Nabi Muhammad dengan risalah Islam yang diembannya selama 23 tahun, berhasil mengubah wajah peradaban dunia. Terutama dalam memposisikan manusia: sebagai khalifatullah di muka bumi. Pada tradisi sebelum Islam, manusia sering direndahkan harkat dan martabatnya. Ada episode ketika manusia tak ubahnya seperti serigala yang saling memangsa sesamanya.
Islam datang dengan misi rahmatan lil alamin. Rahmat, dalam Tafsir At-Tanwir (2016), dimaknai sebagai perasaan lembut dan penuh kasih yang mendorong manusia untuk berbuat baik kepada yang dikasihinya. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kehidupan yang baik. Hidup baik diukur dengan indikator keadaan hidup yang bahagia, damai, dan sejahtera. Tercukupi kebutuhan fisik, mental, dan spiritual.
Alam semesta dan manusia tercipta berkat limpahan rahmat Allah yang Maha Rahman dan Rahim. Sepenuh rahmat-Nya, semesta diperjalankan dengan prinsip keserasian dan kedinamisan. Tatanan yang Maha Sempurna itu berjalan dengan hukum sunnatullah. Ketika ada sesuatu yang merusak keselarasan, maka akan bermuara pada kekacauan dan kerusakan.
Kerusakan bisa berupa bencana alam dan bencana sosial-kemanusiaan. Bencana alam terjadi karena memang hukum alam yang menghendaki adanya pergerakan tertentu untuk mencapai keseimbangannya, semisal dalam bencana hidrometeorologi. Ada juga karena kerusakan siklus keserasian alam oleh sebab ulah manusia, semisal ketika manusia merusak hutan, mencemari sungai, meratakan gunung, membunuh binatang, dan semisalnya. Semua itu bermuara pada kelangsungan alam yang bergerak dinamis.
Dalam kehidupan sosial, hukum keselarasan ini juga berlaku. Ketika manusia menjalankan kehidupan dengan masing-masing perannya, maka akan tercipta keharmonisan. Sebaliknya, ketika manusia merusak pranatanya, tidak tahu potensi dirinya, tidak paham tujuan hidupnya, tidak mengerti makna keberadaannya, maka dia akan menjalankan peran yang salah, menyia-nyiakan amanah yang diberikan Sang Pencipta. Dan pada akhirnya akan tercipta kekacauan. Konflik dan perang adalah di antara akibat adanya ketidakharmonisan sosial. Haytam Hilal menulis buku Mausu’ah al-Hurub (Ensiklopedia Peperangan), yang menghimpun peristiwa pertumpahan darah di muka bumi.
Sejarah mencatat bahwa perjalanan alam semesta dipenuhi dengan aneka bencana. Muhammadiyah memahami semua itu bagian dari limpahan rahmat-Nya. Semua itu mengandung sisi kebaikan. Ketika terjadi bencana, maka tugas manusia adalah untuk menyampaikan rahmat, membantu sesama, dan membawa mereka yang terkena bencana kembali ke hidup yang baik. Bukan membiarkan hamba-Nya dalam dera kesusahan. Di sinilah manusia dan rasa kemanusiaannya diuji.
Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Budi Setiawan menyatakan, bahwa awal mula kepedulian Muhammadiyah pada misi kemanusiaan terhadap korban bencana adalah pada peristiwa meletusnya Gunung Kelud tahun 1919 dengan 5000 korban jiwa. Letusan Gunung Agung tahun 1963 juga mengetuk hati Muhammadiyah. Dalam Sidang Tanwir 1963, peristiwa ini dibahas dan dibentuk gugus tugas untuk mengurusi korban bencana. Peristiwa gempa dan tsunami Aceh 2004, gempa Yogyakarta 2006, serta gempa Bengkulu dan Padang tahun 2007, Muhammadiyah kemudian mulai sadar untuk membuat sebuah satuan khusus. Diberi nama MDMC. Pada tahun 2010, dikuatkan dengan lahirnya Lembaga Penanggulangan Bencana.
Sesuai asas PKO, MDMC menjalankan tugas kemanusiaan secara murni. Menebar cinta. Kemanusiaan menembus semua sekat perbedaan latar belakang.
MDMC hadir di semua tempat yang ditimpa bencana, wilayah yang didominasi Muslim maupun daerah yang Muslimnya minoritas. Ketika banjir di Wasior, Papua Barat tahun 2010, MDMC membuka pos layanan di sebuah gereja. Saat erupsi Gunung Merapi 2010, MDMC juga menangani mayoritas pengungsi nonMuslim. Demikian juga saat meletusnya Gunung Sinabung.
Tahun 2013, Gunung Rokatenda di Nusa Tenggara Timur meletus. Gunung ini terletak di Pulau Palue yang dihuni 10 ribu jiwa. Ketika bencana, warga mengungsi ke Pulau Ende dan Pulau Sika. Namun, ada yang tidak mau mengungsi dengan alasan berbeda keyakinan antara Protestan dan Katolik. Muhammadiyah kemudian dipercaya sebagai penengah. Di antara tokohnya adalah Abdul Rasyid Wahab (Abah Rasyid) yang dianugerahi Maarif Award tahun 2018 atas dedikasinya. Itulah makna kemanusiaan. “Kita punya prinsip, siapa pun manusia, makhluk Allah, pasti kita bantu,” tutur Budi.
