Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah. Demikian sabda Rasulullah tentang pentingnya kekuatan sendiri. Pada hadits lain Nabi bersabda, yang artinya, “mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah ketimbang mukmin yang lemah” (HR Muslim, Ahmad, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah). Pesan Nabi itu menunjukkan betapa kemandirian itu sangat berharga bagi umat Islam jika ingin menjadi umat yang unggul atau terbaik.
Abdurrahman bin ‘Auf lebih memilih dicarikan pasar untuk berdagang tinimbang menerima tawaran tulus dari saudara barunya Sa’ad bin Rabi’ dari kalangan Anshar di Yasrib sewaktu hijrah. Abdurrahman bukan tidak menghargai ketulusan persaudaraan seiman yang dipertemukan Rasulullah dengan penuh kasih sayang itu, tetapi jiwa mandirinya tetap menyala dan tidak ingin padam oleh pemberian.
Menjadi Muslim yang kuat baik secara individu maupun kolektif memang menuntut jiwa mandiri, yakni kekuatan berdiri di atas kaki sendiri. Mandiri atau berdikari itu bukan berarti tidak bekerja sama dengan orang lain dan hidup tanpa orang lain, tetapi lebih mempertaruhkan dan mengoptimalkan kekuatan diri sendiri. Kalaupun ada bantuan atau kerjasama dengan pihak lain hal itu lebih menjadi faktor pendukung atau penguat, yang diperoleh secara bermartabat dan tetap bermodal dasar pada kemampuan diri.
Kekuatan Inti
Demikian pula dengan Muhammadiyah. Sebagai organisasi Islam yang lahir dari Kampung Kauman yang pendirinya berjiwa pergerakan dan berwirausaha, Muhammadiyah sejak awal terasah kemandiriannya. Amal usaha yang didirikannya seperti Poliklinik PKO tahun 1923 menggambarkan kemandirian, demikian pula amal usaha lain sesudahnya. Kiai Dahlan bahkan melelang perabotan rumahnya serta menggerakkan anggota Persyarikatan waktu itu untuk beramal-jariyah.
Di seluruh penjuru tanah air dapat disaksikan para penggerak Muhammadiyah, dan ‘Aisyiyah, mendirikan amal usaha dan melakukan kegiatan-kegiatan dakwah dengan kekuatan sendiri. Dalam keadaan serba terbatas bahkan berlomba mengerahkan tenaga, dana, dan apapun yang dimiliki sehingga berdiri berbagai amal usaha. Para pengelola amal usaha pun berjuang dari nol, tertatih-tatih, dan tidak jarang pasang surut dan ada yang tidak langsung berhasil.
Telusurilah jejak PTM dan AUM lain yang kini besar, semuanya dimulai dari titik nol. Semuanya berjibaku dengan segala pengorbanan dan pengkhidmatan yang total, tetapi akhirnya berhasil mengarungi samudra tantangan. Mereka bahkan “berpuasa” cukup lama hingga akhirnya meraih sukses. Tidak ada yang instan, sekali jadi, apalagi menggantungkan diri pada pihak lain. Di daerah-daerah minoritas seperti di NTT dan Papua bahkan spirit kemandirian itu juga tumbuh dengan baik, padahal saudara-saudara kita itu serba terbatas.
Sungguh betapa mahal kemandirian itu. Kemandirian ialah jiwa, pikiran, dan tindakan yang memancarkan inner dynamics, kekuatan inti dari dalam. Seperti magma yang mengandung silika bertekanan tinggi dan mendorong letusan gunung berapi. Laksana energi potensial yang berubah menjadi energi kinetik yang mampu mendorong benda bergerak sebagaimana lesakkan anak panah. Semua menjadi bara api pergerakan yang bertenaga tinggi.
Kekuatan dari dalam itu dahsyat melebihi hal-hal material, sehingga bernilai sangat tinggi. Contohnya energi ikhlas. Kiai Dahlan sering mengutip mutiara hikmah sebagai berikut “Semua manusia akan mati (kesadaran) kecuali ulama, ulama mengalami kebingungan kecuali mereka yang beramal, dan yang beramal diliputi kecemasan kecuali mereka yang ikhlas”. Dalam cuplikan Hadits yang muktabarat bahkan Nabi bersabda, innama al-’amalu bi al-niyat (HR Bukhari & Muslim dari Umar Ibn Khattab), bahwa segala sesuatu itu tergantung pada niat. Niat yang lahir dari jiwa terdalam untuk berbuat yang terbaik karena Allah.
