Oleh : Haidir Fitra Siagian
Pada pertengahan tahun 1990-an, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Selatan mulai melaksanakan pembangunan Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulawesi Selatan di tanah wakaf dari alm. H Mustamin Dg Matutu, SH, di Jalan Perintis Kemedekaan Km 10 No 38 Tamalanrea, Makassar (saat itu masih disebut Ujung Pandang).
Lokasi tersebut berada di jalan poros nasional yang menghubungkan Kota Makassar ke berbagai kota kabupaten dan kota provinsi lainnya di kawasan Pulau Sulawesi. Berada di depan kampus Universitas Hasanuddin, kampus yang sangat terkenal di Indonesia bagian Timur. Serta tak jauh dari berbagai objek vital dan kantor pemerintah.
Anggaran untuk pembangunan berlantai tiga dengan arsitek rumah adat Minang Sumatra Barat ini, diperkirakan lebih dari satu milyar Rupiah. Untuk ukuran saat itu, anggaran ini sudah amat sangat mewah. Alm. K.H. Djamaluddin Amien, Ketua PWM Sulsel bertindak sebagai ketua panitia pembangunan. Dengan anggaran yang cukup besar, agak sulit memang dicapai dengan waktu yang singkat.
Tidak mudah mencari dana sebanyak itu. Ini adalah proyek pertama PWM Sulsel dengan biaya yang sangat besar. Penggalangan dana dilakukan dengan berbagai cara, terutama dari “uang recehan” warga Muhammadiyah se-Sulawesi Selatan, juga warga lainnya yang berada di seluruh pelosok tanah air.
Saya waktu itu adalah sebagai staf bagian rumah tangga PWM Sulsel. Berulang kali, bahkan setiap tahun pada bulan Ramadhan, bertugas membuat surat permohonan dana ke berbagai pihak, termasuk kepada dermawan non-Muhammadiyah, instansi pemerintah dan perusahaan swasta. Ada yang memberi, ada juga yang tidak merespon. Ada yang dikirim via pos, ada juga yang diantar langsung ke kantor PWM Sulsel Jl Gunung Lompobattang No. 201.
Bahkan kami dari pengurus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas llmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, saat itu ikut membantu mencari dana. Jika ada acara kami, seperti Darul Arqam Dasar atau seminar nasional, sebagian saldonya disumbangkan untuk pembangunan Pusat Dakwah ini. Saat itu memang kami selalu berusaha untuk tidak menghabiskan dana yang diperoleh. Harus ada saldonya. Teman-teman juga membantu mengedarkan blangko sumbangan ribuan, lima ribuan dan sepuluh ribuan.
Terdengar kabar bahwa salah seorang pengusaha nasional di Jakarta asal Sulawesi Selatan, bertemu dengan Pak Kiyai Djamal. Beliau menyanggupi membantu membangun gedung tersebut secara keseluruhan. Semua dananya berasal dari pengusaha ini, sendirian, menyelesaikan pembangunan sampai tuntas. Muhammadiyah tinggal menerima kunci saja. Kemudian Pak Kiyai membawa ide tersebut ke dalam rapat PWM Sulsel. Hasil rapat menyatakan tidak dapat menerima keinginan pengusaha tersebut. Rapat memutuskan mengucapkan terimakasih kepada sang pengusaha tetapi keinginannya membangun gedung ini secara sendirian, tidak dapat diterima.
Mengapa Muhammadiyah tidak mau menerima sumbangan tersebut? Itu kan halal, pembangunan gedung bisa cepat selesai dan dapat dipakai untuk kepentingan dakwah? Lagi pula Muhammadiyah tidak perlu lagi repot mencari dana? Muhammadiyah silahkan memanfaatkannya dan mengurus dakwah lainnya! Ternyata bapak-bapak anggota Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan saat itu berpendapat lain.
Jika seorang pengusaha membangun gedung untuk Muhammadiyah seorang diri, itu akan menjadi catatan sejarah. Dia membangun sendiri, kemana Pimpinan Muhammadiyah saat itu? Anak-cucu kita akan menanyakan apa kerja pimpinan Muhammadiyah saat itu. Mengapa diberikan proyek dakwah kepada satu orang? Lalu dimana marwah Muhammadiyah?
Kalimat inilah yang menjadi pelajaran berharga yang sempat diucapkan Pak Kiyai ketika menjelaskan kenapa Muhammadiyah tidak dapat menerima bantuan tersebut. Berbeda halnya jika sang pengusaha memberi bantuan tanpa syarat, tanpa mengatur ini dan itu, tanpa ikut campur urusan teknis, tanpa tekanan, dan lain-lain tentu masih bisa diterima. Mestinya biaya yang akan dia sumbangkan, diserahkan saja secara sukarela, lalu digabung dengan “uang recehan” warga Muhammadiyah lainnya. Jika hanya dia yang membiayai, tentu warga Muhammadiyah lainnya tidak mendapat pahala amal jariyah dari pembangunan gedung tersebut.
Demikianlah cara pimpinan menjaga marwah Muhammadiyah. Persyarikatan yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan satu abad lebih yang lalu ini, bukanlah organisasi tertutup. Boleh menerima bantuan dari pihak lain. Akan tetapi bantuan tersebut jangan sampai menutup pintu bagi warga Muhammadiyah lainnya untuk beramal. Kita dapat menerima bantuan dari seseorang. Tetapi bantuan itu tidak boleh mengikat. Tidak boleh dia mengatur-atur Muhammadiyah. Tidak boleh dengan bantuan tersebut, menjadi landasan politik bagi dia untuk berbuat sesuatu.
Karena Muhammadiyah adalah ladang untuk beramal saleh. Meskipun tak banyak hafal dalil, tetap senantiasa berusaha berbuat yang terbaik untuk kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Ada publikasi ataupun tidak.
Sama sekali tidak ada yang boleh menjual Muhammadiyah untuk kepentingan apapun. Karena Muhammadiyah tidak bisa dibeli, dengan harga yang sebagaimanapun jumlahnya. Hal ini harus selalu diingatkan kepada para pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan, supaya tidak terlena, betapa pentingnya menjaga marwah Persyarikatan.
Wassalam
17.12.19 qabla Duhur.
Haidir Fitra Siagian, Dosen UIN Alauddin Makassar, tinggal di Gwynneville, Wollongong, New South Wales, Australia