Oleh: Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Umat Islam dan bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada kenyataan baru berupa tuntutan hak asasi manusia yang semakin terbuka. Sebutlah tentang tuntutan dibolehkannya secara hukum nikah beda agama, hak hidup kaum homoseksual, aliran kepercayaan dan sekte-sekte yang ingin diakui resmi oleh negara. Tidak perlunya status agama dalam identitas penduduk, dan hal-hal lain yang selama ini dari segi agama tabu untuk dibolehkan. Tuntutan tersebut didasarkan pada prinsip hak asasi manusia universal sebagaimana terkandung dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan BangsaBangsa dan pasal 28 UUD 1945 hasil amandemen.
Kehadiran pemikiran dan gerakan hak asasi manusia (HAM) seperti itu tentu merupakan batu uji tersendiri bagi umat beragama dan organisasi-organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah. Gerakan HAM tersebut menyatu dengan proses demokrasi yang sangat terbuka di segala bidang kehidupan di negeri ini. Yang harus dihadapi dengan cerdas melalui pemikiran-pemikiran dan langkah-langkah strategis. Langkah Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah bersama Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah beberapa waktu yang lalu yang melakukan kajian kritis terhadap isu pernikahan beda agama termasuk cukup penting sebagai bagian dari langkah cerdas tersebut.
Berakar HAM
Sebutlah gerakan HAM yang menuntut kebebasan nikah beda agama. Masalah tersebut sungguh tidaklah sederhana. Sebab meskipun mayoritas golongan Islam, termasuk Muhammadiyah mengharamkannya, tetapi tantangan dari kelompok-kelompok yang setuju pun tidak kalah gencar. Di kalangan Islam pun masih ada yang membolehkannya, sehingga tantangan pemikirannya semakin berat dan kompleks.
Kalangan pronikah beda agama memiliki rujukan konstitusional pada pasal 28 UUD 1945 hasil amandemen yang memang cenderung liberal. Pada pasal 16 (ayat 3) Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB bahkan secara tegas disebutkan, bahwa: (a) Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian; (b) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan oleh kedua mempelai; dan (c) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara.
Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid, bahwa alasan penggugat nikah beda agama mengadopsi pemikiran dari aturan hukum yang pernah dibolehkan masa kolonial Belanda.
Pada masa itu, cara pandang pemerintah Belanda menganggap hukum perkawinan hanya diatur dalam konteks perdata. Isu lain yang berkembang terkait dengan perkawinan beda agama karena adanya hasil peneliti dari Human Right Watch (HRW). Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dipandang diskriminasi terhadap pasangan beda agama. Itulah bagian dari prinsip hak asasi manusia (HAM) yang disebut universal dan merambah ke banyak bidang kehidupan.
Pandangan tentang HAM sendiri sebenarnya beragam dan tidak tunggal. Sebagian berpandangan absolut yang berpijak pada pemikiran humanisme-sekuler, sebagian mengaitkan dengan agama. Paham tentang hak asasi manusia di Barat antara lain merujuk pada pemikiran klasik antara lain John Locke yang menyatakan bahwa hak manusia (hak asasi manusia) meliputi hak hidup, hak kemerdekaan, serta hak milik. John Locke sendiri menyatakan bahwa hak asasi manusia itu berasal dari Tuhan yang sifatnya kodrati.
Kalangan Islam sendiri cukup responsif tentang HAM universal. Namun masih terdapat berbagai perbedaan mengenai detail isu dan masalah soal HAM tersebut, seperti pro-kontra soal nikah beda agama antara yang melarang dan membolehkan. Nurcholish Madjid sendiri yang pro-nikah beda agama, secara umum membedakan paham HAM sekuker dan Islamis. Bagi pemikir Paramadina ini, HAM sejatinya mengadopsi nilai Islam yang inklusif. Nurcholish menunjukkan tantangan HAM Islamis dan perwujudannya menghadapi beberapa kasus seperti hukuman mati, aborsi, nikah beda agama, eutanasia, dan lainnya (M. Iqbal Juliansyah Zen, 10421021).
Dunia Islam merespons HAM dengan mengeluarkan DUIHAM (Deklarasi Islam tentang Hak Asasi Manusia) hasil konferensi di Cairo Mesir tahun 1990.
Kini persoalannya perlu dielaborasi dan direformulasi. Sehingga, mampu menghadapi pemikiran-pemikiran produk DUHAM PBB dalam aplikasinya di negara-negara Islam dan negaranegara Muslim seperti di Indonesia. Muhammadiyah juga penting untuk menawarkan pemikiran alternatif pemikiran HAM Islam dan penerapannya di Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Semestinya pasal 28 pada UUD 1945, tidak boleh mereduksi spirit dan substansi pasal 29, ketika agama dan umat beragama di negeri ini sejak Republik ini lahir, bahkan jauh sebelum itu telah memilki hak-hak dasar untuk melaksanakan keyakinan agamanya.
