Di luar badan-badan atau korp-korp militer resmi yang dibentuk pemerintah Indonesia, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan, kemunculan laskar-laskar umat Islam di seantero tanah air yang dimotori oleh para ulama tidak dapat dibendung lagi.
Laskar-laskar pejuang umat Islam yang cukup kuat meliputi Hizbullah dan Sabilillah—keduanya berafiliasi ke Masyumi. Sedangkan kelompok-kelompok pejuang umat Islam di beberapa daerah dibentuk untuk ruang lingkup yang sangat sempit.
S eperti Angkatan Umat Islam (AUI) di Kebumen (Jawa Tengah), Asjkar Perang Sabil (APS) di Kauman (Yogyakarta), dan lain-lain. Di Jawa Barat dan Jawa Timur cukup banyak kelompok-kelompok pejuang umat Islam yang dibentuk oleh para ulama.
Laskar Hizbullah dibentuk pada masa penjajahan Jepang atas inisiatif dari para ulama Indonesia seperti KH Mas Mansur, Haji Abdul Karim Amrullah, H Mochtar—ketiganya tokoh Muhammadiyah–, KH Adnan, KH Chalid, K.H. Abdul Majid, KH Jacub, KH Djunaidi, dan KH Sodri. Mereka mengajukan diri kepada pemerintah Jepang agar diizinkan pembentukan laskar pejuang sukarela yang akan mengamankan pulau Jawa dari serangan Pasukan Sekutu.
Pemerintah Jepang memberi izin pembentukan laskar ini di bawah koordinasi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Ben Anderson (1988: 290) menyebut Laskar Hizbullah sebagai “bagian penting dari kerangka federatif Masyumi.”
Tanggal 8 Desember 1944 secara resmi dibentuk Laskar Hizbullah yang berfungsi sebagai satuan cadangan di bawah PETA (Pembela Tanah Air). Ketuanya KH Zainal Arifin dan wakilnya Muhammad Roem. Selaku komandan KH Mas Mansur dan wakilnya Prawoto Mangkusasmito.
Sedangkan Laskar Sabilillah dibentuk pada era penjajahan Jepang yang memiliki latar belakang serupa dengan Laskar Hizbullah, tetapi para anggotanya terdiri dari para ulama. Pemimpinnya KH Masykur dari Jawa Timur. Sekalipun memiliki keanggotaan yang berbeda, pada kenyataannya Laskar Sabilillah tetap di bawah koordinasi Masyumi. Sebab, pemerintah Jepang hanya memberikan izin kepada Masyumi untuk membentuk korp sukarelawan yang akan berjuang mempertahankan pulau Jawa dari tantara Sekutu.
Ketika meletus perang melawan Pasukan Sekutu, organisasi-organisasi kelaskaran umat Islam yang membantu TKR dalam proses mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Di bawah koordinasi TKR, secara otomatis laskar-laskar umat Islam mengikuti amanat dan instruksi dari sang Panglima Besar TKR, yaitu Jenderal Sudirman. Dalam pertempuran di Semarang, Ambarawa, dan Magelang, peran laskar-laskar umat Islam sangat besar dalam membantu TKR memukul mundur Pasukan Sekutu.
Selain Laskar Hizbullah dan Sabilillah, perlawananperlawanan sporadis dari kalangan umat Islam di beberapa daerah telah melahirkan korp-korp pejuang dengan ruang lingkup yang terbatas. Seperti kemunculan AUI di Kebumen yang para anggotanya mantan pejuang Hizbullah dan Sabilillah. Tanggal 30 Juli 1950, sebuah insiden melibatkan anggota AUI dengan TKR, yang pada akhirnya memicu pemberontakan di Sumolangu. AUI dibentuk sebagai respon atas restrukturisasi TKR dan perundingan pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda (Roem-Royen).
Sedangkan di Yogyakarta, pembentukan Markas Ulama Asjkar Perang Sabil (MU-APS) di Masjid Agung bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Tokoh-tokoh inisiator pembentukan APS seperti Bahron Edres, Zar’an, dan lain-lain. Pada umumnya, mereka adalah eks tantara Hizbullah dan Sabilillah. Mereka mengajukan izin kepada Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk APS.
“Untuk terlaksananya pembentukan laskar itu, disarankan oleh Sri Sultan, agar para ulama menghubungi Jenderal Sudirman,” tulis Ahmad Adaby Darban dalam bukunya, Sejarah Kauman (2010: 78). Terbentuklah struktur APS sebagai berikut: KH Makhfudz, KH Ahmad Badawi, KH Hadjid sebagai Dewan Imam. Ki Bagus Hadikusuma sebagai Penasehat. M Sjarbini sebagai Komandan. M Djuraimi sebagai Wakil Komandan. M Bakri Sjahid sebagai Kepala Staf. Siradj Dahlan sebagai Kepala Penerangan. Abdul Djawad sebagai Perlengkapan. M Bakri Sjujak sebagai Persenjataan. Struktur APS seluruhnya diisi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah Kauman. (abu rafif)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 20 Tahun 2018