Sikap Muhammadiyah dan Cerita Setelah dari Uighur

Sikap Muhammadiyah dan Cerita Setelah dari Uighur

JAKARTA, Suara Muhammadiyah– Pimpinan Pusat Muhammadiyah membantah pemberitaan Wall Street Journal terkait adanya aliran dana Pemerintah China ke Muhammadiyah yang diduga sebagai “uang tutup mulut” terkait Muslim Uighur. Artikel “How China Persuaded One Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps” di media Amerika Serikat tersebut menuduh Muhammadiyah bungkam setelah diundang Tiongkok. Muhammadiyah meminta reporter dan media bersangkutan untuk meralat dan meminta maaf. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menjamin tidak ada aliran dana yang diterima Muhammadiyah.

“Muhammadiyah tidak menerima donasi dari Pemerintah Tiongkok dalam bentuk apapun. Kunjungan PP Muhammadiyah ke Xinjiang bersama dengan NU, MUI, dan wartawan. Sikap Muhammadiyah tidak pernah berubah. Muhammadiyah akan terus menyampaikan sikap dan pandangannya sesuai prinsip dakwah amar makruf nahi munkar,” tutur Abdul Mu’ti. Menurutnya, HAM itu terkait dengan urusan kemanusiaan universal. Muhammadiyah berpihak pada manusia dan kemanusiaan.

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan bahwa isu Uighur terkait dengan posisi politik bilateral antarnegara, kaitannya dengan PBB dan lembaga bilateral internasional. Muhammadiyah sebagai lembaga sosial-keagamaan di negara Indonesia tidak punya wewenang untuk mencampuri urusan negara lain. Diplomasi yang dilakukan Muhammadiyah sebatas posisinya. “Kami telah memberi masukan kepada Pemerintah Indonesia terkait dengan isu kemanusiaan di Uighur sebagaimana juga di Rohingnya, Myanmar, Palestina, Suriah, Yaman, India, dan seterusnya.”

Muhammadiyah akan senantiasa memihak mereka yang terdhalimi atas dasar pertimbangan yang penuh tanggung jawab demi untuk perdamaian dunia dan kebaikan semesta. “Muhammadiyah ranahnya kemanusiaan, ranah moral, sebagai kekuatan Islam. Kami suarakan tanpa mengenal perbedaan etnis, suku bangsa, dan agama,” ungkap Haedar. Menurutnya, tidak tepat jika Muhammadiyah dituntut bertindak lebih dari wewenangnya. Muhammadiyah telah menjalankan perannya sebagai kekuatan moral force. “PP Muhammadiyah yang pertama meminta kepada Dubes China untuk membuka akses ke Xinjiang.”

Baca : Pernyataan Resmi PP Muhammadiyah tentang Permasalahan HAM di Xinjiang

Setelah akses dibuka, perwakilan ormas Islam Indonesia diundang untuk melihat langsung apa yang terjadi di Xinjiang. Rombongan itu terdiri dari masing-masing lima perwakilan Muhammadiyah, NU, dan MUI, ditambah tiga wartawan. Ketua Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional PP Muhammadiyah Muhyiddin Junaidi menegaskan sikap ormas Islam tetap sama setelah kembali dari Uighur. Masalah ini sangat tidak sederhana. “Kami tegaskan no money, no corruption. Kami ormas Islam tetap istiqamah, tidak akan menjual agama dengan harga sangat murah,” ujarnya. Muhyiddin memimpin delegasi ormas Islam Indonesia yang diundang Kedutaan Besar China untuk Indonesia ke Daerah Otonomi Uighur Xinjiang pada 17-24 Februari 2019.

Muhyiddin menceritakan pengalamannya di selama di wilayah berpenduduk 22,8 juta jiwa dan beberapa suku itu. “Konstitusi China memberikan kebebasan kepada warganya untuk beragama dan tidak beragama. Konstitusi China juga menyebut tentang agama hanya boleh dilaksanakan di ruang tertutup, tidak boleh praktek agama di ruang terbuka.” Konstitusi China juga menyatakan bahwa beragama baru boleh di usia 18 tahun. Jika anak-anak diajari agama, maka dianggap radikal. Rumah ibadah di China hanya diisi orang tua.

Jika beribadah di ruang publik yang terbuka, maka dianggap radikal dan berhak dikirim ke camp-camp re-education center selama satu tahun untuk dilatih tentang konstitusi China dan diajarkan Bahasa Mandarin. “Selama reeducation itu tidak boleh salat, tidak boleh baca Al-Quran, tidak boleh puasa, makan apa adanya yang disajikan oleh pemerintah. Dan itu under heavy surveillance, itu CCTV every corner,” ujarnya. Di sana diajarkan tentang pengembangan soft skill.

Rombongan Muhyiddin sempat bertemu dan menanyakan perihal ini kepada Ketua China Islam Association (CIA), Abdul. “Menyedihkan, kami diskusi dengan wakil ketua CIA, ‘Bagaimana ini, ya Abdul?’ Abdul bilang dia salatnya dirapel delapan bulan, satu bulan, satu minggu,” ungkapnya. Asosiasi Muslim China ini tidak seperti halnya organisasi Muhammadiyah di Indonesia, yang punya independensi. Asosiasi Muslim China ini lebih sebagai kepanjangan tangan negara.

Mahyuddin menyebut beberapa kejanggalan selama kunjungan. Semisal permintaan untuk dibawa ke masjid untuk shalat shubuh berjamaah, ditolak dengan alasan suhu -17 derajat. Di hotel ada petunjuk arah kiblat yang baru saja dibikin. Lain waktu, seorang wartawan ingin memberi rokok, ternyata dihadang, dan akhirnya dia kembali. “Besoknya, pagi-pagi kami sudah ditunggu dan dibawa ke museum tindak kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat Uighur kepada masyarakat Xinjiang. Mereka adalah warga Uighur yang terpapar radikalisme dan bersinggungan dengan ISIS.”

Delegasi Indonesia juga sempat dibawa ke re-education center, yang penghuninya adalah orang-orang Uighur. Delegasi Muhammadiyah lainnya Muhammad Ziyad, yang juga Ketua Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah menceritakan hal serupa. “Para peserta camp ini diambil dari pemuda-pemuda desa. Ada mereka dibawa ke sini karena di kampung bertanya tentang halal-haram, tentang ibadah. Secara fisik, pelatihan di camp bagus.”

Ziyad mengaku pihaknya sempat menawarkan masukan dan alternatif solusi kepada  pemerintah China. Semisal tentang izin shalat di camp. Rombongan mengusulkan untuk diperbolehkan shalat di lokasi, minimal zuhur-ashar, magrib-isya, dan shubuh. Tiga kali sehari-semalam. Kami bertemu dengan ketua asosiasi agama, dia bisa membaca Qur’an, tetapi dilarang. “Di hari terakhir, kami sampaikan 8 poin ke Gubernur Xinjiang.”

Setelah kembali dari Uighur, Muhyiddin mengaku sempat diundang kembali dalam sebuah jamuan makan malam oleh Dubes China dan Dubes Amerika Serikat, namun kedua undangan itu ditolak. Muhyiddin menyebut bahwa delegasi ormas Islam telah membuat laporan dan rekomendasi terkait Uighur kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. (ribas)

Exit mobile version