Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Bagi sebagian Muslim, merayakan akhir tahun Masehi adalah sesuatu yang dihindari karena biasanya perayaan menutup tahun lebih banyak bersifat pesta dan hura-hura. Tapi bukan berarti kaum Muslim melewatkan momentum akhir tahun begitu saja. Sebagai alternatifnya, lahirlah tradisi menutup tahun yang khas di kalangan Muslim Indonesia. Salah satunya tampak di dalam Persyarikatan Muhammadiyah, setidaknya dalam setengah abad terakhir.
Sejauh yang diketahui dari sumber yang ada, tradisi menutup tahun Masehi di kalangan Muhammadiyah bisa dilacak hingga ke dekade 1960an. Di era itu, Muhammadiyah tengah berusaha untuk memperkuat gerakannya sebagai gerakan kemajuan dengan sembari tetap seiring sejalan dengan semangat revolusioner yang digaungkan Presiden Soekarno. Di sisi lain, Muhammadiyah harus berhadapan dengan peta politik yang berubah drastis, mulai dari kebangkitan dan kejatuhan kaum komunis serta akhir dari rezim Orde Lama dan dimulainya pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
Sambutan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Mu’tamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung pada Juli 1965 menekankan bahwa “Muhammadijah mendjebol mental dan pikiran jang beku, membangun mental dan tjara berpikir jang dinamis dan madju. Mendjebol kemusjrikan dan tahajul, membangun tauhid jang murni. Mendjebol praktik keagamaan jang formil simbolis, membangun semangat mengamalkan adjaran agama mendjadi kenjataan jang bermanfaat pada kemadjuan.” Prinsip ini salah satunya tercermin dalam tradisi berkemajuan yang terbentuk di lingkungan Muhammadiyah dalam menutup tahun Masehi.
Ada beberapa gagasan yang diutarakan dan tindakan yang diambil warga Muhammadiyah untuk menutup tahun yang akan segera berakhir. Pertama dan yang paling utama, akhir tahun merupakan saat yang tepat untuk merenungkan kembali perjalanan yang sudah ditempuh dan suka serta duka yang sudah dialami dalam setahun terakhir. Tujuannya ialah untuk mengukur sejauhmana progres berhasil dibuat dan apa saja kekurangan yang masih ada. Yang juga tak kalah penting adalah mempersiapkan diri untuk tahun selanjutnya yang selalu dibayangkan sebagai tahun penuh harapan.
Pada Desember tahun 1968, contohnya, Muhammadiyah membuat refleksi mendalam tentang dinamika persyarikatan dalam konteks perubahan sosial-politik di Indonesia dalam setahun terakhir. Bagi Muhammadiyah, tahun 1968 adalah tahun yang berat, atau dalam istilah di zaman itu, Tahun Batas Kesabaran Rakyat, dan tahun terakhir dari Fase Stabilisasi Ekonomi. Itu adalah tahun yang sulit bagi masyarakat Indonesia pasca runtuhnya Orde Lama.
Muhammadiyah menegaskan bahwa tahun itu juga tahun yang sukar bagi kaum Muslim Indonesia lantaran banyaknya kelemahan di internal Muslim Indonesia. Daftar kelemahan itu cukup panjang, antara lain dalam hal organisasi perjuangan, mobilisasi pengerahan tenaga untuk perjuangan serta lemahnya persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam. Maka, Muhammadiyah mengajak kaum Muslim agar di tahun yang akan datang (1969) kaum Muslim memberikan kontribusi lebih banyak lagi, baik untuk kemajuan umat Islam maupun Indonesia secara keseluruhan, mengingat tahun 1969 adalah tahun dimulainya program pembangunan yang dikenal sebagai Repelita. Refleksi-refleksi semacam ini masih dipertahankan Muhammadiyah di tahun-tahun selanjutnya.
Refleksi akhir tahun Muhammadiyah tidak hanya bersifat internal, tapi juga berpandangan ke luar dengan mempertimbangkan kepentingan umat dan bangsa.
Saat menutup tahun 1972, umpamanya, Muhammadiyah mengevaluasi tahun itu dengan memberi perhatian pada tiga problem besar di sepanjang tahun itu, yakni yang bersifat nasional, yang berkenaan dengan umat Islam, dan yang menyangkut Muhammadiyah sendiri.
