Mutohharun Jinan
Hampir pasti setiap orang pernah dihinggapi penyakit “menunda pekerjaan”. Tugas dan kewajiban yang seharusnya ditunaikan dalam waktu tertentu, tetapi diselesaikan melebihi batas yang telah ditentukan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “tunda” artinya “mengundurkan waktu pelaksanaan”, “dilaksanakan lain waktu”, atau berlama-lama. Menunda dengan demikian menyelesaikan suatu pekerjaan yang seharusnya diselesaikan, sengaja dilambat-lambatkan atau diakhirkan penyelesaiannya. Menunda juga berarti mengabaikan kesempatan yang dimiliki, kesempatan dibiarkan berlalu tanpa hasil, dan memilih mengakhirkan pekerjaan.
Tertundanya suatu pekerjaan bisa disebabkan karena kesibukan menyelesaikan pekerjaan lain yang kurang penting, bisa juga menunda pekerjaan dilakukan dengan sengaja dan menjadi kebiasaan sehari-hari. Biasanya faktor utama menunda-nunda pekerjaan adalah sikap malas yang diikuti perhitungan, bahwa masih banyak kesempatan untuk menyelesaikan kewajiban atau tugas-tugas yang diamanahkan.
Tidak banyak yang menyadari, kebiasaan menunda-nunda pekerjaan merupakan awal dari datangnya masalah besar. Kebiasaan ini termasuk dalam kategori akhlak buruk yang sangat merugikan dan menyebabkan jiwa lemah. Penundaan merupakan pupuk yang menghambat pertumbuhan. Jika terlalu lama membuat keputusan untuk sebuah peluang yang tiba-tiba datang, peluang itu akan hilang.
Oleh karena itu, dalam sebuah Hadits disebutkan, “Dua nikmat Allah yang kebanyakan manusia sering lalai di dalamnya, kesehatan dan kesempatan atau waktu luang.” (HR. Bukhari). Sementara dalam atsar Abdullah Ibnu Abbas ra dikatakan, “Tidak sempurna kebaikan kecuali dengan menyegerakannya, karena jika disegerakan, hal itu akan lebih menyenangkan pihak yang berkepentingan.”
Di antara akibat buruk dari kebiasaan menunda-nunda pekerjaan adalah hasil yang dicapai menjadi kurang maksimal, bahkan bisa mengalami kegagalan. Sesuatu yang ditunda biasanya dikerjakan mendekati limit atau melewati batas waktu dari yang telah direncanakan, sehingga untuk menyelesaikannya dilakukan serampangan, dipercepat, mengabaikan aspek hasil yang bermutu. Sudah barang tentu hal ini sangat bertentangan dengan spirit profesionalitas yang mengutamakan kesempurnaan atau hasil terbaik dari suatu usaha.
Sementara secara individual dalam percakapan sehari-hari sering terdengar kata “nanti”, “nanti saya kerjakan…,” sebagai kata ganti kemalasan melaksanakan tugas dan kewajiban. Orang bijak berkata, “waspadalah dari menyebut kata ‘nanti’, karena ia adalah salah satu dari tentara iblis.” Dalam sebuah Hadits dari Ibnu Umar menyebutkan, “Rasulullah saw pernah memegang bahuku sambil bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia seolah-olah orang asing atau pengembara.’ ‘Kalau datang waktu sore jangan menanti waktu pagi. Kalau tiba waktu pagi jangan menanti waktu sore. Gunakan sebaik-baiknya sehatmu untuk waktu sakitmu dan masa hidupmu untuk waktu matimu’.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menyimpan makna dan pesan yang sangat penting dalam hal kinerja setiap orang. Pesan Rasulullah ini bukanlah termasuk nasihat khusus, tetapi merupakan pesan umum yang berlaku bagi siapapun dan seharusnya dipahami sebagai arahan dan petunjuk yang akan meningkatkan kualitas dan produktivitas hidup.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan Rasulullah Muhammad saw memerintahkan untuk tidak menunda-nunda pekerjaan. Pertama, tidak seorang pun dapat menjamin untuk bisa hidup sampai esok hari, bahkan tidak ada yang bisa menjamin hidup beberapa menit kemudian. Kedua, kehidupan manusia tidak bebas seratus persen dari gangguan-gangguan seperti penyakit ataupun kesibukankesibukan baru. Ketiga, mengakhirkan pelaksanaan perintah dan menunda pekerjaan yang baik, akan menyebabkan seseorang terbiasa melakukannya, untuk kemudian berurat dan berakar dalam jiwanya hingga membentuk akhlak yang buruk.
Di atas semua itu, etika kerja Islami dari pesan-pesan Al-Qur’an adalah etika semangat tepat waktu, bersegera, dan tidak bermalas-malasan. Allah mengingatkan “maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan) tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).” (Qs. Al-Insyirah [94]: 7).
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut) ‘Insya Allah.’ Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah, ‘Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini.’” (Qs. Al-Kahfi [18]: 23-24).
Menunda-nunda pekerjaan (prokrastinasi) bagian dari akhlak buruk dan tidak akan bermanfaat apapun kecuali hanya akan memperpanjang waktunya dalam kejelekan dan memperpendek waktu dalam menjalankan kebajikan.
Mutohharun Jinan, Dosen FAI UM Surakarta
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 7 Tahun 2015