soetomo.
Altruisme dan Peradaban Manusia
Sebelumnya, gerak Muhammadiyah dan Sapa Tresna pun pernah terlihat saat dampak letusan Gunung Kelud pada 1918 mencekik Yogyakarta dan membuat warga menderita. Peristiwa itu menandai debut Penolong Kesengsaraan Oemoem dalam kancah filantropi Islam di Indonesia, sebelum akhirnya mendirikan rumah sakit di Yogyakarta pada 15 Januari 1923.
Terkait pemandangan semacam itu, dalam Mutual Aid: A factor of Evolution, Peter Kropotkin menjelaskan bahwa meski tolong-menolong utamanya berkembang pada saat masyarakat sedang hidup dalam kedamaian, itu semakin berkembang di tengah manusia ketika mereka mengalami kesulitan, dan khalayak cenderung berupaya keras membangun kembali kehidupan mereka dengan tolong-menolong sebagai pondasinya. Selain itu, tolong-menolong sesungguhnya amat dekat dengan spirit altruisme.
Lagi, filosof Peter Kropotkin menunjukkan bahwa altruisme yang demikian ini sudah tertanam dalam sanubari dan pikiran manusia sejak ia lahir dan sudah ada sejak awal manusia hidup bersosial. Tanpa altruisme ini, peradaban manusia bisa punah, sebab altruisme merupakan salah satu syarat adanya evolusi dan pada akhirnya revolusi dalam segala bidang kehidupan manusia.
Altruisme yang berlandaskan keikhlasan dan kesukarelawanan ini sebetulnya adalah dorongan utama untuk meraih kemajuan akhlak, yaitu akhlak yang berfondasi pada kewajaran, keadilan, dan persaudaraan umat manusia.
Altruisme (atau pengorbanan diri untuk sang liyan) adalah salah satu kekuatan yang paling berharga dan paling dahsyat dalam sejarah manusia, demikian tandas Jean-Marie Guyau. Altruisme langgam Muhammadiyah jelas berbeda dengan altruisme versi Nietzsche, yang di situ altruisme adalah wujud kekalahan sang altruis terhadap sang dhuafa yang menggunakan rasa iba sebagai senjatanya.
Jika ditelusuri lebih lanjut, asas keikhlasan dan kesukarelawanan Muhammadiyah—yang dalam konteks pertolongan kemanusiaan belakangan hari bersemayam dalam PKU dan MDMC—sebetulnya berinduk pada ajaran welas asih yang dipromosikan oleh Kiai Dahlan. Sedangkan ajaran welas asih Kiai Dahlan itu berasal dari ajaran Islam yang sarat dengan konsep cinta surgawi, yaitu kecintaan pada Allah sebagai Al-Wadud (Yang Maha Mencintai) dan ciptaanNya, dalam kasus ini manusia.
Keikhlasan dan Kesukarelawanan
Cinta surgawi ini tidak membutuhkan timbal-balik, bersifat multiaspek dan bertujuan untuk memberikan manfaat kepada sesama manusia maupun semesta. Dengan kecintaan surgawi, manusia dapat mengaktualisasikan dirinya dan mendongkrak harga dirinya, demikian ungkap Immanuel Kant dalam Religion and Rational Theology.
Pada titik itu, iman manusia kepada Tuhan (aspek hablunminallah) terejawantahkan menjadi aksi (faith in action) dan berujung pada aksi sosial yang membawa kepada kemaslahatan bersama (aspek hablunminannaas). Lebih lanjut, menurut Mitsuo Nakamura dalam Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin, sebetulnya kesulitan dan kesengsaraan umum yang dihadapi oleh khalayak pada masa itu bukan hanya bencana fisik belaka melainkan juga “menunjuk pada kesengsaraan umum yang tersebar luas, yang disebabkan oleh kekuasaan asing dan kemerosotan akhlak Islam. Bantuan bagi kesengsaraan ini, melalui tindakan langsung, dianggap sebagai pemenuhan kewajiban kaum Muslim dan sebuah jalan untuk memulihkan kejayaan Islam”.
Sejatinya, aspek hablunminallah dan hablunminnaas haruslah berjalan berdampingan, sebab Al-Ma’un memperingatkan agar kita tidak lalai dalam beragama dengan menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin. Terkait itu, Abdul Munir Mulkhan pernah berpendapat bahwa “ritual formal (shalat) tidak ada artinya bagi pembuktian keimanan kecuali diikuti oleh pembelaan kepada kaum tertindas”.
Hasilnya, kini keikhlasan dan kesukarelawanan Muhammadiyah terabadikan dalam berbagai wujud, di antaranya fasilitas kesehatan milik Muhammadiyah yang dikelola oleh Majelis Pembina Kesehatan Umum sudah terdapat di berbagai kota di Indonesia, baik kecil maupun besar, dengan jumlah setidaknya 2.119 buah. Lalu belakangan asas keikhlasan dan kesukarelawanan mulai digelorakan oleh Muhammadiyah Disaster Management Center yang mulai muncul pada 2007 sebagai anak panah Muhammadiyah yang berjibaku mengurusi hajat umat dalam situasi bencana.
Akhirnya, tentu asas keikhlasan dan kesukarelawanan Muhammadiyah dapat mendorong umat untuk— dalam bahasa Erich Fromm—menjadi (to be) makhluk yang berani berbagi, memberi, dan berkorban kepada sesama, sehingga pada akhirnya dapat menghadirkan kesalingpengertian dan kedamaian dalam peradaban manusia yang bertahtakan kemajemukan.
Pada titik ini, asas keikhlasan dan kesukarelawanan Muhammadiyah niscaya dapat menjadi jaring penyelamat manusia dan kemanusiaan yang membawa manfaat dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Tampaknya, itulah yang dicita-citakan Kiai Dahlan lebih dari seratus tahun yang lalu. Wallahua’lam.
Aditya Pratama, Peminat Kajian Muhammadiyah
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 23 Tahun 2018