Oleh: M Sukriyanto AR
Untuk mengetahui peran Muhammadiyah dan orang-orangnya dalam memperjuangkan dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) perlu ditegaskan siapa saja orang-orang Muhammadiyah itu. Secara umum orang Muhammadiyah itu ialah mereka yang mengikuti ajaran dan Sunah Nabi Muhammad saw.
Secara khusus yang dimaksud orang Muhammadiyah adalah mereka yang bergabung dalam organisasi dan terlibat aktif dalam gerakan Muhammadiyah atau mereka yang pernah terlibat dalam kegiatan Muhammadiyah dan menyatakan diri sebagai anggota seperti Ir Sukarno. Bisa juga berasal dari keluarga Muhammadiyah dan terlibat aktif dalam amal usaha Muhammadiyah (AUM) seperti Ir Djuanda atau yang pernah terlibat di organisasi otonom dan AUM seperti Panglima Besar Jend Sudirman. Bisa juga yang pernah mengikuti pendidikan di Muhammadiyah dan banyak memberi kontribusi bagi Muhammadiyah seperti Jendral Suharto.
Rintisan Membangun NKRI
Jika dilihat sejak berdirinya, maka peran Muhammadiyah dalam membangun NKRI baru terlihat sejak tahun 1912. Akan tetapi kalau dimulai sejak KHA Dahlan meletakkan dasar-dasar kultural kemasyarakatan yang merupakan infrastruktur sosial budaya sekaligus infrastruktur kebangsaan maka peran Muhammadiyah sudah terlihat ketika KHA Dahlan di usia 29 tahun meluruskan arah kiblat (1897) dan menyelenggarakan Pengajian Wal-`Ashri (1904).
Ketika meluruskan arah kiblat itu sudah berarti KHA Dahlan mengajak masyarakat untuk dapat berpikir secara kritis, ilmiah, bukan hanya ikut-ikutan. KHA Dahlan sudah mengajak masyarakat untuk “melek peta” geografi agar bisa melihat di mana posisi Indonesia dalam relasinya dengan Ka’bah sebagai arah kiblat, bukan asal mengarah ke barat.
Ketika mengajarkan Wal-`Ashri selama sekitar delapan bulan KHA Dahlan menekankan pentingnya “melek waktu”, menghargai waktu dan mengisinya dengan amal saleh. Kemajuan seseorang, masyarakat atau bangsa, sangat ditentukan oleh bagaimana orang, masyarakat atau bangsa itu memanfaatkan waktu. Orang atau kelompok masyarakat yang bisa memanfaatkan waktu dengan baik, maka orang atau masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang maju dan unggul. Waktu itu selalu berjalan maju dan tidak pernah mundur. Karena itulah maka KHA Dahlan mengharapkan agar murid-muridnya dapat menjalankan agama sesuai dengan kemajuan zaman, yaitu Islam yang berkemajuan.
KHA Dahlan juga mendorong kaum perempuan untuk “melek kebebasan”, membebaskan kaum perempuan (1914) dari kultur sumur, dapur dan kasur serta dari konco wingking pada kesejajaran dan mendorong mereka agar peduli pada kaum dhu’afa dan tolong-menolong (spirit Al-Ma`un, semangat berbagi, semangat welas asih) dan lain-lain.
Pembebasan (dan emansipasi) kaum perempuan ini sudah dimulai di tahun 1914, sejak KHA Dahlan mendirikan perkumpulan Sopo Tresno dan di tahun 1917 dikembangkan menjadi `Aisyiyah.
Penyejajaran perempuan itu merupakan langkah mendasar (radikal) dalam mewujudkan infrastruktur sosial budaya untuk menjadi bangsa merdeka.
Sejak tahun 1912 peran Muhammadiyah semakin jelas dengan mendirikan sekolah yang mendorong masyarakat “melek huruf”, “melek ilmu” dan “melek politik”, yaitu kemauan untuk merdeka. Berpuluh-puluh sekolah dibangun untuk mencerdaskan bangsa.
KHA Dahlan juga mengajak bangsanya untuk “melek kemerdekaan”, dengan mendirikan kepanduan Hizbul Wathan (HW) tahun 1918. Berdirinya HW sangat dimotivasi keinginan untuk merdeka. Hizbul Wathan (golongan pecinta tanah air) kemudian dijadikan wadah untuk memupuk nasionalisme dan patriotisme generasi muda. Penanaman ideologi kebangsaan sangat sarat dalam pendidikan di HW. Di HW diajarkan disiplin, sifat ksatria, keterampilan fisik, dsb. Kepanduan HW telah melahirkan ribuan pecinta tanah air, yang menonjol antara lain: Sudirman (Jendral Besar), Sarbini (Letnan Jendral), Sudirman (Bojonegoro, Letnan Jendral), Suharto (Jendral Besar, Presiden), Suhardiman (Letnan Jendral), Daryatmo (Letnan Jendral), Subroto (Prof. DR), dll.
