Cerpen Papi Sadewa
Angin segar bagiku, sejak pemerintah mengumumkan orang gila boleh menggunakan hak suaranya dalam pemilu 2019. Sejak itulah aku sering tersenyum sendiri di teras rumahku. Bahkan aku sering terbahak-bahak di jalan kampung. Rambutku yang kumal dan kaos yang compang-camping telah berhasil memancing masyarakat memberi status orang gila padaku.
“Mir, Pak Amir!” Pak Dukuh memanggilku dan kemudian memberi sebatang rokok. Aku sadar, ini pendekatan Pak Dukuh agar aku minggir tidak di tengah jalan dan kemudian diajak ngobrol ngalor ngidul.
“Bu Lurah itu ngawur!” Umpatku.
“Pak Amir kok gitu,” sahut Pak Dukuh sambil mengernyitkan dahi.
“Aku diusir dari kantornya,” kataku.
“Masalahnya gini, saat itu Pak Amir pakai sandal belepotan lumpur. Ya gak boleh masuk ruang bersih, dong.” Jelas Pak Dukuh.
“Lho, itu sebagai bukti kan kalau jalan menuju balai desa becek dan berlumpur?” Tukasku sekenanya.
“Bukan gitu Pak Amir Pembangunan di wilayah desa kita kan sudah dijadwal,” bela Pak Dukuh.
“Dijadwal untuk tidak selesai kan” Tukasku makin emosi.
**
Setelah berbulan-bulan warga desaku tidak akur gara-gara kampanye Pilpres akhirnya memasuki minggu tenang. Bukannya tenang. Malah makin menegangkan. Untung desaku punya seorang sesepuh, orang tua bernama Mbah Akur. Dia akur dengan siapa saja. Dengan orang waras akur. Dengan orang gila juga akur. Dengan kelompok warga yang mendukung calon A dia akur. Dengan warga yang mendukung calon B dia juga akur.
Mbah Akur punya cara jitu untuk menyatukan warga desa. Suasana di minggu tenang berhasil dia gembosi ketegangannya. Caranya? Mbah Akur menipu dengan cara mengembuskan berita bohong tetapi untuk kebaikan. Dia berbisik-bisik dan bilang kepada kelompok A bahwa kelompok pendukung Capres B sebenarnya ingin berbaik-baik dengan golongan pendukung calon A.
“Mereka itu orangnya baik-baik, kok. Ingin tetap berteman dan menganggap warga sini sebagai saudara. Sedulur istilah Jawanya. Dan dengan sedulur mana mungkin mereka berburuk sangka dan mau berbuat jahat.”
“Benar, Mbah?”
“Tanya aja mereka, kalau kalian mau dan berani.”
”Ya, sudah kami percaya kepada Mbah Akur.
Dan kepada kelompok pendukung calon B dia juga berbuat sama. Mengatakan kalau pendukung calon A sudah kapok bermusuhan. Sebab memusuhi sesama warga desa itu tidak enak. Lebih enak itu bersasahabat. Bisa pesta lotis bareng, bisa makan bakmi bareng dan bisa main musik bareng. Dia bilang kepada pendukung calon B bahwa pendukung calon A itu sudah berubah.
”Sungguh Mbah?”
”Ya, sungguh-sunggh. Masa berbuat baik tidak sungguh-sungguh.”
”Tetapi kenapa kemarin Pak Amir masih bilang kalau kelompek mereka itu masih suka jahat kepada kita-kita ini.”
”Walaah, sampeyan ini, pada orang gila kok percaya. Kalian milih mana? Pecaya kepada saya yang waras, atau kepada Amir yang gila?”
”Percaya kepada Mbah Akur yang waras dong.”
Aku mula-mula tidak tahu kalau Mbah Akur telah melancarkan gerakan kilat untuk mendamaikan dua kelompok pendukung calon presiden ini. Tapi ketika di TPS kulihat suasana aneh. Dua kelompok itu membaur. Bersalaman dan bercakap-cakap akrab. Aku yang selama ini bisa memprovokasi mereka menjadi heran. Dan agak marah karena jualanku tidak laku.