Perjuangan menegakkan Agama Islam menuju terwujudnya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya melalui Muhammadiyah memang tidak mudah dan sarat. Terdapat sejumlah masalah dan tantangan yang ringan hingga berat. Karenanya diperlukan kekuatan inti dari dalam berupa niat ikhlas yang kuat, antara lain dengan memupuk jiwa kemandirian sebagai energi ruhaniah yang dahsyat untuk melahirkan amaliah gerakan yang berdiri kokoh karena kuat landasan, tiang, dan konstruksinya dalam jiwa setiap pelaku gerakan.
Jihad dan Sabar
Muhammadiyah lahir, tumbuh, dan berkembang dari dulu hingga sekarang dan sampai kapanpun digerakkan oleh tokoh, pimpinan, kader, dan anggota yang memiliki spirit berjuang jihad fi-sabililah. Mereka adalah sosok-sosok penggerak yang gigih dan tidak kenal menyerah. Mereka bukan aktivis yang gampang lapuk karena hujan, lekang karena panas, dan lembek karena tekanan. Militansi pergerakannya melebihi segalanya, sehingga berbuah keberhasilan dalam dinamika pasang-surut sarat suka dan duka.
Kiai Haji Ahmad Dahlan mengajarkan para muridnya untuk berjuang dengan dua kekuatan ruhaniah yakni kesungguhan dan kesabaran dalam menggerakkan Muhammadiyah. Pendiri Muhammadiyah itu mengajarkan Al-Qur’an Surat Ali Imran 142-143, yang artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar. Sesungguhnya kamu mengharapkan mati (syahid) sebelum kamu menghadapinya; (sekarang) sungguh kamu telah melihatnya dan kamu menyaksikannya” (Qs Ali Imran:142-143).
Perjuangan menegakkan ajaran Islam itu tidak mudah, selalu banyak halangan dan rintangan yang harus dijalani dengan jihad dan sabar. Dengan bersungguh-sungguh dan bersabar saja perjuangan itu belum tentu langsung berhasil, apalagi jika tidak berjihad dan tidak bersabar. Semuanya memerlukan pengorbanan dan pengkhidmatan yang tinggi.
Berjuang itu tidak boleh gampang menyerah, berpangku tangan, dan ingin terima hasil dengan mudah. Berjihad di jalan dakwah itu dilakukan dengan jiwa, tenaga, harta, dan pengorbanan diri yang tidak kenal berhenti. Semua dilakukan dengan ikhlas agar tetap senang, gembira, dan optimis karena didorong keyakinan bahwa di balik ikhtiar manusia selalu ada kuasa dan anugerah Allah.
Kiai Dahlan memberi contoh, ketika di ujung perjuangannya yang merasa tua, meski usia beliau sebenarnya belum seberapa sepuh karena tatkala wafat tahun 1923 umurnya 54 tahun. Kiai sungguh gigih berjuang tak kenal menyerah, “Aku ini sudah tua, berusia lanjut, kekuatanku pun sudah sangat terbatas. Tapi, aku tetap memaksakan diri memenuhi kewajibanku beramal, bekerja, dan berjuang untuk menegakkan dan menjunjung tinggi perintah tuhan. Aku sangat yakin seyakin-yakinnya bahwa memperbaiki urusan yang terlanjur salah dan disalahgunakan atau diselewengkan adalah merupakan kewajiban setiap manusia, terutama kewajiban umat Islam.”
Maka, para pimpinan, kader, dan anggota Muhammadiyah yang berkiprah menggerakkan organisasi beserta seluruh amal usaha dan kegiatannya, janganlah mudah menyerah ketika memulai sesuatu untuk sampai meraih keberhasilan. Bangun spirit kemandirian dengan merawat, membesarkan, dan menyukseskan pergerakan yang dirintis meskipun awalnya kecil tetapi percayalah lama kelamaan akan besar dan sukses.
Jangan muluk-muluk dengan hal-hal yang awalnya kelihatan besar dan gampang, tetapi berujung pada kegagalan fatal hanya karena “besar pasak daripada tiang”. Obesi besar boleh, tetapi tetap terukur dan akuntabel, serta dilandasi rasionalitas dan jiwa mandiri.
Dalam berjuang menggerakkan Muhammadiyah, amal usaha, dan program apapun di lingkungan Persyarikatan maka yang diperlukan ialah sikap istiqamah dalam kesungguhan dan kesabaran merintis, memelihara, menumbuhkan, dan membesarkannya dengan sepenuh jiwa pengabdian. Kiai Haji Ahmad Dahlan bahkan berpesan,
“Menjaga dan memelihara Muhammadiyah bukanlah suatu perkara yang mudah. Karena itu aku senantiasa berdoa setiap saat hingga saat-saat terakhir aku akan menghadap kepada Illahi Rabbi. Aku juga berdo’a berkat dan keridhaan serta limpahan rahmat karunia Illahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia sepanjang sejarah dari zaman ke zaman.”
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 18 Tahun 2016