Cerpen: Dasti Fitriana
Parasnya ayu nan menawan. Lesung pipiinya terlihat begitu jelas ketika senyumnya mengembang. Matanya berbinar memancarkan kebahagiaan. Sulastri, remaja yang selalu menebar keceriaan kepada siapa pun.
Seperti sebelum-sebelumnya, Sulastri selalu membantu ibunya mengoreksi hasil pekerjaan murid-murid ibunya di setiap musim tes tiba. Ia anak semata wayang Bu Dirman sekaligus satu-satunya teman di kala suka maupun duka. Sejak Sulastri kelas satu SD Bu Dirman sudah hidup menjanda. Suaminya pergi entah ke mana. Izinnya dulu pergi merantau ke Kalimantan untuk mencari uang demi anak terkasihnya, Sulastri, tapi sudah lebih dari sepuluh tahun suaminya hilang tanpa kabar. Entah, Bu Dirman sudah tak ingin mengingatnya lagi karena hanya menimbulkan kesedihan yang mendalam.
Sebagai guru honorer, Bu Dirman merasa keberatan untuk menghidupi dirinya dan Sulastri, apalagi Sulastri sudah di tingkat akhir SMA. Bu Dirman sudah memikirkan pendidikan anaknya kelak, makanya ia tak segan-segan membanting tulang bekerja apa saja setelah suaminya pergi tanpa kembali. Ia sadar betul, gajinya tak akan mungkin cukup untuk membiayai pendidikan anaknya kelak apalagi biaya pendidikan semakin membumbung tinggi sekarang. Hampir hanya orang-orang yang berdompet tebal sajalah yang mampu mencicipi pendidikan tinggi. Mungkin, Bu Dirman tak termasuk di antara mereka yang mampu menyediakan pendidikan yang layak untuk buah hatinya.
Pelan namun pasti, Bu Dirman belajar ikhlas dan sabar dari usahanya mengembangbiakkan ternak. Berawal dari ternak ayam yang dibelinya dari uang sisa belanja yang dikumpulkannya. Tak selalu mendapatkan untung, sesekali jika musim penyakit tiba Bu Dirman pun buntung. Pernah suatu ketika ayam-ayamnya musnah semuanya terbunuh oleh penyakit. Memang begitu yang namanya bisnis namun ia tak pernah berhenti mencoba untuk berdiri kembali. Setelah hasilnya lumayan terlihat, dibelinya seekor kambing dari uang hasil ternak ayamnya. Kambing itu dipercayakan kepada tetangganya untuk merawatnya. Dan buah dari kegigihannya pun kini mulai terlihat.
Kambing-kambing ternaknya sudah cukup banyak. Tetangga-tetangganya yang menganggur pun merasa cukup terbantu karena dipercayai merawat kambing-kambingnya. Mereka mendapat hasil yang cukup adil setelah kambing dewasa dan cukup berumur untuk dijual. Hampir enam tahun jatuh bangun dilakoni Bu Dirman. Ia dengan segala kekurangan dan kelebihannya memang sosok ibu yang luar biasa hebat.
“Lastri, tolong ke rumah Pak Leman, ya. Bilang kalau kambingnya sudah siap diambil.”
“Iya, Bu.”
Belum pernah sekalipun Sulastri menolak permintaan ibunya. Ia sadar, sejak ayahnya menghilang tanpa kabar ibunyalah satu-satunya orang yang berharga di hidupnya. Ia bisa sekolah dan menikmati segala fasilitas yang dimilikinya sekarang juga karena jerih payah ibunya yang tiada mengenal lelah. Sebagai manusia biasa Sulastri memang pernah mengomel kecil kepada ibunya. Tetapi sesegera mungkin ia menepisnya walau susahnya memang luar biasa. Ketika hati sudah diliputi amarah, memang akal sulit sekali untuk menenangkannya. Kala itu Sulastri sedang sibuk menyelesaikan tugas menjahitnya dan Bu Dirman memintanya untuk segera membuat sayur ketika Sulastri belum selesai mengerjakannya. Dengan perasaan yang agak terpaksa ia melangkah menuju dapur. Itu kali pertamanya Bu Dirman meminta anak kesayangannya membuat sayur. Biasanya sebelum berangkat ke SMP Harapan, sekolah tempatnya mengajar, ia selalu menyempatkan untuk membuat sayur terlebih dahulu. Namun entah mengapa, hari itu tidak. Dan ia pun tak terlihat berangkat mengajar.
Sulastri begitu menyukai menjahit. Hampir setiap Rabu sore sepulang dari ekstra menjahit, ia selalu duduk termenung di depan mesin jahitnya mempraktikkan ilmu yang telah ia pelajari di sekolah. Menurut guru ekstranya, hasil jahitannya memang belum rapi namun kegigihannya untuk belajar cukup membuat gurunya kagum. Ia terlihat paling menonjol di antara teman-temannya yang lain. Ia pun termasuk siswa yang terseleksi alam. Dulunya ekstra menjahit menjadi salah satu ekstra favorit dengan jumlah siswa yang banyak, namun lama-kelamaan tinggal beberapa orang saja.