Ah, tak peduli dengan perubahan keadaan ini. Yang penting aku tetap ingin tampil sebagai orang gila yang hadir di TPS ini.
Ketika aku sampai TPS, orang-orang sudah banyak berkumpul bahkan sudah duduk rapi sambil menunggu panggilan. Di meja para petugas, kulihat segelas teh dan snack saja. Sederhana, mungkin alasan ekonomi.
“Amir Kusuma.” Tiba-tiba namaku dipanggil. Aku terkejut. Begitu pula orang-orang yang sudah antre sejak awal. Alhamdulillah, ternyata orang gila itu dipermudah urusannya, batinku.
Aku melangkah ke depan dan menerima beberapa lembar kartu suara. Kulihat petugas yang cantik itu agak ketakutan ketika aku mendekat. Di dalam bilik suara, lembar pertama yang aku amati adalah lembar calon presiden.
“Panitia….! Aku pusing. Minta waktu satu jam lagi untuk menentukan pilihan.” Pikiranku buntu untuk memilih capres mana yang akan aku coblos.
“Lho kenapa?” Tanya Pak Dukuh heran.
“Kedua pasangan ini tidak ada yang mewakili orang gila,” jelasku.
Yang hadir tertawa, panjang. Malah ada yang tertawa dibuat nada yang lucu. Menyebabkan yang lain tambah ketawa. Aku tidak peduli dengan ini semua.
Aku mundur dan duduk di emperan rumah TPS. Aku menyendiri sambil memegangi kepala. Orang-orang tidak ada yang mendekat.
Sekitar satu jam kemudian Pak Dukuh mendekatiku. Mempersilakan aku masuk bilik lagi. Aku melangkah ke bilik, tetapi mendadak aku tidak bisa berpikir panjang. Kucoblos kartu suara itu dengan mata terpejam, entah kena bagian mana. Yang penting nyoblos. Beres! Menurut orang gila.
**
Ketika menggeliat sekitar pukul lima pagi, sayup-sayup kudengar pengumuman lelayu dari masjid di sekitar rumahku.
“Innalillahi wainna ilaihi roji’uun. Telah meninggal dunia Mbah Akur.”
Mbah Akur meninggal?
Aku cepat ke rumahnya. Ketemu anaknya yang sedang menangis. Dia memberikan aku surat.
”Mbah sepulang dari TPS sakit. Lalu membuat surat ini untuk diberikan kepada Pak Amir. Setelah Shalat Ashar, Mbah meninggal. Ini suratnya.”
Surat kubawa pulang, kubaca di pojok kamar.
”Mir, tadi aku baru tahu kalau kerukunan warga desa ini ternyata cuma semu. Tadi aku mendengar kalau siapa pun yang menang dan siapa pun yang kalah mereka, karena dihasut dan dibayar oleh orang jauh, akan berbuat rusuh. Aku tidak kuat lagi. Tugasmu Mir, untuk mencegah agar desa kita tidak rusuh. Kau pasti bisa.”
Mbah Akur sangat disayang Tuhan dan cepatcepat dipanggilNya agar tidak menyaksikan dunia makin rusak. Tapi, kenapa dia memberi aku tugas untuk merukunkan warga desa ini? Caranya? Terlintas sebuah ide.
Cepat aku pergi ke masjid dan lewat pengeras suara kuumumkan bahwa atas perkenan Mbah Akur namaku kuganti menjadi Akur Kusuma. Dan dengan suara yang kubuat mirip dengan suara Mbah Akur aku bilang,” Sekali rukun kalian harus tetap rukun. Sekali akur harus tetap akur!”
Ternyata warga desa mau akur. Berkat aku yang telah berganti nama menjadi Pak Akur Kusumo. Dan sejak itu pikiran gilaku pun kubuang jauh-jauh. Untuk menjaga agar desa ini tetap selamat. Harus dijaga oleh orang yang waras pula.
Papi Sadewa, penulis cerpen dari Kulonprogo Yogyakarta
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 1 Tahun 2019