Dalam tulisan beberapa edisi yang lalu, penulis telah mengungkap spiritualitas menanam dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits. Aktivitas menanam tanaman memiliki landasan spiritual yang kokoh sehingga profesi sebagai petani/ peladang mendapat tempat strategis dalam Islam. Setali tiga uang, aktivitas menanam berhubungan dengan teknik pengolahan tanah yang baik. Tujuannya jelas, yakni agar dapat menghasilkan tanaman yang baik dan hasil panen yang berkualitas. Dalam hal ini, Rasulullah saw telah mengisyaratkan anjuran untuk mengolah tanah dengan baik.
Anjuran Mengolah Tanah
Telah menceritakan kepada kami ‘Abbad ibn ‘Abbad al-Muhallabiyyu, dari Hisyam ibn ‘Urwah, dari Wahb ibn Kaisan, dari Jabir ibn ‘Abdillah, berkata, Rasulullah saw bersabda: ”Siapa yang menyuburkan tanah tandus, maka baginya pahala, dan apa-apa yang dimakan oleh binatang kecil merupakan sedekah baginya” (Musnad Ahmad, hadis No. 13753 CD ROM Mausu’ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, Global Islamic Software, 1997).
Dalam Hadits lain disebutkan,
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Basysyar, telah menceritakan kepada kami ‘Abdu alWahhab, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Hisyam ibn ’Urwah, dari Wahb ibn Kaisan, dari Jabir ibn ‘Abdillah, dari Nabi Muhammad saw, telah berkata, siapa yang menghidupkan (menyuburkan) tanah yang mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Abu Isa berkata, bahwa Hadits ini ialah Hadits Hasan Sahih} (Sunan al-Tirmizi, Hadits No. 1300 CD ROM Mausu’ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, Global Islamic Software, 1997).
Dua Hadits di atas, sama-sama bertema tentang menghidupkan tanah yang mati dan memiliki kemiripan redaksi. Hanya saja, terdapat sedikit perbedaan matan Hadits, yang terletak pada status kepemilikan atas tanah yang digarap. Pada Hadits yang disebut pertama, diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal (No. 13753), tidak menyinggung soal status kepemilikan tanah mati bagi penggarapnya. Teks Hadits tersebut hanya menyebut soal imbalan pahala yang diberikan Allah atas amal baiknya, dan apa yang dimakan daripada yang ditanamnya akan berbuah nilai sedekah bagi si penanam, karena ia telah mendukung kehidupan makhluk Allah SwT yang lain.
Ihwal pemahaman Hadits ini, Muhammad Zuhri memiliki cara pandang yang menarik. Menurutnya, Hadits tersebut memang cocok diterapkan pada masyarakat Arab terutama tempo dulu, karena tanah yang luas dan jumlah penduduk yang sedikit. Sebaliknya, jika Hadits itu diterapkan secara tekstual pada masyarakat sekarang, apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan Indonesia, yang terjadi bukanlah mendatangkan ketentraman sebagaimana misi Islam, melainkan membuka peluang keributan.
Jangankan tanah terlantar, tanah tergarappun banyak menimbulkan sengketa. Apa yang dikemukakan Muhammad Zuhri (2003: 87) berangkat dari pemikiran para muta’akhkhirun yang menganjurkan agar bahasa produk lima belas abad lalu, dapat difahami secara tepat oleh masyarakat yang hidup saat ini, sehingga diperlukan pengetahuan tentang situasi sosial ketika Hadits itu diriwayatkan.
Dalam Hadits lain disebutkan anjuran mengolah tanah pertanian bagi yang memilikinya. Apabila pemilik tanah tidak bersedia menanami, maka hendaknya tanah pertanian tersebut disewakan kepada orang lain yang mampu menggarapnya.
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah ibn Musa, telah memberitahu kami al-Auza’i, dari ‘Ata’, dari Jabir RA, berkata, mereka menanami ladangnya dengan (memperoleh hasil) sepertiga, (atau) seperempat, (atau) setengahnya, maka Rasulullah Saw bersabda: ”Barangsiapa yang memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya atau ia berikan (penggarapannya) kepada (saudara)-nya. Jika ia tidak melakukannya, maka hendaklah ia sendiri menggarap tanahnya.” Ar-Rabi’ ibn Nafi’ Abu Taubah: Mu’awiyah telah menceritakan kepada kami dari Yahya, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah RS, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ia menanaminya atau ia berikan (penggarapannya) kepada saudaranya. Kemudian jika ia enggan, maka hendaklah ia sendiri yang menggarap tanahnya.” (Sahih al-Bukhari, hadis No. 2172 CD ROM Mausu’ah al-Hadis al-Syarif al-Kutub al-Tis’ah, Global Islamic Software, 1997).
Relevansi Makna Hadits
Hadits-Hadits di atas secara tidak langsung memiliki makna strategis berkaitan dengan isu pangan yang kini menjadi tantangan masyarakat dunia. Pangan adalah kebutuhan hidup utama manusia yang harus dipenuhi untuk bertahan hidup. Pangan juga menjadi salah satu kata kunci stabilitas politik baik nasional maupun internasional.
Di antara pemicu krisis pangan adalah terjadinya alih fungsi lahan pertanian akibat pembangunan yang kurang ramah lingkungan. Lahan adalah satu dari sekian penyokong kegiatan produksi, dan nyatanya ia masih menjadi persoalan primer di antara problem pembangunan pertanian.
Laju pertumbuhan dan kebutuhan manusia yang makin meningkat, mau tak mau menjadikan lahan pertanian mesti berebut terutama dengan lahan pendukung kegiatan ekonomi lainnya, seperti jalan tol, pembangunan rumah, lahan industri, pembangunan hotel, perkebunan sawit, bahkan yang terkini tergeser oleh tanaman sumber energi alternatif biofuel.
Sebaliknya, pegiat serta pemerhati pertanian justru merasa galau karena pembangunan jalan tol berarti akan terjadi konversi ribuan hektar lahan sawah sehingga ”menggoyang” suplai pangan nasional. Alih fungsi lahan pertanian akibat pembangunan jalan tol tidak hanya berhenti di situ, karena akan diikuti dengan konversi persawahan di sekitar tol guna pembangunan pusat perbelanjaan, jasa, perkantoran, perumahan, dan permukiman.
Misi yang diemban Hadits ini bekerja pada wilayah kesadaran yang berpihak pada kelangsungan hidup manusia dan alam secara berimbang. Dalam situasi ini, Hadits tentang keutamaan menanam menemukan urgensinya. Pesan keutamaan menanam pada Hadits ini, diharapkan dapat mempengaruhi kesadaran individu bahkan institusional tentang pentingnya menanam bagi kelangsungan kehidupan.
Kesadaran tersebut ialah pijakan kognitif dan afektif bagi keberpihakan individu juga institusi terhadap kegiatan menanam, sehingga bila dihadapkan pada pilihan kebijakan menyangkut peralihan fungsi lahan misalnya, seyogyanya putusan yang diambil tidak akan merugikan apalagi merampas dengan sadar, lahan yang digunakan untuk menanam tanaman pangan. Sebaliknya, baik individu maupun institusi akan termotivasi untuk sebisa mungkin mendayagunakan lahan bagi kegiatan menanam. Keterbatasan lahan pertanian terutama di kawasan perkotaan contohnya, mendorong pengembangan kegiatan pertanian di pekarangan rumah, kantor bahkan di lantas teratas bangunan bertingkat.
Hajar Nur Setyowati, SS, SthI, Alumni Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 11 Tahun 2015