Aris Munandar dan Margono, Dua ‘Putera Utama Muhammadiyah’

Aris Munandar dan Margono, Dua ‘Putera Utama Muhammadiyah’

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

Di dalam sejarah Muhammadiyah, ada dua ‘anak’ Muhammadiyah yang berkorban sangat besar di zamannya untuk menumbangkan rezim lama dan menyongsong penguasa yang baru. Mereka adalah Aris Munandar dan Margono. Tidak tanggung-tanggung, mereka diberi gelar ‘Putera Utama Muhammadiyah.’ Siapa mereka dan apa arti penting mereka, baik bagi persyarikatan Muhammadiyah maupun negara-bangsa Indonesia?

Untuk mengetahui posisi mereka dalam sejarah Indonesia, pertama-tama perlu dipahami konteks sejarah saat mereka eksis. Pasca gagalnya pemberontakan Gerakan 30 September 1965, muncul perlawanan keras terhadap PKI, yang dianggap mendalangi pemberontakan, dan Orde Lama sebagai rezim yang mendukung PKI. Di kalangan anak muda, lahirlah Angkatan 66, yang sering turun ke jalan untuk berdemonstrasi.

Fenomena ini juga terjadi di Yogyakarta. Pada tanggal 10 Maret 1966 pelajar dan mahasiswa di Yogyakarta melakukan aksi demonstrasi. Tuntutan mereka ialah pembubaran PKI, penurunan harga, dan pembersihan Kabinet Dwikora dari elemen PKI/Gestapu. Tapi, para pendukung Orde Lama di kota ini melakukan perlawanan balik sehingga pecah bentrokan.

Aparat keamanan turun tangan. Dan peluru aparat rupanya mengenai dan menghilangkan nyawa dua orang anak muda, yakni Margono, siswa kelas II E SPG Muhammadiyah I Yogyakarta dan Aris Munandar, siswa kelas I SMP Muhammadiyah X Yogyakarta. Kala itu, Margono berusia 21 tahun sementara Aris Munandar 14 tahun.

Aris Munandar dimakamkan di Karangkajen, berdekatan dengan makam pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan. Dilaporkan, ada puluhan ribu anggota masyarakat yang hadir dalam pemakaman ini, mencerminkan tingginya apresiasi warga Yogyakarta terhadap almarhum. Adapun Margono, sesuai dengan keinginan pihak keluarga, dimakamkan di Kalisat, Moyudan, Yogyakarta.

Upacara pemakamannya menunjukkan bahwa wafatnya kedua orang ini bukan hanya merupakan kehilangan bagi keluarganya masing-masing, tapi juga untuk masyarakat luas. Para pejabat, anggota partai, dan organisasi kemasyarakatan serta masyarakat biasa hadir dan berpartisipasi dalam penyelenggaraan upacara pemakaman keduanya. Ratusan karangan bunga, baik dari organisasi agama, maupun pribadi, berdatangan pada saat pemberangkatan jenazah keduanya.

Peristiwa meninggalnya dua anak muda ini mengejutkan Muhammadiyah. Pihak Muhammadiyah menyayangkan terjadinya insiden penembakan tersebut. Dalam sebuah laporan di majalah Suara Muhammadiyah tak lama setelah kejadian disebutkan bahwa ‘kedua pahlawan Ampera di atas gugur sebagai akibat tembakan petugas keamanan yang kiranya terlalu cepat bertindak mengingat bahwa para pelajar telah berdemonstrasi dengan tertib.’

Di sebuah komunikenya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta menyebut keduanya ‘gugur dalam tugas utama.’ Keduanya juga diberi predikat yang menunjukkan penghargaan besar atas keberanian mereka. Melalui Keputusan No. 2/D-058/1966 Pimpinan Muhammadiyah Yogyakarta menetapkan keduanya sebagai ‘Putera Utama Muhammadiyah.’

Kolom ‘Bung Santri’, sebuah kolom yang menjadi ikon majalah Suara Muhammadiyah karena kerap menyampaikan kritik sosial dan politik secara halus dan kadang dengan gurauan, kali ini turut berduka. Merespon berita meninggalnya Aris Munandar dan Margono, di majalah Suara Muhammadiyah edisi Maret 1966, Bung Santri menulis, ‘Bung Santri dan kawan2nya ucapkan: istirahatlah kau Pahlawan muda. Bung Santri yang masih hidup akan terus cancut tali wondo’ (menyingsingkan lengan baju untuk bekerja keras).

Setelah Setengah Abad Berlalu

Setiap kita mengingat tentang berbagai demonstrasi mahasiswa pada tahun 1965- 1966, umumnya pikiran kita segera terbawa pada sosok Arif Rahman Hakim, mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang meninggal tertembak saat demonstrasi mahasiswa tanggal 24 Februari 1966. Nama Arif kemudian diabadikan sebagai nama jalan serta nama masjid kampus UI.

Bila di Jakarta Ariflah yang menjadi ikon pergerakan pelajar dan mahasiswa, di Yogyakarta ikon itu ada pada diri Margono dan Aris Munandar. Untuk mengenang nama mereka, salah satu gerakan mahasiswa di Yogyakarta membentuk Lasykar Aris Margono. Pemimpinnya ialah Padamulia Lubis dari IKIP Yogyakarta.

Kini, di hampir setiap buku yang membahas tentang peranan pemuda dan mahasiswa dalam menumbangkan rezim Orde Lama, selalu ada nama Margono dan Aris Munandar. Mereka digambarkan sebagai anak muda yang menjadi pahlawan karena keberaniannya mengoreksi rezim yang berkuasa dan menyuarakan aspirasi masyarakat. Bersama Arif dan sembilan mahasiswa/pelajar lainnya yang juga meninggal karena berbagai peristiwa yang serupa, mereka diangkat sebagai Pahlawan Ampera melalui Ketetapan MPRS No. XXIX/ MPRS/1966.

Dengan demikian, nama kedua anggota keluarga besar Muhammadiyah ini, sebagai ‘Pahlawan Ampera’, masuk dalam daftar para pahlawan Indonesia, sama seperti pahlawan perjuangan kemerdekaan, pahlawan pergerakan nasional, pahlawan kemerdekaan nasional, pahlawan pembela kemerdekaan, dan pahlawan nasional.

Mungkin tidak ada anak lain di lingkungan Muhammadiyah yang kematian dan pemakamannya mendapat perhatian sebanyak kedua anak muda ini. Doa dari Pimpinan Pusat dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah kala itu memperlihatkan penghormatan Muhammadiyah kepada keduanya dan harapan kepada mereka yang masih hidup:

‘Mudah2an kedua pahlawan Ampera tsb mendapatkan tempat yang lapang di sisi Allah, dan semangat perjuangan mereka akan terus hidup di dalam hati setiap pemuda Islam di dalam memperjuangkan kebenaran serta keadilan.’

Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 20 Tahun 2017

Exit mobile version