Tanwir

Kata dari bahasa Arab ini diartikan oleh KBBI sebagai: pemberian nasihat. Berbeda dengan muasal katanya nawwara-yunawwiru-tanwiran, yang dimkanai sebagai: pencerahan, penyinaran, penerangan. Tanwir dekat dengan makna kata munir yang diambil dari anara-yuniru-inaratan. Dalam bahasa Inggris serupa dengan lighting, illuminate, enlightenment.

Istilah tanwir di Muhammadiyah, menurut telusuran Pusdalitbang SM, mulai muncul dan resmi digunakan sejak tahun 1932. Pada mulanya disebut Madjlis Tanwir, sebagai salah satu hasil Kepoetoesan Conferentie Consul Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia-Timoer di Djokjakarta (19-22 November 1932).

Majalah Soeara Moehammadijah No. 4, Sja`ban 1351/December Th. XIV 1932, tentang Kepoetoesan Conferentie tersebut dalam Hal Pimpinan, poin Keagamaan. Dinyatakan, (1) Oentoek mentjoekoepi boenji ajat (ditulis terjemahannya Qs al-A`raf: 157), maka Conferentie memoetoeskan: menambah seboeah Badan lagi –disampingnja Madjlis Tardjih– yang diserahi mempeladjari dan meremboek masalah-masalah jang berhoeboengan dengan maksoed achir ajat Al-Qoeran terseboet; (2) Badan ini dinamakan “Madjlis Tanwir” dan terdiri dari semoea Consoel H.B. Moehammadijah Hindia-Timoer; (3) Semoea Consul diharoeskan mendjadi anggauta Madjlis Tanwir; (4) Oentoek mengerdjakan hariannja, maka diadakan Dagelijksch Bestuur yang terdiri dari toean-toean: H. Moechtar, R. Moejadi Djojomartono dan H. Hasim.

Anggaran Dasar Keputusan Kongres XXII Pasal VII ayat 6 menyebut bahwa Hoofdbestuur Muhammadiyah dibantu oleh: Majelis Tarjih (berikhtiar mempersatukan hukum Islam); Majelis Tanwir (mempelajari dan merembuk Qs. Al-A’raf: 157 tentang cahaya al-Qur’an); Majelis Syura (terdiri dari departemen yang dianggap perlu); dan Consul-consul (yaitu lid-lid Muhammadiyah yang diadakan atas usul Konferensi Daerah).

Terkait makna ini, pada Mei 2016, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menerbitkan karya Tafsir At-Tanwir. Tafsir ini menggunakan metode tahlili cum maudhui, yang mengulas makna ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan paradigma bahwa al-Qur’an merupakan kitab rahmat, yang berfungsi untuk mencerahkan kehidupan manusia.

Ketika KH Mas Mansur menjadi Ketua HB Muhammadiyah (1937-1941), istilah Majelis Tanwir dimasukkan dalam salah satu dari Dua Belas Langkah Muhammadiyah 1938-1940. Langkah kedelapan menyatakan: Menguatkan Majelis Tanwir.

Kata Tanwir sebagai suatu permusyawaratan, dicetuskan dalam Muktamar di Banjarmasin tahun 1935. AD Muhammadiyah 1959 Bab VI Pasal 16 menyatakan, “Tanwir ialah permusyawaratan tertinggi dalam Persyarikatan pada waktu tidak ada Mu’tamar…”

AD Muhammadiyah mutakhir pada Pasal 24 berbunyi, (1) Tanwir ialah permusyawaratan dalam Muhammadiyah di bawah Muktamar, diselenggarakan oleh dan atas tanggung jawab Pimpinan Pusat; (2) Anggota Tanwir terdiri atas: a. Anggota Pimpinan Pusat, b. Ketua Pimpinan Wilayah, c. Wakil Wilayah, d. Wakil Pimpinan Organisasi Otonom tingkat Pusat; (3) Tanwir diadakan sekurang-kurangnya tiga kali selama masa jabatan Pimpinan; (4) Acara dan ketentuan lain tentang Tanwir diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Agenda dan bahasan dalam sidang Tanwir, meliputi: laporan Pimpinan Pusat, masalah yang oleh Muktamar atau menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga diserahkan kepada Tanwir, masalah yang akan dibahas dalam Muktamar sebagai pembicaraan pendahuluan, masalah mendesak yang tidak dapat ditangguhkan sampai berlangsungnya Muktamar, serta usul-usul.

Sidang tanwir merupakan forum musyawarah untuk merumuskan kebijakan yang mencerahkan umat dan bangsa. Sesuai dengan spirit cahaya matahari yang melekat pada logo Muhammadiyah. (ribas)

Tulisan ini pernah dimuat di rubrik “Pediamu” Majalah Suara Muhammadiyah edisi nomor 4 tahun 2019

Exit mobile version