Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Pada tanggal 14-15 Mei 2017, Presiden Joko Widodo menghadiri pertemuan internasional bertajuk One Belt One Road (OBOR) yang diinisiasi Pemerintah Cina di Beijing. Ada sekitar 50 negara yang diundang untuk hadir. Tema yang dibahas adalah pembangunan jalur ekonomi di antara berbagai kawasan di dunia melalui rute laut dan darat.
Jalur ini membentang sepanjang tiga benua (Asia, Afrika dan Eropa) dan menghubungkan negara-negara yang jumlah total penduduknya mencapai dua pertiga penduduk dunia. Di dalam pertemuan itu disepakati kerjasama di bidang ekonomi, perdagangan, dan infrastruktur. Tak heran apabila inisiatif ini dikenal sebagai Jalur Sutra baru atau Jalur Sutra abad 21. Ini membawa memori pada Jalur Sutra yang dikenal dalam sejarah, yang sudah ada sejak lama.
Mengingat Jalur Sutra di masa lalu itu mencakup kawasan-kawasan Islam, bagaimana sebenarnya posisi Islam di jalur itu?
Jalur Sutra mulai terbentuk sejak tahun 1000 SM dan bertahan hingga sekitar abad ke-18 M, dan membentang sepanjang setidaknya 6.500 km dari Antiokhia di Turki, melewati Samarkand di Asia Tengah, hingga mencapai Xi’an di Cina.
Dari sini tampak bahwa pada suatu masa sebelum masa pramodern telah pernah ada sebuah jaringan dan kesatuan perdagangan di dunia. Di sisi lain, cakupan geografisnya memperlihatkan begitu banyaknya suku bangsa yang terlibat dalam jalur ini. Nama sutra diambil karena komoditas ini pernah menjadi sebuah komoditas yang menguntungkan.
Salah satu elemen penting dalam Jalur Sutra adalah penyebaran agama. Setidaknya ada empat agama yang tersebar melalui Jalur Sutra, yakni Islam, Buddha, Zororaster dan Yudaisme. Islam termasuk agama yang baru lahir belakangan, namun sepanjang sejarah Jalur Sutra, Islam perlahan-lahan berhasil menjadi agama yang paling berpengaruh. Di awal sejarah Islam, agama ini memang dikenal sebagai ‘agama Arab’. Tapi ini berubah ketika kaum Muslim Arab mulai melakukan perluasan wilayah, termasuk ke wilayahwilayah yang dikuasai Bizantium dan Persia.
Seiring dengan kian luasnya daerah yang dikuasai Muslim, semakin aktif pula kegiatan perdagangan yang dijalankan oleh para saudagar Muslim di daerah-daerah baru ini. Harus diingat, perdagangan adalah profesi yang mendapat tempat istimewa dalam Islam. Nabi Muhammad sendiri adalah seorang saudagar yang pernah berdagang hingga ke Suriah sementara di dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang mendorong aktivitas perniagaan.
Para saudagar Muslim yang berniaga hingga ke luar Arab menarik para pedagang lokal untuk masuk Islam. Para pedagang ini kemudian mendapatkan posisi dominan di bidang perdagangan di Jalur Sutra bagian barat. Tersebarnya para pedagang Muslim di sepanjang Jalur Sutra berarti semakin luasnya jaringan perdagangan mereka. Pemerintahan Islam yang muncul di luar Arab juga turut memperkuat eksistensi saudagar Muslim karena mereka memberi perlindungan dan fasilitas untuk saudara seagama mereka ini.
Sejarawan R Foltz (2010) menyebut meningkatnya peran Islam di Jalur Sutra sebagai ‘Islamisasi Jalur Sutra’. Menurut dia, setidaknya ada tiga faktor yang mendorong terjadinya Islamisasi ini.
