Oleh Pradana Boy ZTF
SUATU hari di tahun 2012, saya menghadiri pertemuan dengan sebuah lembaga pemikiran Islam di Malaysia, Islamic Renaissance Front (IRF), di Kuala Lumpur. Lembaga ini adalah sebuah kelompok studi yang menaruh perhatian pada perkembangan pemikiran Islam di dunia Muslim secara global, dan di Malaysia secara khusus. Pertemuan itu akan dirangkai dengan sebuah seminar tentang Islamic intrafaith dialogue. Ini sesuatu yang sangat menarik. Namun, ada hal yang lebih menarik, seorang teman dari Islamic Renaissance Front memberi kabar bahwa acara dengan model dialog ini pertama kalinya terjadi di Malaysia.
Saya mendengar dengan seksama penjelasan itu. Bagi saya, dialog antaragama adalah hal biasa. Tetapi, tiba-tiba fikiran saya mencerna kembali informasi itu. Ternyata, sejak dari awal saya mengira yang akan dijalankan adalah interfaith dialogue (dialog antaragama). Rupanya bukan. Ini intrafaith dialogue (dialog intraiman, intraagama). Tentu ini sangat mengejutkan. Karena ketika di Indonesia hal-hal seperti ini sudah menjadi “konsumsi” sehari-hari, di Malaysia masih merupakan hal baru. Itupun yang berlangsung bukan antaragama, melainkan intraagama. Namun, dalam konteks pemikiran Islam di Malaysia, ini adalah sebuah keberanian.
Cerita lainnya terjadi di Brunei Darussalam, awal tahun 2014. Saat itu, saya sedang dalam perjalanan menuju Manila, Filipina, untuk berbicara di sebuah seminar. Begitu mengetahui jadwal perjalanan saya termasuk transit di Bandar Sri Begawan, adik ipar saya, alumnus Universitas Al-Azhar, yang mengajar di kota itu menitipkan sejumlah buku berbahasa Arab. Saya membawa buku-buku itu, di samping beberapa buku tentang Muhammadiyah. Buku tentang Muhammadiyah saya bawa, karena saat itu saya sedang menulis satu bab disertasi tentang Majelis Tarjih Muhammadiyah. Namun, buku-buku itu menjadi persoalan.
Karena buku-buku itu, saya ditahan di imigrasi cukup lama. Awalnya, saya menyangka pemeriksaan itu hanya bagian dari formalitas keimigrasian, sehingga tak akan lama. Tetapi, rupanya ini soal serius. Pemeriksaan lama dan melibatkan beberapa level pejabat imigrasi. Keputusan akhirnya, buku saya disita. Setiap buku tentang Islam yang masuk ke Brunei Darussalam harus diperiksa oleh Majelis Dakwah, semacam Majelis Ulama-nya Brunei. Setelah pemeriksaan oleh Majelis Dakwah selesai, barulah buku itu akan diketahui statusnya: Apakah buku-buku itu boleh saya bawa atau harus ditahan karena tidak sesuai dengan corak pemahaman Islam yang dikembangkan di Brunei.
Fakta ini, meskipun tidak bisa mewakili secara keseluruhan din amika pemikiran Islam di Tanah Melayu, setidaknya bisa memberikan gambaran umum. Dalam hal pemikiran Islam, tentu saja apa yang terjadi di Malaysia atau Tanah Melayu secara umum menarik untuk dikaji. Syed Farid Alatas, seorang guru besar sosiologi di National University of Singapore (NUS), pernah melakukan perbandingan tentang dinamika ekonomi dan pemikiran di empat negara Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura. Menurut Farid, Malaysia dan Singapura adalah contoh dua negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi cukup baik, bahkan bisa dibilang jauh lebih baik dari apa yang dialami Indonesia dan Filipina.
Tetapi, di tengah negara yang secara ekonomi stabil itu, ternyata tidak ada cukup ruang untuk terjadinya dinamika pemikiran dan pengembangan dunia intelektual yang vibrant. Sebaliknya, kata Farid, Indonesia dan Filipina, secara ekonomi, tidak sebaik Malaysia dan Singapura, namun di kedua negara ini berbagai macam pemikiran tumbuh, intelektualisme publik berkembang biak, dan ruang untuk kebebasan berfikir lebih luas.
Rasanya, tidak sulit menyetujui analisis Farid Alatas ini. Memang dinamika pemikiran Islam di Tanah Melayu sedikit tertinggal dibandingkan dengan yang ada di Indonesia. Dengan menambahkan kasus Brunei yang saya sebut di atas, maka bisa dikembangkan sebuah hipotesa bahwa pertumbuhan ekonomi yang baik di negara-negara tertentu tidak selamanya diiringi dengan tumbuhnya ruang aktivitas intelektual yang memadai. Dalam kasus Malaysia dan Brunei Darussalam, sempitnya bagi pemikiran Islam itu bisa disebabkan oleh adanya sentralitas madzhab fikih oleh negara. Lazim diketahui bahwa kedua negara ini mewajibkan satu madzhab tertentu bagi masyarakatnya. Karena ketatnya kontrol ideologi madzhabi seperti ini, maka dengan sendirinya ruang intelektualisme Islam tidak terbuka.
Namun, di Malaysia belakangan ini terdapat sebuah arus baru. Islamic Renaissance Front yang saya sebut di atas, bisa ditunjuk sebagai sebuah gejala baru bagi kebangkitan pemikiran Islam di Malaysia. Kelahiran IRF adalah sebuah fenomena penting. Bagaimana dalam sebuah masyarakat di mana kontrol ideologi agama cukup kuat, lahir kelompok intelektual yang menawarkan corak Islam yang dinamis dan terbuka. Dato’ Ahmad Farouk Musa, pemimpin IRF, adalah seorang yang memiliki keberanian berfikir tidak biasa. Farouk adalah seorang dokter. Namun, penguasaannya pada khazanah pemikiran Islam sangat memadai. Ia dengan lincah berbicara tentang sejarah Islam, dunia tafsir, hermeneutika, dan arus pemikiran reformis dalam Islam.
Belakangan, IRF bahkan memiliki sebuah agenda sangat penting. Lembaga ini menggelar seri kajian tentang pemikiran reformisme Islam. Di antara yang pernah dikaji adalah Buya Hamka dan Muhammad Asad. Seri kajian ini masih terus berlangsung, dengan mempelajari tokoh-tokoh reformisme Islam, tak terkecuali tokoh-tokoh reformis Asia Tenggara. IRF rajin menghadirkan para intelektual dengan kecenderungan terbuka dari berbagai tempat, khususnya Asia Tenggara. Tokoh-tokoh pemikir seperti Buya Ahmad Syafii Maarif, Azyumardi Azra, Syed Farid Alatas, dan Azhar Ibrahim adalah di antara yang sering dihadirkan oleh IRF.
Saat ini, IRF mungkin masih merupakan kelompok kecil dan bisa saja dianggap sebagai minoritas dalam konteks Islam di Malaysia secara umum. Namun, kehadiran kelompok ini sangat penting. Pelan namun pasti, IRF akan memberikan perimbangan wacana yang berkembang di kalangan Muslim di Malaysia. Terlebih seri kajian tentang reformisme Islam yang mereka gelar rutin, dalam jangka panjang akan mampu mempengaruhi alam bawah sadar intelektual masyarakat Muslim di Malaysia.
Pradana Boy ZTF, Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 1 Tahun 2017