Menjelang ajalnya, KH Ahmad Dahlan pernah berpesan kepada iparnya, KH Ibrahim, yang mengurusnya ketika KHA Dahlan sakit. KH Ibrahim ini pula yang menggantikan KHA Dahlan sebagai Ketua HB Muhammadiyah (kini Ketua Umum PP Muhammadiyah). Pesannya sebagai berikut:
“Him, agama Islam itu kami misalkan laksana gayung yang sudah rusak vorm (pegangan)nya, dan rusak pula kalengnya, sudah sama bocor dimakan teyeng (karat), sehingga tidak dapat digunakan pula sebagai gayung.
Oleh karena kita umat Islam perlu akan menggunakan gayung tersebut, tetapi tidak dapat karena gayung itu sudah sangat rusaknya. Sedang kami tidak mempunyai alat untuk memperbaikinya, tetapi tetangga dan kawan-kawan di sekitarku itu banyak yang memegang dan mempunyai alat itu, tetapi mereka juga tidak banyak yang memegang dan mempunyai alat itu, tetapi mereka juga tidak mengetahui bahwa alat-alat yang dipegang dan dimiliki itu dapat digunakan untuk memperbaiki gayung yang kami butuhkan itu.
Maka perlulah kamu mesti berani meminjam untuk memperbaikinya. Siapakah tetangga dan kawan-kawan yang ada di sekitar kamu itu? Ialah mereka kaum cerdik pandai dan mereka orang-orang yang terpelajar yang mereka itu tidak tahu memahami agama Islam. Padahal, mereka itu pada dasarnya merasa dan mengakui bahwa pribadinya itu muslim juga.
Karena banyak mereka itu memang daripada keturunan kaum muslimin, malah ada yang keturunan dari penghulu-penghulu dan kiai-kiai terkemuka. Tetapi, karena mereka melihat keadaan umat Islam pada umumnya keadaan krisis dalam segala-galanya, mereka tidak ingin menjadi umat yang bobrok. Oleh karena itu dekatilah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya sehingga mereka mengenal kita, dan kita mengenal mereka. Sehingga, perkenalan kita bertimbal balik, sama-sama memberi dan sama-sama menerima”. (Syuja’, 2009: 192-193).
Gayung yang dimaksud adalah alat untuk menciduk atau mengambil air terbuat dari kaleng dengan pegangan dari besi atau kayu. Ketika gayung rusak, kaleng bocor dan berkarat serta pegangan rusak tentu tak bisa digunakan lagi dan kalaupun digunakan sudah tak maksimal lagi.
Tentu yang dimaksud “agama Islam itu kami misalkan laksana gayung yang sudah rusak” itu bukanlah ajarannya yang rusak tetapi pemahaman ajaran Islam atau paham agamanya yang rusak. Sehingga Islam yang mestinya dapat member spirit kemajuan, tetapi malah dalam posisi tertinggal. Islam yang rahmatan lil ‘alamin tidak nampak dampaknya bagi kehidupan.
KHA Dahlan tidak hanya berpesan tetapi itulah yang dikerjakan selama ini, memperbaiki pemahaman Islamnya sehingga lebih bermanfaat bagi kehidupan. Karenanya, untuk memperbaiki gayung itu juga tak segan meminjam alat dari orang lain, bahkan kepada muridnya sendiri.
Persyarikatan Muhammadiyah berdiri 18 November 1912 juga tak lepas dari ini. Ide organisasi ini lahir dari dialog kecil antara KHA Dahlan dengan muridnya di Kweekschool Yogyakarta yang datang ke rumahnya yang juga untuk Sekolah. Organisasi yang tadinya untuk menjaga sekolah tersebut agar lestari, malah di usianyan yang ke-105 (19 November 2017) mampu membiakkan ribuan sekolah serupa bahkan ribuan amal usaha yang lain.
Hizbul Wathan (HW) yang lahir usai KHA Dahlan melihat kepanduan di Mangkunegaran Solo, ternyata mampu melahirkan pejuang-pejuang pembela negara. Bahkan Jenderal pertama di Tentara Nasional Indonesia (TNI), Jenderal Sudirman, lahir dari tempaan HW.
Kini gayung itu sudah tidak rusak lagi. Sudah mampu memberi pencerahan bagi bangsa Indonesia untuk maju. Sudah menampakkan wajah rahmatn lil ‘alamin. Kewajiban generasi kini untuk memelihara gayung hingga tak rusak lagi. (Abu Aya)
Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2017