Nabi berkisah. Di suatu tempat pada Bani Fulan ada orang yang dipandang terpercaya. Orang itu dipuji-puji, alangkah tabahnya, alangkah cerdiknya, alangkah pandainya dia. Namun, dalam hati orang itu tidak terdapat iman meski sebesar biji sawi. Kemudian Nabi bersabda yang artinya “Sungguh telah aku alami suatu masa ketika aku tidak peduli (tidak pilih-pilih) siapa di antaramu yang akan aku baiat (untuk menunaikan amanat), jika dia seorang muslim maka agamanya akan mengembalikan kepadanya…” (HR Bukhari-Muslim dari Hudzaifah Ibn al-Yaman).
Penggalan kisah itu mengandung pesan tentang amanat yang hilang dari diri seseorang karena tidak dilandasi iman. Meski orang itu di hadapan umum tampak terpercaya, lalu menjanjikan segalanya sebagai sosok yang akan sukses mengemban amanat. Rupanya, kehebatan yang membersitkan harapan keterpercayaan itu hampa di kemudian hari karena kehilangan sukma iman.
Amanat memang tidak dapat dilepaskan dari iman. Al-amanat berasal dari kata a-m-n, yang serumpun dengan kata iman, yakni kepercayaan. Akar sekaligus puncak dari iman ialah tauhid, kepercayaan mutlak pada Allah Yang Maha Esa. Jika amanat itu bersendikan iman dan iman berhulu dari mata air tauhid, maka yang mengalir ialah amanat yang jenih murni, asli, otentik.
Sebaliknya manakala bersumber dari ambisi duniawi maka amanat itu menjadi kotor dan semu. Amanat seperti itu sering bercampur dengan pencitraan dan hanya untuk meraih kepopuleran serta dukungan umat belaka.
Banyak orang ingin merebut amanat, tapi tak semua orang mau menunaikannya dengan tulus dan berkhidmat dengan jiwa jihad. Ketika ringan dan menyenangkan mungkin semua berkeinginan mengambil amanat.
Namun tatkala banyak kesulitan, masalah, dan tantangan yang berat maka satu persatu menyamping dari tanggung jawab dan kewajiban. Pada awal amanat itu dipikul masih tumbuh rasa senang lalu aktif. Ketika di tengah-tengah gelanggang makin lama kian berat, mulai kendor dan menepi. Lalu di ujung masa jabatan mulai bergairah kembali untuk merebut hati umat.
Amanat yang hanya dipikul di ujung kepala yang penuh ambisi dan kepentingan minus ketulusan dan pengkhidmatan dilukiskan Nabi sebagai orang yang dicabut amanat itu dari hatinya, fatuqbalu al-amanat min qalbihi. Kulit luarnya beramanat, tetapi jiwanya jauh panggang dari api. Kenapa?
Sabda Nabi, bahwa sumber amanat itu ada di hati (kalbu) dan hati itu tempat berseminya iman. Karenanya tiada amanat tanpa hati dan hampalah hati tanpa iman. Dengan kata lain amanat itu letaknya bukan di ikrar lisan tetapi dalam jantung hati dan perbuatan yang bersendikan ikhlas lillahi ta’ala karena dorongan iman.
Berapa banyak orang telah berikrar untuk menunaikan amanat dan senang dengan amanat itu. Namun dalam praktiknya tidak benar-benar dijalankan kecuali yang ringan-ringan dan menyenangkan. Itulah orang yang kehilangan amanat. Boleh jadi yang bersangkutan secara resmi masih memegang jabatan yang bermuatkan amanat itu. Tapi karena tidak sepenuhnya bermuara di hati yang tulus dan diberi fondasi iman yang kokoh, maka lama-kelamaan amanat itu berbelok arah dan makin jauh dari harapan semula.
Amanat itu akhirnya tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Itulah orang yang dicabut dan kehilangan amanat dari hatinya. Allah menyebut manusia yang ingkar amanat seperti itu sebagai sosok “dhuluman jahula“, yakni orang yang dlalim dan dungu (Qs. Al-Ahzab: 72). (A. Nuha)
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 1 Tahun 2015