Pertama, kekuasaan politik Muslim yang kian luas hingga ke Asia Tengah mendorong masyarakat setempat untuk menerima norma dan nilai yang dibawa Islam. Kedua, asimilasi. Ketiga, dominasi perdagangan kaum Muslim. Melalui jalur perdagangan dari arah Asia Barat ini terjadilah Islamisasi besar-besaran di kawasan perkotaan di mana terjadi transaksi perdagangan di berbagai level. Ini terutama sekali terjadi di kalangan suku Turkik (antara lain mencakup orang Turki, Kazakh, Uzbek dan Uighur) di Asia Tengah dan Asia Dalam.
Eksistensi pedagang Muslim tidak hanya di bagian barat Jalur Sutra, tapi juga di bagian timurnya. Pada pertengahan abad 8 M, mereka sudah berdagang hingga ke berbagai kota di Cina. Kala itu, Cina dikuasai oleh Dinasti Tang. Selain berdagang, para pedagang perantau beragama Islam ini juga membantu Dinasti Tang dalam menghadapi pemberontakan lokal. Sebagai balasannya, mereka diberi tanah dan kesempatan ekonomi lainnya oleh kaisar.
Pada masa ini, Muslim terkonsentrasi di Provinsi Guangdong dan Quanzhou. Di antara mereka ada yang memutuskan untuk menetap di sana. Para pedagang ini menikahi wanita setempat dan membesarkan anak-anak mereka secara Islam. Alhasil, lahirlah sebuah komunitas Muslim di Cina, yang dikenal dengan etnis Hui.
Menariknya, selain tersebarnya ajaran Islam di sepanjang Jalur Sutra, para pedagang Muslim juga dikenal dengan dua komoditas utama mereka. Pertama, barang-barang porselen berwarna biru dan putih. Kedua, musik. Para sufi Muslim kerap mengadakan pertunjukan di kedai teh atau pasar di berbagai tempat di sepanjang jalur sutra.
Mereka bernyanyi dengan diiringi berbagai alat musik. Dari sana lahirlah apresiasi dari para pendengarnya terhadap kekayaan khazanah seni Muslim. Para sufi ini sendiri, dengan kisah relijius dan nyanyian yang mereka bawa, berhasil mendapatkan pengaruh baru, mengalahkan pengaruh yang sebelumnya dipegang oleh para dukun lokal.
Sebenarnya, ada beberapa perbedaan mendasar antara Jalur Sutra di masa lalu dengan yang di abad 21 ini. Menelisik tema besar pada pertemuan OBOR, tampak bahwa fokus utama ada pada soal kerja sama ekonomi antarnegara. Ini tentu sesuatu yang jauh berbeda dengan Jalur Sutra di masa lampau, ketika inisiatif diambil oleh para pedagang dan bukan politisi.
Di sisi lain, selain perdagangan, di Jalur Sutra masa silam itu ada aktivitas lain yang menghubungkan orang dari berbagai latar belakang berbeda, yakni penyebaran dan pertukaran kebudayaan dan agama.
Dengan kata lain, bila Jalur Sutra abad 21 berpijak pada prinsip top-down (dikelola negara) maka Jalur Sutra di masa lalu berlandaskan prinsip bottom-up (dihidupkan oleh masyarakat).
Penting diketahui pula bahwa pergerakan yang dominan di Jalur Sutra lama adalah dari Eurasia bagian barat ke Asia Timur, sementara kini Cina di Asia Timur menjadi titik pangkal pergerakan dana, fasilitas, sumber daya manusia dan komoditas untuk Jalur Sutra abad 21.
Di luar itu, ada satu kemiripan di antara Jalur Sutra lama dan Jalur Sutra abad 21, yakni arti penting Islam baik sebagai agama maupun tradisi yang eksis di berbagai wilayah di Asia. Namun, sementara peran Islam di sepanjang satu setengah milenium sejarah Jalur Sutra sudah terekam dan diakui, kita masih perlu menunggu dan mengamati apakah Islam kembali menjadi faktor signifikan dalam Jalur Sutra abad 21.
Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 14 Tahun 2017