Semua agama misi tidak dapat menghindar dari mengajak sebanyak mungkin umat untuk mengikuti agamanya. Baik Islam, Katolik, Kristen, maupun Buddha, tidak pernah lepas dari kegiatan dakwah atau misi. Dakwah atau misi tersebut, bahkan, seringkali dilakukan dalam masyarakat yang sudah punya agama. Baik itu dilakukan dengan terbuka, misalnya door-to-door, maupun sembunyi-sembunyi atau kamuflase, seperti membagikan sembako.
Dakwah atau misi seperti itu, jika dilakukan dalam masyarakat yang belum memiliki agama, tentu sah-sah saja. Akan tetapi, masalah akan menjadi besar jika dilakukan di masyarakat yang sudah memiliki agama, karena jelas itu melanggar UUD 1945.
Tapi, mari kita menengok sejarah, bagaimana dakwah dan misi itu dilakukan di masa-masa Kolonial. Meskipun tidak satu paket, pemerintah Kolonial mensupport habis-habisan misi Kristen, dan tidak sama sekali menyumbang aktivitas keagamaan Islam. Seperti itulah mengapa misi Kristen begitu masif.
Dengan sengaja pula, pemerintah Kolonial tidak memberi akses apa pun kepada penduduk pribumi, bahkan sekadar untuk melek huruf. Sehingga, satu sisi itu menguntungkan perkembangan Kristen, tetapi di sisi lain, memerosokkan umat Islam. Akibat dari tidak melek huruf, pemahaman agama umat Islam sama sekali tidak bisa keluar dari pemahaman primitif tentang mistik dan tradisi.
Oleh karena itu, menurut Alwi Shihab, President’s Envoy to The Middle East & OIC (Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan Organsasi Kerjasama Islam, OKI), penulis buku Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Penerbit Suara Muhammadiyah, 2016), terobosan yang dilakukan Ahmad Dahlan saat itu sangat mencerahkan umat Islam Hindia Belanda.
“Meskipun tidak menyatakan secara verbal dan terbuka, tetapi semua memahami bahwa yang dilakukan Ahmad Dahlan adalah dalam rangka membendung arus Kristenisasi di Indonesia, khususnya di Yogyakarta,” tegas Alwi.
Laju Kristenisasi di Jawa dan di Indonesia pada umumnya, yang didukung oleh kekuatan Kolonial. Hal itu menyesakkan dada Ahmad Dahlan dan kemudian menyentaknya untuk melakukan sesuatu. Tidak seperti yang dilakukan banyak organisasi Islam sekarang ini, Ahmad Dahlan justru mengimbangi strategi misi Kristen dengan mendirikan lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, dan lembaga sosial. Dia fokus mengurus kesejahteraan umat.
“Ahmad Dahlan mengimbangi misi Kristen dengan meniru (imitating) strategi Kristen,” lanjut Alwi. Ia mendirikan sekolah modern, mendirikan rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, dan sebagainya. Di mana semua itu juga telah dilakukan Kristen.
Strategi tersebut terbukti efektif dan bertahan lama, ketimbang dengan cara frontal yang justru kontraproduktif. Ahmad Dahlan sangat kooperatif dalam upaya mencerdaskan dan melindungi umat. Tidak melawan, melainkan menantang berkompetisi. Tidak protes terhadap gerakan misi Kristen, tetapi memompa diri untuk mengimbanginya. Oleh karena itu, yang terjadi bukan saling meniadakan, melainkan berlomba untuk semakin baik dan dipercaya umat.
Respons seperti itulah, yang menurut Prof Dr Jimly Asshiddiqie, Ketua Umum ICMI, sebagai “Perspektif yang sangat rasional dan cerdas dari Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah terhadap fenomena Kristenisasi.” Bahwa tidak perlu terlalu agresif dalam berdakwah, melainkan sangat penting untuk menawarkan dan memberikan kebaikan kepada internal umatnya dan kepada kelompok yang belum beragama.
Tidak perlu mengobral mie instan dan sembako, tetapi berilah kesejukan dan kedamaian dalam hidup mereka. Tawarkan dan berilah jalan keluar untuk kesejahteraan hidupnya. Baik dengan akses pendidikan, akses ekonomi, maupun akses kesehatan. Atau semua secara bersamaan. Hadirlah sebagai teman dalam memecahkan masalah keseharian mereka.
Strategi itulah mestinya dilakukan oleh umat beragama, sebagaimana semua itu pernah dilakukan Ahmad Dahlan. Di mana saat itu, seperti digambarkan Dr. Zuly Qodir, Executive Board Ahmad Syafii Maarif School of Political Thought and Humanity, Pascasarjana UMY, “Umat Islam pada waktu itu, suka tidak suka, adalah miskin dan kere.”
Akses ekonomi, pendidikan atau beasiswa dari pemerintah Kolonial hanya diberikan kepada kalangan priyayi. Akibatnya, banyak orang Islam yang bodoh karena sekolah dikhususkan bagi para priyayi dan pendukung Kolonial. Dalam kondisi itulah Ahmad Dahlan hadir dengan gagasannya untuk membuka akses-akses tersebut dengan sumberdaya pribumi sendiri. Tidak berharap kepada pemerintah Kolonial.
Dalam kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini, dakwah Islam yang dilakukan Ahmad Dahlan masih kontekstual. Bukan hanya pentingnya menyemarakkan dan menambah amal usaha Muhammadiyah hingga merata di Tanah Air, melainkan juga menemukan strategi yang cerdas untuk makin menghidupkan dakwah Islam di Indonesia. Dakwah seperti itulah yang terbukti mendamaikan, menyejukkan, menyejahterakan, dan mencerdaskan.
Dengan begitu, citra Indonesia sebagai negeri yang mayoritas Muslim memberikan sinyal kebaikan kepada dunia. Sebagaimana Presiden Hartford Seminary, Connecticut, USA, Prof Dr Heidi Hadsell, menyampaikan ketika berkunjung ke Yogyakarta. Bahwa yang ia temukan adalah “Indonesia lebih terbuka dan elegan dalam melakukan dialog dengan orang lain.”
Ini merupakan model di antara model lainnya tentang kehidupan beragama di mana mayoritas sangat ramah dan menjaga terhadap minoritas. Indonesia sebagai negara yang penuh dengan kejujuran dan sangat menghormati satu sama lainnya. “Bisa saya katakan bahwa Indonesia adalah model untuk dunia. Indonesia bisa mengekspor produk ini dengan penuh kebanggaan,” lanjut Ibu Heidi. Membendung Kristenisasi dengan amal dan kebajikan dengan sendirinya juga memberikan kedamaian kepada bangsa ini dan dunia. [bahan: thari, gsh, rbs; tulisan: ba]
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 22 Tahun 2016