Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Bagi mereka yang berdomisili di Padang, Sumatera Barat (Sumbar), salah satu hal yang paling menyenangkan ketika berbelanja ke pasar terbesar di Sumbar, Pasar Raya Padang, adalah bisa singgah ke Masjid Taqwa Muhammadiyah.
Masjid ini berada di seberang pasar dan hanya dibatasi jalan raya. Para pedagang dan mereka yang tengah berbelanja di pasar biasanya menunaikan shalat di sini. Arsitekturnya khas dibandingkan dengan masjid lainnya di Sumatera Barat, sementara ruang di dalamnya amat sejuk, dengan segera meredakan panas yang terasa di luar.
Sebagian orang menganggap masjid ini seperti masjid pada umumnya. Padahal, pembangunan masjid ini tidaklah mudah. Perkembangannya selama beberapa puluh tahun terakhir dihiasi oleh berbagai dinamika di level lokal dan nasional.
Masjid ini didirikan sejak tahun 1957, dan telah melewati berbagai perubahan, baik dari sisi desain, nama maupun aktivitas jamaahnya. Nama pertama yang dipakai adalah Masjid Raya Muhammadiyah, yang lalu diubah menjadi Masjid Taqwa Muhammadiyah Sumatera Barat.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif pada tahun 1966 pernah menulis di Suara Muhammadiyah (SM) tentang pembangunan masjid ini. Kala itu Bung Syafii—sebagaimana koleganya memanggilnya di masa itu—masih bertugas sebagai wartawan SM. Pada pertengahan tahun 1960an Syafii pulang ke kampung halamannya di Sumbar untuk alasan keluarga, namun ia juga menyempatkan diri membuat laporan tentang perkembangan Muhammadiyah di sana.
Ia, dengan nama pena Salman Sumpur, menulis reportase berjudul “Masjid Raja Muhammadijah di Padang”, di SM No. 23-24, Th. 46 (1966). Syafii menerangkan perkembangan pembangunan masjid itu dan meminta umat Islam di seluruh Indonesia untuk memberikan sokongan finansial.
Masjid ini terletak di salah satu jalan paling sibuk di Padang, Jl. Bundo Kanduang 1. Ukuran awal yang direncanakan ialah 40 x 35 m, berlantai dua, dan sanggup memuat 3.500 jamaah. Lantai pertama dipakai sebagai masjid dan lantai atas dimanfaatkan untuk aktivitas lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah. Kegiatan Muhammadiyah di Padang dan di seluruh Sumatera Barat, termasuk Aisyiyah dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), juga dipusatkan di sini.
Di tahun-tahun awal pembangunannya, jamaah masjid ini terdiri atas para pedagang pasar, yang di sisi lain merupakan donatur utama masjid ini. Pada pertengahan 1960an itu, saat Orde Lama tengah mengalami kemunduran dan Orde Baru mulai mendapat tempat, masjid ini tidak hanya melambangkan modernisme Muhammadiyah, tapi juga apresiasi terhadap berbagai terobosan yang ditawarkan Orde Baru.
Syafii Maarif memuji khutbah Jumat di masjid ini yang “pendek2, tapi padat dan bernas.” Jamaah pun mendengar dengan khidmat, dan “tidak ada djama’ah jang mendengkur karena ngantuk lantaran chotbah bertele2 sebagaimana kita temui pada banjak masdjid dilain tempat.” Melalui masjid inilah disuarakan ajakan untuk menghapus mentalitas Orde Lama yang membawa pada keburukan. “Beruntunglah,” tulis Syafii, “Muhammadijah sangat dipertjaja oleh masjarakat untuk usaha2 sutji jang sematjam ini.”
Muhammadiyah menjadi pembeda pokok masjid ini dari masjid lainnya di kota pesisir barat Sumatera itu. Pengamat tata kota, Hans-Dieter Evers dan Rüdiger Korff, dalam buku Urbanisme di Asia Tenggara (2000), menerangkan posisi unik masjid ini di dalam konteks Padang dan Indonesia era 1970an. Di dekade 1970an itu, pemerintah pusat dan militer membangun sebuah masjid lain di Kota Padang, Masjid Nurul Iman. Alhasil, kala itu ada tiga masjid masjid utama di kota itu. Pertama, masjid tertua di kota Padang, Masjid Ganting, yang dibangun tahun 1805 dan dianggap sebagai titik pertemuan para pemimpin adat Minangkabau.
Kedua, Masjid Nurul Iman, yang menyimbolkan kehadiran negara di Padang. Saat Presiden Soeharto berkunjung ke Sumatera Barat ia akan menyempatkan diri untuk shalat di masjid ini. Terakhir, Masjid Taqwa Muhammadiyah, yang didirikan oleh para penganjur modernisme Islam yang bergabung dalam organisasi Muhammadiyah serta didanai oleh para saudagar.
Masjid Taqwa pernah dua kali mengalami kerusakan oleh sebab yang sama, yakni gempa bumi. Pertama, gempa tahun 1975, dan kedua, gempa tahun 2009. Masjid segera direnovasi pascagempa, dan hingga kini masjid ini telah berkembang sangat pesat. Dewasa ini, Masjid Taqwa berperan tidak hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga poros yang menggerakkan aktivitas sosial dan ekonomi umat di Sumbar.
Pengajian dilakukan setiap hari. Daftar kegiatan yang dikelola masjid ini sangat panjang, mencakup antara lain: Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), menyewakan ruang untuk toko, Lazismu, pembagian ZIS untuk fakir miskin dan anak yatim, biro konsultasi keluarga, penyembelihan hewan kurban, bimbingan manasik haji dan umrah, perpustakaan, penyiaran melalui Radio Sang Surya, pelayanan kesehatan via Balai Pengobatan KH Ahmad Dahlan, penyelenggaraan TPA/TPSA dan Tapak Suci, hingga rumah singgah.
Penghargaan terhadap masjid ini maupun kiprah pengurusnya datang dari berbagai pihak. Dulu, kalau ke Padang, Buya Hamka meluangkan waktu singgah ke masjid ini, di mana selain untuk beribadah ia juga beroleh kesempatan untuk bersua dan berbincang dengan ulama Minang lainnya.
Dari Sumbar, Gubernur Irwan Prayitno mengapresiasi peran masjid ini sebagai tempat ibadah para pedagang di sekitar masjid. Para pelancong yang datang ke Padang merekomendasikan masjid ini sebagai tempat ibadah lima waktu, sekaligus tujuan wisata religi. Keluasan, kesejukan, dan kelengkapan fasilitas adalah beberapa aspek yang kerap disebut.
Tak mengherankan bila dari 13 ulasan di situs berbagi informasi para wisatawan, tripadvisor. co.id, yang mendiskusikan masjid ini, sebagian besar pengulas memberi nilai “sangat bagus”.
Tak hanya itu, beberapa novel kontemporer berlatar belakang Kota Padang memasukkan masjid ini dalam ceritanya, sebagai salah satu bangunan ikonik di pusat kota itu.
Bagi para pengurus Masjid Taqwa sendiri, berbagai kegiatan yang mereka jalankan tak lain dari pewujudan salah satu Hadits Nabi yang berbunyi, “Orang-orang beriman yang kuat dan berkualitas adalah lebih baik dan dicintai Allah dibanding orang-orang beriman yang lemah.”
Sudah enam dekade masjid ini berdiri, dan cukup banyak alasan untuk menyatakan bahwa masjid ini memang telah berkontribusi menghasilkan tidak hanya orang “yang beriman”, tapi juga yang “kuat dan berkualitas.”
Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 21 Tahun 2017