Dalam melepas pasukan HW ketika akan mengikuti upacara pelantikan HB VIII, KHA Dahlan menyatakan: “mudah-mudahan tongkat-tongkat yang kamu pikul sekarang suatu saat bisa menjadi bedil (senjata) untuk kepentingan bangsa”.
KRH Hadjid tokoh yang mencetuskan nama Hizbul Wathan, selalu mengajarkan lagu kemerdekaan Prancis (Marsaille), yang liriknya diganti dengan Para Prajurit (wahai para tentara) selalu mengobarkan semangat jihad, semangat perlawanan terhadap penjajah (gempur panguwoso, cegah laku murko). Terinpirasi spirit kemerdekaan inilah Bung Dirman (Jendral Sudirman) memberi nama tentara yang dibentuknya dengan nama pembela tanah air (PETA) sebagai terjemahan dari Hizbul Wathan.
Para Pendiri Bangsa
Ir. Sukarno, Ki Bagus Hadikusumo, KH Abdul Kahar Mudzakir dan Mr. Kasman Singodimedjo adalah orang-orang Muhammadiyah yang terlibat intensif dalam meletakkan dasar-dasar ideologi negara dan konstitusi Republik ini di BPUPKI dan PPKI. Kemudian Ir. Sukarno dan KH Mas Mansur (Ketua PP Muhammadiyah) yang bersama-sama Drs. M. Hatta dan Ki Hadjar Dewantara terlibat dalam Empat Serangkai memperjuangkan kemerdekaan.
Secara faktual yang memproklamasikan Indonesia itu adalah anggota Muhammadiyah, Ir. Sukarno. Bung Karno dalam peringatan setengah abad Muhammadiyah di Jakarta menyatakan “Saya menjadi anggota resmi Muhammadiyah dalam tahun 1938 sekarang sudah 1962, jadi sudah 24 tahun. ….”. (Lihat: Makin Lama Makin Cinta Muhammadiyah, hlm. 13). Jadi Bung Karno adalah anggota resmi Muhammadiyah yang sadar berorganisasi dan sadar akan pentingnya kontribusi bagi organisasi. Oleh karena itu jelas bahwa yang menjadi proklamator kemerdekaan itu adalah anggota Muhammadiyah Ir Sukarno.
Yang menjahit bendera merah putih yang kemudian dikibarkan pada saat proklamasi adalah Ibu Fatmawati, anggota Nasyiatul Aisyiyah. Bisa dibayangkan bagaimana rasa dan nuansa proklamasi itu bila tanpa pengibaran bendera merah putih.
Yang mempertahankan Indonesia ketika Bung Karno, Bung Hatta dan H. Agus Salim diasingkan ke Pangkal Pinang dan Prapat adalah Pangsar Sudirman (didikan pandu HW), Suharto (murid SMP Muhammadiyah dan pernah dididik HW) Komandan Brigade X, Divisi III (Wehrkreise III) Kota Yogyakarta, dan Sri Sultan HB IX Menteri Pertahanan. Mereka bertiga menggerakkan TNI dan rakyat melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Ibu Kota RIS, Yogyakarta. Meskipun hanya menguasai kota Yogyakarta sekitar 6 jam, namun serangan itu di mata internasional sangat penting, karena menunjukkan Indonesia masih eksis dan berdiri tegak. Para ulama seperti Kiai Mahfudz, KHA Badawi, KRH Hadjid mengobarkan perang sabil dan mendirikan Angkatan Perang Sabil (APS) daan berjuang bersama TNI mempertahankan kemerdekaan.
Saat demokrasi mengalami kemandegan, muncul Amien Rais (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) sebagai lokomotif gerakan reformasi. Berkat adanya reformasi itu sekarang demokrasi di Indonesia berkembang menjadi lebih baik. Pemilihan umum berjalan teratur, regulasi kepemimpinan nasional berjalan baik, muncul presiden-presiden dari kalangan sipil dan seterusnya.
Saat ini dengan semboyan “sedikit bicara banyak bekerja” dan semangat fastabiqul khairat Muhammadiyah terus ikut membangun NKRI melalui dakwahnya yang sejuk dan damai, menggiatkan pendidikan sejak PAUD, TK ABA sampai perguruan tinggi yang terhampar dari Sabang sampai Merauke. Di samping itu Muhammadiyah juga membina kesehatan masyarakat, membangun budaya melalui lagu anak-anak, festival seni, film pendidikan karakter, dsb.
Sekarang Muhammadiyah akan terus membangun negeri ini untuk mewujudkan NKRI yang damai, maju, sejahtera dan berperadaban tinggi dengan semakin banyak melakukan amal saleh. Wallahu’alam.
—
M Sukriyanto AR. Ketua LSBO PP Muhammadiyah; Alumnus Program Studi S2 Sejarah UGM
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 Tahun 2019