Cerpen MK Rizqika
Salah seorang di antara penjahit ontel di pasar itu bernama Mbah Siswa Carita. Nama sebenarnya Mbah Siswohudaya. Tetapi karena kesukaan dia bercerita , dia dikenal sebagai Mbah Siswa Carita. Dia dikenal sebagai ahli menjahit permak baju atau celana. Semua orang di pasar tahu, kalau orang mau mempermak celana jins misalnya maka yang ditunjukkan pasti Mbah Siswa Carita.
Yang diceritakan Mbah Sis bukan sembarang cerita. Bukan cerita ringan-ringan yang mudah dilupakan. Akan tetapi yang selalu dia ceritakan adalah cerita perang. Selalu cerita perang. Perang yang dia alami sendiri dan yang dialami teman-temannya Kalau dia sudah bercerita tentang perang maka seakan-akan ruang, waktu dan hidup ini hanya berisi perang. Ia bercerita dengan penuh semangat. Matanya hidup, nafasnya hidup, gerak tangannya hidup, mulut yang mengeluarkan kata-kata juga tampak hidup sekali. Ia bisa memerangkap pendengarnya untuk masuk ke dunia cerita, bahkan menjadi bagian dari cerita itu sendiri.
Pada waktu luang, tidak ada orang yang mempermak baju atau celana, dan pas ada yang mentraktir dia segelas teh manis panas ditambah pisang goreng atau mendoan mulailah dia bercerita. Dia akan memulai ceritanya dengan kalimat begini,”Ini sungguh cerita yang benar-benar terjadi. Jadi saya tidak bohong.”
Dia mulai menjelaskan lokasi cerita dengan detil kemudian suasana, tanggalnya, dan pelan-pelan memunculkan tokoh-tokoh ceritanya. Pihak lawan, misalnya Jepang, atau Inggris, atau Belanda juga dia jelaskan dengan detil. Senjata yang mereka pegang apa, kendaraannya apa, dan kelakuan mereka dalam pertempuran bagaimana.
Kalau kedua belah pihak yang berhadapan diceritakan, mirip dengan adegan jejer dalam pagelaran wayang kulit. Mulailah dia dengan menampilkan konflik kecil-kecil sampai konflik besar. Ia mengakhiri adegan cerita tentang lolosnya gerilyawan yang ditawan Belanda.
“Serdadu Belanda yang melihat lawannya lari terus menembak dengan membabi buta. Mereka heran kenapa secepat itu tentara gerilyawan Republik Indonesia menyerang markas mereka. Kemudian menghilang. Untuk apa? Untuk gagah-gagahan yang tidak perlu? Baru setelah ada yang mengontrol ke belakang dan berteriak-triak bahwa para tawanan telah kabur mereka semua berteriak marah. Sadar kecolongan dan terkecoh. Dengan menggunakan segenap kendaraan tempur mereka mengejar tim pembebas tawanan ini ke kampung-kampung. Serdadu Belanda marah, menembaki orang-orang kampung yang tidak tahu apa-apa. Kadang untuk melampiaskan kegeramannya mereka menembaki wanita atau anak-anak, atau lelaki tua yang sudah tidak kuat memegang senjata.”
“Tawanan yang terdiri dari gerilyawan yang sempat tertangkap dalam sebuah pertempruan sebelumnya, dibawa ke markas gerilya di gunung, jauh dari kota. Dirawat oleh regu palang merah. Tidak jarang gerilyawan yang luka ini mendapat bonus, jodoh yang dipersiapkan Tuhan. Perawat. Anggota Palang Merah,” Mbah Sis mengakhiri ceritanya, dan para pendengar betepuk tangan.
”Kisah perang hari ini berjudul penyelamatan tawanan selesai. Besuk ketemu lagi dengan saya untuk mendengarkan kisah perang yang lebih seru lagi.”
Siang menjelang sore. Mbah Sis pulang, naik sepeda ke rumahnya dengan beban kenangan perang di kepala, berkurang. Kepala terasa lebih ringan dan dada terasa longgar. Ganti para pendengar yang tadi merasa mendapat hiburan, pulang justru membawa beban sejarah. Kalau para pendahulu berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan negara ini, apa yang telah mereka perbuat sebagai anak cucunya? Kemerdekaan yang dalam pandangan pejuang kemerdekaan tampak nyata, kini bagi anak cucunya tampak kabur, tinggal sisa cerita seperti yang selalu disampaikan Mbah Sis.