Tidak sedikit lembaga yang enggan menolong mereka yang berbeda keyakinan. Sisi lain, ada lembaga tertentu yang memanfaatkan situasi bencana untuk mendakwahkan keyakinan agamanya. Sehingga, muncul kecurigaan-kecurigaan yang mengganggu misi kemanusiaan untuk menolong korban. Dalam rangka itu, MDMC mengajak beberapa lembaga filantropi untuk membentuk Humanitarian Forum Indonesia (HFI), sebuah forum bersama yang berkomitmen untuk melakukan misi kemanusiaan secara tulus.
Tahun 2012, terjadi konflik sosial-kemanusiaan di Sampang, Madura. Pengikut Syiah diusir dan diserang. Secara teologis, Muhammadiyah tidak sepakat dengan Syiah, Ahmadiyah, Gafatar, dan semisalnya. Namun, secara kemanusiaan, Muhammadiyah memposisikan mereka sebagai manusia yang hak-hak asasinya perlu dijaga. Pengikut Syiah harus mendiami GOR Sampang selama 10 bulan, lalu dipaksa pindah ke rumah susun Puspa di Sidoarjo karena alasan keamanan. Mereka didampingi oleh MDMC, dilayani kesehatannya, serta anak-anaknya diupayakan tetap bersekolah.
“Kita bekerjasama dengan beberapa Rumah Sakit Muhammadiyah. Mereka dengan KTP tidak jelas, mau berobat ke rumah sakit negeri, susah. Kita pernah ‘menculik’ dua pasien di rumah sakit negeri yang tidak terlayani, lalu kita ‘culik’ dan bawa ke RS Muhammadiyah Lamongan,” ujar Budi. Bahkan mereka juga diupayakan mendapat pekerjaan, menjadi pengrajin kopra. Dari pekerjaannya, ada yang sudah bisa membangun rumah.
Mei 2016, MDMC menjadi salah satu peserta World Humanitarian Summit di Istanbul Turki. Peserta forum ini memperoleh buku Fikih Kebencanaan versi Bahasa Inggris, Coping with Disaster: Principle Guidance from an Islamic Perspective. Sebuah kontribusi penting bagaimana Islam memandang bencana, serta nilai-nilai dasar dalam memberi bantuan kemanusiaan. Pada Agustus 2017, ratusan pendeta se-Asia Pasifik yang sedang berkongres di Yogyakarta, ingin tahu tentang bagaimana Muhammadiyah memandang bencana. Mereka diterima di Pusat Tarjih Islamic Center UAD.
Tahun 2018, gempa Lombok, Palu, Donggala, dan Sigi menjadi duka Indonesia. MDMC bergerak cepat. Mengirimkan ribuan relawan. Mulai dari tim medis hingga tim psikososial. Melalui ‘One Muhammadiyah One Response’, Muhammadiyah ikut melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi. Termasuk membangun ribuan hunian sementara (huntara).
Kiprah MDMC melewati batas negara. Terlibat di Palestina. Ketika gempa Nepal 2015, MDMC mengirimkan bantuan dan tim dokter. “Muhammadiyah juga menjembatani dialog perdamaian, bahkan memberikan beasiswa kepada warga negara korban konflik itu, seperti di Thailand Selatan dan Filipina Selatan,” ujar Koordinator MuhammadiyahAid, Bachtiar Dwi Kurniawan. Di lembaga ini berhimpun Lazismu, MDMC, MPKU, MPM, dan majelis lainnya.
Pada 2017, terjadi bencana kemanusiaan di Rakhine, Myanmar, PP Muhammadiyah membentuk MuhammadiyahAid. Misi yang dimulai sejak Januari 2017 sampai saat ini, telah mengirimkan puluhan tim. Tahap pertama, sampai Februari 2018, MuhammadiyahAid telah mengirimkan 79 dokter, 22 perawat, 32 relawan, 6 liasion officer, dengan total pasien 18.340 yang ditangani, serta memberikan 4.809 nutrisi makanan kepada anak-anak Rohingya. Tahap kedua, Muhammadiyah membangun pasar perdamaian dan sekolah dasar.
Sampai dua tahun ke depan, Muhammadiyah akan terus membersamai pengungsi, di saat banyak lembaga lainnya sudah memilih hengkang. “Program kita akan lebih terstruktur, lebih terfokus. Mulai dari peningkatan kualitas hidup bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi. Bisa juga nanti dialog kerukunan antarumat beragama, resolusi konflik, peace building. Banyak hal yang akan dilakukan Muhammadiyah untuk melebarkan kiprahnya di ranah internasional, khususnya dalam misi kemanusiaan,” tutur Bachtiar. (ribas, bahas: riz)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 23 Tahun 2018