Pemikiran Humanisme
Pemikiran tentang HAM memiliki akar filsafat pada humanisme. Humanisme adalah paham filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria utama segala sesuatu. Humanisme antara lain melahirkan doktrin trinitas yaitu kebebasan (liberty), persaudaraan (fathernity), dan persamaan (equality) yang menjadi basis prinsip HAM dan demokrasi.
Akar humanisme lahir di Italia abad ke-14, pada era akhir zaman Skolastik hingga meluas ke hampir seluruh Eropa di abad ke 16.
Terutama di Jerman, Inggris, dan Perancis pada abad ke-19. Humanisme lahir untuk mendobrak kebekuan dalam hegemoni gereja yang memasung kebebasan, kreatifitas, dan nalar manusia yang diinspirasi dari kejayaan kebudayaan Romawi dan Yunani. Humanisme Barat merupakan dasar lahirnya gerakan reneisans dan modernisme, yang kemudian berkembang ke benua Amerika dan belahan dunia lain.
Humanisme mengembangkan antroposentrisme, yaitu paham yang mendewakan manusia melawan teosentrisme. Yaitu paham serba-Tuhan yang waktu itu dianut gereja. Humanisme kemudian menjadi berwatak sekuler, yang dikenal dengan humanisme sekuler. Auguste Comte melahirkan filsafat positivisme sebagai era baru pasca alam pikiran mitos dan metafisika, yang memperkenalkan “religion humanitarian” atau agama kemanusiaan.
Nietshzhe dan Ludwig van Feuerbach memelopori filsafat anti-Tuhan (atheisme), sementara para pemikir lain mengembangkan sikap agnotisme atau anti-agama. Paham humanisme sekuker inilah yang menjauhkan agama dari ranah kehidupan manusia modern yang mempercayainya. Sehingga, menjelma menjadi agama baru yaitu “agama humanisme”.
Humanisme sendiri sebenarnya tidaklah tunggal, bahkan kini berkembang istilah humanisme agama atau keagamaan, selain humanisme sekuler.
Humanisme keagamaan berakar dari tradisi Renaisans-Pencerahan yang dikembangkan kalangan Kristen moderat atau garis tengah. Pandangan mereka terfokus pada martabat dan kebudiluhuran manusia dalam kehidupan modern.
Bagi kalangan agamawan moderat, bahwa kebebasan memang merupakan sentral dari pemikiran humanisme. Tetapi bukan kebebasan yang absolut, atau kebebasan sebagai antitesis dari diterminisme abad pertengahan. Humanisme pada waktu itu bukan berarti menentang tentang adanya kekuasaan Tuhan. Tetapi melakukan dekonstruksi terhadap teosentrisme yang membelenggu hak-hak dasar manusia yang diberikan oleh Tuhan secara alami.
Kini bahkan tumbuh kritik terhadap humanisme dan nalar modern yang deterministik itu. Michel Foucoult dan para pemikir posmodern melakukan dekonstruksi terhadap nalar modernitas. Albert Camus menelaah soal “absurditas manusia”. Fukuyama melahirkan “the end of history”.
Dalam ilmu pengetahuan muncul Mazhab Kritis pada Sekolah Frankfurt di Jerman, yang beraliran Neokantian dan memperkenalkan paradigma Geisteswissenchaften, sebagai ilmu pengetahuan kemanusiaan yang nonpositivistik dan melakukan kritik keras terhadap filsafat positivisme yang dianggapnya sesat-pikir. Namun ada catatan khusus, dari rahim filsafat posmodern lahir pula nihilisme, yang lebih radikal.
Di kalangan Islam lahir pemikiran Humanisme Islam. Humanisme Islam adalah humanisme-religius yang bersumber dan merupakan rekonstruksi dari ajaran Islam.
Pemikiran ini mengakui hak kebebasan, persaudaraan, dan persamaan sebagai fitrah yang diberikan Tuhan. Sekaligus menjadikan ajaran-Nya sebagai fondasi dan bingkai dalam menerapkan hak-hak asasi tersebut. Muhammad Iqbal dan Ali Shariati merujuk hak-hak asasi manusia itu pada tauhid.
Pemikir-pemikir Muslim neomodernisme dan posmodernisme banyak mengapresiasi dan menggagas hak asasi dan humanisme dalam perspektif Islam. Namun semuanya memerlukan dialog kritis antara pemikiran berbasis humanisme sekuler dan humanisme Islam, sehingga dapat dihadirkan al-fikrah al-badilah, yakni pemikiran alternatif yang melampaui. Tantangan tersebut sungguh menghadang di depan Muhammadiyah dan para pemikir maupun ulamanya untuk melahirkan pemikiran alternatif ,sebagai pijakan dan arah bagi umat Islam dalam memasuki kehidupan modern abad ke-21.
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2015