Suatu hari Nabi Muhammad mendatangi Abdullah Ibn Ubay dengan menunggang keledai. Abdullah sang tokoh munafik itu berkata dengan nada menghina Nabi, “Menjauhlah dariku, karena sesungguhnya bau keledaimu menyesakkan hidungku.” Salah seorang sahabat tidak terima Nabi diperlakukan buruk itu, seraya berkata: “Demi Allah, bau keledai Nabi sungguh lebih harum daripada bau tubuhmu.” Pengikut Abdullah marah dengan perkataan sahabat Nabi itu, lalu terjadilah pertengkaran.
Riwayat lain menyebutkan terjadi persengketaan antara sesama Muslim di masa Rasulullah. Menurut Asy-Syaikhani berdasar riwayat Anas radliyallahu ‘anhu, atas peristiwa tersebut turunlah ayat ke-9 Al-Qur’an surat Al-Hujurat, yang menganjurkan penyelesaian konflik sesama kaum Muslim. Lalu, sebagai kelanjutan pada ayat ke-10 Allah menegaskan pentingnya ukhuwah, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. (Qs Al-Hujurat: 10).
Ukhuwah (persaudaraan dan persatuan) diambil dari kata akha-yakhu-ukhuwah-ikhwah. Artinya shara lahu al-akha, shara lahu al-sawa, shara lahu shaduiqa, yakni menjadikan bersaudara atau menjadikan sama atau menjadikan benar. Taakhu ialah ittahadahu akha awau duahu akha. Sedangkan al-akhiyah wa al-akhiyah adalah hablu yudafinu fi al-ardl (Al-Munjid). Dalam Al-Qur’an terdapat 96 kata dalam banyak bentuk dari akha-ikhwah (Mu’jam al-Mufahris fi Alfadz Al-Qur’an).
Ukhuwah atau persaudaraan itu melintasi. Ukhuwah karena sedarah, sebangsa, dan sesama umat manusia semesta, lebih khusus seiman-seislam sebagaimana pesan Nabi dala Khutbah al-Wada. Namun secara khusus dan menjadi fondasi utama bagaimana mengikat ukhuwah sesama Muslim yang landasannya iman. Kaum Muslim dapat membangun persaudaraan sebangsa dan persaudaraan semesta jika di tubuhnya sendiri terikat ukhuwah yang kuat. Hadits Nabi: ibda bi-nafsika, mulailah dari dirimu sendiri. Allah bahkan mengingatkan dalam Al-Qur’an, “quu anfusakum wa ahlikum naara”, artinya peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka (Qs At-Tahrim: 6).
Mana mungkin umat Islam sebagai penduduk mayoritas di negeri ini dapat menjadi uswah hasanah untuk menyatukan bangsa dan kemanusiaan semesta jika dirinya sendiri bercerai-berai: pecah, tidak bersatu. Keragaman memang hikmah, tetapi keterpecahan itu sungguh suatu musibah. Kita prihatin ada organisasi dan partai Islam yang mengusung nama “Persatuan” justru pecah dan memiliki pimpinan tandingan.
Tidak jarang perpecahan itu awet karena ada orang-orang yang gemar menyebarkan virus kegaduhan. Musuh ukhuwah itu iftiraq, yakni penyakit pecah belah. Perang Uhud menjadi contoh betapa karena ghanimah atau kepentingan duniawi umat lengah dan terpecah. Ada pula Muslim yang baik dan berhubungan baik dengan non-Muslim melebihi segalanya, tetapi dengan sesama Muslim kurang baik. Di matanya Muslim selalu buruk, kurang, dan menjengkelkan tanpa disertai kiprah dirinya untuk memajukan umat dengan jiwa ukhuwah.
Dalam Al-Qur’an Allah mengingatkan, “Berpegangteguhlah kalian dengan tali (Agama) Allah dan jangan bercerai-berai” (Qs Ali Imran: 103). Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan…. Cukuplah seorang Muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas Muslim yang lain; haram darahnya, hartanya dan kehormatannya” ( HR Riwayat Muslim dari Abu Hurairah). Semoga para pemimpin dan umat makin dewasa dalam berukhuwah serta arif menghadapi benih-benih iftiraq. A. Nuha
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 Tahun 2015