Batas-batas kemerdekaan itu sesungguhnya di mana sih? Dunia terasa makin menyatu dan orang-orang yang tadi mendengarkan cerita Mbah Sis merasa kalau kemerdekaan benar-benar terasa sisa. Kabur. Menjauh. Apalagi di kota kecil yang mereka huni, menghubungkan kota besar dengan tempat wisata di gunung dan pantai. Ini kota kecil, daerah penyangga lalu lintas wisatawan demikian lancarnya. Pasar kuno dan para penjahit ontel di los paling ujung justru kadang menjadi atraksi wisata asing. Mereka memotret para penjahit, dan khususnya Mbah Sis, dipotret ketika tengah berapi-api menceritakan bagaimana prajurit yang menjadi temannya mendapat tugas mengawal para pemimpin gerilya, nak turun gunung, bersembunyi di hutan, sakit dan tetap memimpin perang kemerdekaan.
Mbah Sis sendiri merasa dirinya sering meleleh. Terutama ketika menyaksikan para wisatawan dari negeri Eropa dan Amerika datang, masuk pasar, memotret, mengajak ngobrol kemudian memberinya uang. Ia mula-mula bingung ketika pemandu wisata menjelaskan bahwa uang itu adalah uang jasa karena dia mau dipotret dan tetap mau bercerita dengan penuh semangat, direkam oleh wisatawan. Mereka mau membeli kebenaran, kebenaran tentang kemerdekaan yang telah muncul berbentuk cerita itu.
”Ini mirip dengan honor bintang film Mbah. Kan tadi Mbah yang menjadi lakon dalam film pendek teman saya ini,” begitu pemandu membujuknya.
Mbah Sis menerima uang itu. Kaget. Jumlahnya melebihi upah menjahit permak sepuluh kali lipat. Ini membuatnya agak sedih, terharu dan marah ringan. Ternyata keahlian dan ketrampilan tangan dalam menjahit, dikalahkan oleh keahliannya dalam berbicara, dalam bercerita. Padahal waktu itu ia sekadar omong, tidak bekerja, tidak menggerakkan tangan untuk menggerakkan mesin ontelnya.
Kalau yang menjadi masalah adalah uang atau katakanlah upah, itu kemudian tidak menjadi masalah dan ketika pulang ia disambut isteri dengan ciuman lembut begitu memperlihatkan uang hasil dia beraksi di depan kamera wisatawan asing tadi. Tidak seperti biasa. Kalau dia pulang membawa hasil kerja berkeringat menggerakkan mesin jahit, dengan jumlah tidak seberapa, isterinya tetap menyambut, tetapi dengan biasa. Cukup senyum, bukan ciuman. Apakah kebenaran perang yang telah dijual menjadi cerita, di rumah kebenaran itu berubah lagi menjadi ciuman? Buktinya kalau dia pulang membawa uang dari kerja yang nyata, menjahit justru tidak mendapat ciuman.
Banyak tamu dari luar kota, kadang luar negeri, yang khusus datang ke pasar kuno itu, khusus untuk mendengarkan Mbah Sis, kisah perang. Mereka merasa lebih menarik mendengarkan Mbah Sis beraksi ketimbang membaca buku yang membisu, ketimbang datang ke museum melihat benda yang juga membisu.
Mbah Sis makin menjadi-jadi. Maksudnya makin laku. Pada bulan Agustus dia laris. Dia diundang ke banyak desa dan kampung, Dengan bercerita dia mendapat bayaran tinggi. Sehabis bulan Agustus dia istirahat total. Tidak ke pasar dan tidak melayani undangan untuk bercerita. Ia kapok bercerita lagi karena merasa kebenaran tentang perang, kebenaran kemerdekaan hanya ada ketika cerita itu ada. Ketika dia tidak bercerita, dia dianggap tidak ada dan kebenaran tentang perang kemerdekaan juga menguap entah kemana.
Yogyakarta, 2019
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2019