Muhammadiyah menyebut tahun 1972 itu tidak menggembirakan. Secara nasional, tahun itu ditandai oleh naiknya harga beras— baik karena kemarau panjang maupun buruknya penanganan urusan besar—sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat umum. Berkaitan dengan umat Islam, tahun 1972 muncul gagasan tentang fusi partai Islam, namun realisasinya belum berjalan.
Yang juga kurang menggembirakan bagi Muhammadiyah di tahun itu adalah surat dari Ketua Badan Pembina Korpri Pusat pada Ketua PP Muhammadiyah yang melarang keanggotaan rangkap di kedua organisasi tersebut. Menanggapi kesemua persoalan ini, Muhammadiyah di akhir Desember 1972 itu berharap agar segera dicarikan solusi terbaik untuk mengatasinya sehingga tahun 1973 yang akan datang akan menjadi tahun yang cerah baik bagi warga Muhammadiyah, umat Islam maupun masyarakat Indonesia.
Di luar refleksi atas situasi yang dialami warga Muhammadiyah, umat Islam, dan masyarakat Indonesia, Muhammadiyah juga menutup tahun dengan berbagai tindakan yang sifatnya praktis. Tahun yang lama dijadikan sebagai pertanda berakhirnya sebuah konsep dan praktik lawas dan awal dari dimulainya suasana yang baru. Ini tampak dari bagaimana Majalah Suara Muhammadiyah menutup tahun 1965 dan menyambut tahun 1966 serta Hari Raya Idul Fitri 1385 H (jatuh pada tanggal 3 Februari 1966).
Kala itu, Redaksi Suara Muhammadiyah menjadikan momentum akhir tahun 1965 untuk meninggalkan beberapa format yang sudah menjadi ciri khas majalah ini, antara lain hurufnya yang terlalu besar dan jumlah halamannya yang sedikit. Direncanakan di tahun 1966 hurufnya sudah lebih kecil dan jumlah halamannya lebih banyak demi apa yang oleh Redaksi Suara Muhammadiyah waktu itu disebut sebagai “langkah2 penjempurnaan jang kita kehendaki bersama.”
Sementara itu, di penghujung tahun 1972, Suara Muhammadiyah menunjukkan kepuasannya karena dalam setahun terakhir berhasil meningkatkan kualitas penerbitannya.
Di rubrik Jalan Pinggir, tokoh jenaka majalah ini, Bung Santri, mengutarakan empat hal positif yang berhasil dicapai Suara Muhammadiyah pada tahun itu dibanding tahun sebelumnya, yakni jumlah penerbitan yang lebih banyak, penerbitan yang lebih teratur, distribusi yang lebih cepat serta isinya yang lebih enak dibaca. Bung Santri berharap agar di tahun selanjutnya perkembangan Suara Muhammadiyah akan lebih baik lagi.
Tradisi menutup tahun semacam ini masih bertahan hingga di dekade-dekade selanjutnya bahkan hingga kini. Bagi Muhammadiyah, akhir tahun adalah momentum untuk mengevaluasi sejauhmana target yang mereka canangkan di awal tahun telah tercapai. Di samping itu, momentum tersebut juga dipakai untuk membaca ulang perubahan sosial-politik penting yang memengaruhi Muhammadiyah dan bagaimana Muhammadiyah meresponnya.
Keberhasilan yang dibuat diberi apresiasi. Kekurangan, kelemahan maupun kesempatan yang hilang di tahun yang hampir lewat direnungkan agar ada pelajaran yang bisa diambil sehingga suasananya bisa lebih baik di tahun yang akan datang. Muhammadiyah memang organisasi yang berpandangan ke depan, tapi ada pula masanya mereka memandang ke belakang. Tradisi menutup tahun di kalangan Muhammadiyah ini adalah salah satu cara Muhammadiyah untuk melihat kembali sejauhmana mereka sudah bergerak, yang kemudian dijadikan sebagai landasan untuk menentukan ke arah mana mereka akan bergerak di tahun berikutnya.
Muhammad Yuanda Zara. Sejarawan
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 23 Tahun 2017