Hikmah Diutusnya Rasul (1); Surat Al-Baqarah Ayat 213-214

Hikmah Diutusnya Rasul (1); Surat Al-Baqarah Ayat 213-214

Hikmah Diutusnya Rasul (ayat 213-214)

  1. (Pada awalnya) manusia itu adalah umat yang satu. Selanjutnya Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orangorang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
  2. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Kapankah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.

Kata ummah merupakan bentuk tunggal. Adapun bentuk jamaknya adalah umam. Secara bahasa kata ini mengandung beberapa arti, antara lain: 1) suatu golongan manusia, 2) setiap kelompok manusia yang dinisbatkan kepada seorang nabi, misalnya umat Nabi Muhammad saw, umat Nabi Musa as, dan 3) setiap generasi manusia yang menjadi umat yang satu (ummatan wahidah).

Ar-Raghib mendefinisikan kata ummah sebagai setiap kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu atau tempat yang sama baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka. (Al-Raghib al-Asfahani, alMufradāt fī Gharīb’al-Qur`ān, (Beirut: Dār al-Ma’rifah, t.th), hlm. 23).

Mayoritas mufassir sepakat bahwa yang dimaksud ummah dalam ayat ini adalah al-millah yang bisa dimaknai sebagai agama sebagaimana penjelasan dalam bab terdahulu ketika berbicara tentang millah Ibrahim.

Kata an-nās dalam AlQur’an mengacu pada aspek manusia dalam konteks kehidupan sosialnya. Hal ini terkait dengan penyebutan manusia di dalam Al-Qur’an yang bervariasi, salah satunya adalah penyebutan an-nās. Manusia disebutkan di dalam Al-Qur’an dengan beberapa ungkapan, di antaranya alnās, al-insān, al-basyar, bani Ādām, ‘abdun.

Penggunaan kata an-nās dalam Al-Qur’an kerap dihubungkan dengan aspek sosiologisnya (kemasyarakatannya). Ini berkaitan dengan watak manusia yang tidak mungkin hidup sendiri (homo socius), namun selalu berinteraksi dengan manusia lainnya, dan kemudian membentuk sebuah karakter budaya dan tradisi yang khas.

Ayat ini menegaskan bahwa tradisi manusia pada awalnya adalah satu. Kalimat “kānannāsu ummatan wāhidatan” memberikan gambaran bahwa konsep manusia itu merupakan sekelompok individu yang memiliki budaya dan tradisi yang khas, yakni bersatu dalam konsep ummah. Sebagaimana telah disebutkan di atas, kata ummah dimaknai sebagai millah, yakni ajaran dan aturan Allah yang diturunkan kepada para Nabi, sehingga kata manusia dapat dimaknai sebagai sekumpulan makhluk yang mengikuti tradisi nabi-nabi yang satu, yakni ajaran tauhid.

Dalam sejarahnya, manusia dengan kecenderungan negatifnya yang didorong oleh hawa nafsu tergiur untuk menyeleweng. Penyelewengan-penyelewengan itu terjadi karena adanya berbagai kepentingan dan motivasi keduniaan manusia yang kemudian diwujudkan tanpa batas ketentuan sehingga melanggar hak-hak orang lain dengan penuh kedengkian. Pemenuhan kepentingan tanpa batas dan mengambil yang bukan haknya inilah menurut mereka yang memicu perpecahan di antara manusia yang pada awalnya merupakan satu kesatuan komunitas yang terikat dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Selama manusia hidup dengan kedengkian dan selalu ingin mengambil hak orang lain, maka konflik yang mengakibatkan perpecahan akan selalu mengiringi kehidupan manusia yang pada awalnya merupakan ummat yang satu.

Penyelewengan yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang menyebabkan manusia semakin jauh dari ajaran ketauhidan. Inilah yang di dalam Al-Qur’an disebut dengan alahzab (golongan-golongan). Golongangolongan ini membentuk tradisi dan ajaran tersendiri yang jauh dari ajaran ketauhidan. Oleh karena itu, kalimat “faba’atsallāhun nabiyyīna” memberikan penjelasan kepada kita bahwa penyelewengan-penyelewengan manusia secara berkelompok ini memberikan dasar diutusnya para nabi untuk meluruskan penyimpangan tersebut. Para nabi, termasuk Nabi Muhammad saw diutus disertai dengan kitab suci yang berisi ketentuan-ketentuan ajaran Allah. Bersambung

Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Prof Dr Yunan Yusuf

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 7 Tahun 2017

Exit mobile version