Oleh: Raspa Laa
Ada sebuah ungkapan, yang secara tidak langsung telah memberikan tanggung jawab besar dalam pembentukan generasi berkepriadian kepada kepada guru. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ungkapan ini yang kemudian melahirkan konsekuensi, ketika ada siswa yang bermasalah maka kemudian orang pertama yang disalahkan adalah guru.
Hal ini juga sejalan dengan akronim untuk guru, salah satunya adalah digugu dan ditiru. Segala tutur dan tingkah laku guru dengan sendirinya menjadi pelajaran yang kemudian akan ditiru oleh siswanya dalam kehidupan keseharian. Ini lagi-lagi mempertegas bahwa guru adalah orang yang bertanggung jawab dalam membentuk generasi yang utuh.
Generasi utuh sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional sebagai tujuan dari pendidikan yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Betapa besarnya tanggung jawab ini, maka kemudian sungguh tidak berlebihan juga ketika harus ada penghargaan yang disandarkan kepada guru. Pahlawan tanpa tanda jasa, adalah ungkapan yang menggambarkan bahwa guru layak disebut sebagai seorang pahlawan, atas jasa-jasa dalam proses pentrasferan pengetahuan dan nilai. Yang kemudian dampak dari itu tidak hanya dirasakan saat ini, tapi sepanjang hayat.
Terlepas dari bentuk-bentuk tunjangan yang saat ini diberikan kepada guru, ada sebuah bentuk perlakuan terhadap guru yang sudah mulai menurun tingkat penghargaanya. Dulu, guru merupakan sosok yang disegani baik di dalam sekolah maupun di tengah-tengah masyarakat. Penghargaan tidak hanya diberikan oleh siswa selaku orang yang berinteraksi dengan guru di dalam kelas, tapi juga oleh orang tua yang telah memberikan kepercayaan kepada guru untuk mendidik anaknya. Segala proses yang terjadi di dalam kelas, dianggap sebagai bagian dari proses pendidikan.
Guru benar-benar disegani oleh siswa karena didukung oleh sikap penghargaan dari orang tua. Orang tua akan mengadu kepada guru, manakala ada siswa yang masih bandel dan nakal di rumah. Bahkan orang tua akan marah besar kepada anaknya, jika anaknya mengadu kalau telah mendapatkan hukuman dari gurunya di sekolah.
Beberapa peristiwa akhir-akhir ini, baik dari media massa dan elektronik telah menyajikan kondisi yang jauh telah bergeser. Di televisi kita melihat guru yang secara terang-terangan digambarkan dengan sosok yang culun. Kita juga disuguhkan informasi perlakuan terhadap guru yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, siswa juga sudah tidak takut lagi untuk bersikap kasar bahkan menghabiskan nyawa gurunya.
Potret ini, sekalipun tidak menghilangkan tanggung jawab guru tapi paling tidak telah menggeser posisi guru sebagai sosok yang terus harus dihormati. Harus diakui, bahwa kemampuan yang dimiliki sebagai buah dari upaya yang dilakukan oleh guru harus terus disyukuri. Bentuknya adalah dengan tidak berhenti berterima kasih, termasuk tetap menghargai jasa seorang guru.
Hari guru, sekiranya menghadirkan kesadaran dalam diri kita untuk terus memberikan penghargaan kepada guru sekalipun tidak bersifat material. Dan bagi para guru, untuk tidak berhenti semangatnya dalam memberikan pendidikan dalam upaya menciptakan generasi umat dan bangsa yang berkualitas. Selamat Hari Guru Nasional, 25 November 2019.
Raspa Laa, Dosen STKIP Muhammadiyah Kalabahi