Kiai Haji Ahmad Dahlan setiap subuh memberikan pengajaran pada murid-muridnya. Pada satu periode pengajarannya, berkali-kali KH Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir surat Al-Maun, hingga berhari-hari tidak ditambah-tambah dan akhirnya menimbulkan gerakan Al Maun.
Saat itu Kiai Dahlan meminta santrinya pergi berkeliling mencari orang miskin. “Kalau sudah dapat, bawa mereka pulang ke rumah masing-masing. Mandikan dengan sabun yang baik, beri mereka pakaian yang bersih, berilah makan dan minum, serta tempat tidur di rumahmu. Sekarang juga pengajian saya tutup. Dan saudara-saudara silahkan melakukan petunjuk-petunjuk saya tadi.” Ujar Kiai Dahlan.
Itulah gerakan Al Maun dimulai. Kiai Dahlan tidak hanya omong dan memerintah saja dalam hal gerakan ini, ia selalu di depan dalam menerapkan Al Maun. Ini dibuktikan tatkala ia mendapat surat dari Drijowongso, sosok yang tidak dikenalnya. Intinya ia yang saat itu di penjara minta tolong kepada Kiai Dahlan untuk membantu penghidupan anak isterinya yang tinggal di Porong Jawa Timur.
Meskipun Kiai Dahlan tak mengenal sosok Drijowongso yang dipenjara akibat pemogokan buruh, tetapi ia berniat untuk menolongnya karena alasan kemanusiaan dan semangat gerakan Al-Maun. Kiai merasa perlu menolong orang yang kena musibah, apalagi orang tersebut telah minta tolong pada Kiai.
Kebetulan pada tanggal 20 November 1921, SI cabang Kediri mengundang HB Muhammadiyah Bagian Tabligh untuk menghadiri open barver gadering di tempat tersebut. Utusan HB Muhammadiyah terdiri dari KH Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin. KH Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin diundang oleh SI cabang Kediri karena dalam struktur CSI, keduanya menjabat posisi teras. Dalam memenuhi undangan tersebut, HB Muhammadiyah mengajak Siti Moendjijah, adik kandung Haji Fachrodin yang menjadi salah satu santri putri KH Ahmad Dahlan.
Dari Kediri, utusan HB Muhammadiyah melanjutkan kunjungan ke Sidoarjo. Pada tanggal 23 November 1921, utusan HB Muhammadiyah menjemput anak dan istri Drijowongso di Porong (Sidoarjo). Drijowongso memberikan kepercayaan kepada HB untuk menjaga, mendidik, dan menghidupi anak dan istrinya selama dia dalam penjara (Magelang).
Pesan-pesan kemanusiaan yang disampaikan Kiai Dahlan ini mampu ditangkap dengan baik oleh Kiai Sjuja’, murid Kiai Dahlan yang diserahi Kiai untuk memimpin Bahagian PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) saat ini Majelis PKU (Pembina Kesehatan Umum). Saat dikukuhkannya Bahagian PKO oleh Kiai Dahlan bersama Bahagian Sekolahan, Bahagian Tabligh dan Bahagian Taman Pustaka pada 17 Juni 1920, Kiai Sudja’ sebagai Ketua memprogramkan membangun hospital (rumah sakit), armenhuis (rumah miskin) dan weeshuis (rumah yatim) sebagai tafsir amali surat Al-Maun.
Kiai menyetujui program ini. Meski Sudja’ sempat ditertawakan oleh yang hadir pada pengukuhan itu saat menyampaikan program ini. Untuk pembelaan diri atas tertawaan tersebut, Kiai Sudja’ mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an masih tercantum surat Al Maun. Setiap hari surat ini menjadi bacaan di kala shalat, namun sampai saat itu belum ada umat Islam mengambil peran dalam mengamalkan intisari surat Al-Maun.
Armenhuis dan poliklinik (sebagai cikal bakal hospital) berhasil didirikan sebelum KHA Dahlan wafat, meski Kiai Dahlan tidak sempat menghadiri saat pembukaan kedua amal usaha tersebut karena sakit menjelang wafatnya.
Paling tidak Kiai Dahlan sudah dapat membangun fondasi di bidang kesehatan, selain bidang pendidikan, yang saat ini merupakan trademark Muhammadiyah.
Armenhuis (Rumah Miskin) pertama berdiri 13 Januari 1923 di Yogyakarta, saat berdirinya menampung 16 laki-laki dan 15 perempuan dan di akhir bulan tinggal 12 laki-laki dan 13 perempuan. Lainnya, keluar dari Rumah Miskin. Hingga tahun 1929 penghuni menjadi 36 laki-laki dan 26 perempuan. Dan dari laporan PKO pada tahun 1938, saat akhir tahun jumlahnya 33 orang tanpa rincian lakilaki dan perempuan meski jumlah yang dirawat pada tahun itu mencapai 1023 orang. Saat ini rumah miskin secara murni telah menghilang.
Poliklinik Muhammadiyah pertama lahir pada April tahun 1923 di Jagang Notoprajan. Berdirinya rumah sakitrumah sakit Muhammadiyah atau rumah sakit PKU Muhammadiyah di seantero Nusantara tak lain bibitnya adalah sebuah poliklinik yang dokternya dr. Somowidagdo asli Malang. Poliklinik kecil di Yogyakarta ini, berkembang menjadi gerakan kesehatan yang merupakan pilar gerakan Muhammadiyah selain gerakan pendidikan.
Pada saat berdirinya rata-rata pasien yang datang tiap hari 20 orang, kemudian pada Desember 1923 pasien yang berobat rata-rata perhari menjadi 65 orang. Dan pada tahun 1925 mulai menampung pasien rawat inap yang kapasitas kamarnya hanya untuk 10 pasien. Saat awal-awal berdirinya pun mengalami defisit, tetapi terus semangat untuk menegakkan fasilitas kesehatan ini.
Sedangkan untuk Rumah Yatim Muhammadiyah secara resmi baru berlangsung pada tahun 1931, meski bibitnya sudah ada pada tahun 1923. Pada tahun 1923 bibit Rumah Yatim yang ada di Suronatan hanya mampu menampung 15 anak, itu pun baru terisi 12 anak semuanya laki-laki.
Kini Panti Asuhan Yatim sudah menyebar di seluruh Indonesia dalam asuhan Majelis Pelayanan Sosial (MPS).
Saat ini, kerja-kerja kemanusiaan tidak hanya dikerjakan Majelis PKU tetapi juga oleh Majelis Pelayanan Sosial (MPS), Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), Muhammadiyah Disaster Management Center/Lembaga Penanggulangan Bencana (MDMC/LPB), Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu). Bahkan didukung bagian yang lain Muhammadiyah melakukan respon kemanusian di dalam negeri melalui One Muhammadiyah One Response (OMOR) dan di luar negeri melalui Muhammadiyah Aid. (Lutfi)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 23 Tahun 2018