Oleh: M Muchlas Abror
Pada suatu tahun, PWM DIY akan menyelenggarakan Milad Muhammadiyah. Tentu sebelumnya PWM DIY telah mengadakan rapat. Di antara keputusan utamanya akan menghadirkan Prof. Dr. Hamka, akrab dipanggil Buya Hamka, untuk memberikan taushiyah dalam Milad Muhammadiyah di Yogyakarta. Saya, waktu itu masih menjadi Ketua PWM DIY, ditugasi untuk audiensi ke PP Muhammadiyah.
Dalam pertemuan dengan PP Muhammadiyah, saya menyampaikan, “PWM DIY akan menyelenggarakan Milad Muhammadiyah di GOR Kridosono dan akan menghadirkan Buya Hamka”. Tanggap terhadap apa yang saya sampaikan, PP Muhammadiyah menyambut maksud baik itu. Bahkan, PP Muhammadiyah akan mengirim surat mengundang Buya Hamka pada Milad Muhammadiyah di Yogyakarta. PWM DIY tentu gembira dan bersyukur.
Hamka adaIah putera H Abdul Karim Amrullah. Ayahnya memberi nama Abdul Malik. Setelah berhaji tahun 1927, ia menyingkat namanya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Pendidikan formalnya hanya sampai kelas tiga SR. Tetapi sejak kecil, ia gemar membaca. Ia tekun mempelajari agama dan bahasa Arab di Perpustakaan Sumatera Thawalib. Ia menjadi orang berilmu karena otodidak atau banyak belajar sendiri. Pada tahun 1924, ia ke Yogyakarta dan tinggal di rumah Ja’far Amrullah, pamannya.
Lalu dapat berkenalan antara lain dengan KH Fachruddin dan Ki Bagus Hadikusumo. Tahun 1925, ia ke Pekalongan bersilaturrahim ke rumah Buya AR Sutan Mansur, kakak ipar dan juga gurunya. Sejak muda aktif menjadi muballigh atau da’i Muhammadiyah. Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah pernah menugasinya beberapa bulan menjadi muballigh di Sulawesi Selatan. Cukup lama ia di PP Muhammadiyah. Bahkan, sejak tahun 1971 sampai akhir hayat, ia menjadi Penasehat PP Muhammadiyah.
Kedalaman dan keluasan ilmunya yang dikuasai secara otodidak mengantarkan Buya Hamka mendapat gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Al-Azhar Kairo tahun 1955 dan Universitas Kebangsaan Malaysia (1976). Setelah MUI terbentuk tahun 1975, Prof Dr Hamka menjadi Ketua Umum MUI Pusat yang pertama. Ulama, ilmuwan, budayawan, dan sastrawan Indonesia ini telah wafat dan banyak meninggalkan karya tulis. Di antaranya Tafsir Al-Azhar 30 Juz. Pemerintah memberi penghargaan kepadanya sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 10 Nopember 2011.
Buya Hamka dalam pidatonya pada peringatan Milad Muhammadiyah di GOR Kridosono, Yogyakarta antara lain menyinggung tentang ibadah haji. “Menunaikan ibadah haji pada masa lalu dengan masa sekarang tingkat kesulitannya sangat jauh berbeda. Perjalanan berhaji pada masa sekarang tingkat kesulitannya tidak seberapa. Tidak seperti tingkat kesulitan berhaji pada masa dulu. Karena itu, perjalanan untuk berhaji, ketika Indonesia masih dijajah Belanda, merupakan suatu perjuangan.
Sehingga mereka bersungguh-sungguh agar dapat mencapai haji mabrur”, demikian Buya dan selanjutnya menjelaskan, “Mereka setelah selamat tiba di Indonesia, memiliki semangat perjuangan dan pengorbanan yang tinggi. Mereka menjadi penggerak, pengarah, pengisi, pembangun di tengah kehidupan bersama. Seperti diteladankan KH Ahmad Dahlan. Kita sebagai generasi penerusnya haruslah meneruskan perjuangannya”.
Peringatan Milad Muhammadiyah DIY, malam itu, mendapat perhatian besar dari keluarga besar Muhammadiyah DIY. GOR Kridosono penuh sesak dipadati pengunjung yang ingin mendengarkan pidato Buya Hamka. Pengunjung pun terus mengalir dan membanjir, berdesak-desakan berebut hendak masuk. Sehingga ada pintu rusak dan kaca yang pecah. PWM DIY memahami semua itu dan menjadi resiko yang harus ditanggung. Apalagi keluarga besar Muhammadiyah DIY telah lama merindukan kunjungan Buya Hamka ke Yogyakarta. Peringatan Milad Muhammadiyah di Yogyakarta sukses. Alhamdulillah. Itulah kenangan manis yang mengesankan dan sulit dilupakan.
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 17 Tahun 2018