“Ibu. . . baju Ibu yang ini kan sobek. Lastri jahit ya biar nyambung lagi?” Tanya Sulastri sambil menenteng baju hijau ibunya.
“Nggak usah Las. Tolong ambilkan minyak kayu putih saja di lemari. Perut ibu sakit Las.” Pinta Bu Dirman kepada anaknya.
Sudah empat hari ini Bu Dirman merasa perutnya tak seperti biasanya. Perutnya sakit.
“Apa maagku kambuh ya?” Tanya Bu Dirman kepada dirinya sendiri. Dulunya Bu Dirman memang pernah memiliki penyakit maag, tetapi Bu Dirman selalu makan teratur dan lama sekali tak pernah kambuh lagi. Baru ini, ia merasa perutnya sakit kembali. Bu Dirman sudah ke Pak Herman, mantri di desanya. “Ooo, berarti benar maagku kambuh lagi,” Bu Dirman meyakinkan dirinya sendiri karena obat yang diberi Pak Herman hanyalah obat maag biasa.
“Perut Ibu masih sakit?” Tanya Sulastri kepada Bu Guru Dirman, ibunya.
“Masih sedikit Las. Ibu sudah minum obat dari mantri kok. Sebentar lagi juga sembuh.” Jawab Bu Dirman agar anaknya merasa tenang akan kesehatan ibunya.
“Sebelum berangkat ke sekolah, nanti Lasti mampir ke sekolah ibu ya? Lastri mau memberi tahu guru-guru piket kalau ibu hari ini nggak masuk.” Sulastri menawarkan bantuan.
“Boleh. Terima kasih ya Las. Kamu memang anak kebanggaan ibu.”
“. . .,” Sulastri hanya tersenyum lebar menanggapi pujian ibunya.
—
“Sulastri udah bisa buat baju. Bagus kan Bu?”
“Hm…bagus-bagus” Bu Dirman berkata sambil menganguk-anggukkan kepalanya.
“Besok Lastri mau buat baju dua. Satu untuk Ibu dan satu untuk Lastri. Kita kembaran ya Bu?” Mata Sulastri terlihat begitu berbinar. Ia ingin sekali membahagiakan Ibunya.
—
Senja menemani Bu Dirman mencerna perkataan dokter Nugroho tadi siang. Ia begitu terkejut dan tak menyangka sama sekali bahwa dirinya terkena liver, bukan maag. Mungkin itulah mengapa ia merasa rasa sakitnya berbeda dengan rasa sakit yang dirasakannya dulu. Matahari sore pun mulai menyingkir membawa pergi kesedihan yang dirasa Bu Dirman.
“Bu, hasil ujian nasional kan sudah diumumkan. Lastri boleh ya bu melanjutkan belajar desainer saja?”
“Desainer? Kamu kan sudah hampir enam tahun mengikuti ekstra menjahit, dari SMP sampai SMA. Kamu masih merasa kurang, Las?”
“Bukan begitu, Bu. Lastri ingin sekali menjadi desainer top, Bu”
“Tidak. Ibu tidak mengijinkan. Ibu akan mendaftarkanmu di Fakultas Farmasi saja.”
“Tapi, Bu….” Perkataan Sulastri menggantung, seperti harapannya yang tergantung dan ditolak oleh ibunya.
Malam itu terjadi pertengkaran yang cukup hebat. Baru kali ini ibu dan anak berseteru sampai seperti itu. Hujan angin pun menjadi saksi betapa ganasnya mereka berdua malam itu.
“Las, ibu sudah mendaftarkanmu di Fakultas Farmasi. Ini berkas-berkasnya. Sebulan lagi jadwal tes masuk.”
Tak ada jawaban dari perkataan Bu Dirman. Hanya gemuruh warga sekitar yang telah berhasil memasung Sulastri. Ternyata sedari pagi sepeninggal Bu Dirman, Sulastri bertingkah aneh seperti orang kesurupan. Ia memakai baju jahitannya sambil memegang satu baju lagi yang sama persis dengan yang dipakainya. Itu baju yang dijanjikan Sulastri kepada ibunya. Ia keliling kampung sambil berteriak-teriak dan memelototi setiap perempuan yang ia temui, baik anak-anak, remaja maupun ibu-ibu.
“Anakmu kesurupan, Bu,” cakap salah satu tetangganya.
Terdengar suara Sulastri yang memekakkan telinga. ”Aku nggak gila!”
Bu Dirman hanya menangis keras dan berkata dengan lafal yang kurang jelas, ”Iya, akulah yang menyebabkannya begitu.”
Dasti Fitriana, Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris UMS
—
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2015