Muhammadiyah Antara Pembantu dan Penentu

Muhammadiyah Antara Pembantu dan Penentu

Buya Syafii Maarif Dok SM

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sekiranya perjalanan bangsa Indonesia ini tidak oleng secara moral, barangkali artikel ini tidak perlu ditulis, karena peran Muhammadiyah sebagai pembantu negara dalam bidang pendidikan dan layanan sosial sudah sangat luar biasa. Kedua bidang ini adalah bagian dari ranah amar ma’ruf, sebuah konsep Qur’ani yang sudah populer di kalangan warga Persyarikatan sejak puluhan tahun yang lalu, sekalipun konsep itu bersamaan dengan padanannya nahi munkar baru dimasukkan ke dalam AD (Anggaran Dasar) Muhammadiyah pada Muktamar ke-41 di Surakarta bulan Desember 1985. Pasal 1 ayat 1 AD itu berbunyi: “Persyarikatan ini bernama MUHAMMADIYAH, adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Makruf Nahi Mungkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah.” (Tata tulis sesuai dengan sumber aslinya).

Rumusan AD ini sebenarnya adalah respon Muhammadiyah terhadap politik negara yang mengharuskan semua organisasi, politik dan sosial, untuk mencantumkan Pancasila sebagai asasnya. Asas yang lain tidak lagi diizinkan. Muhammadiyah sendiri mencantumkan asas Islam dalam AD-nya baru pada Muktamar ke-34 di Jogjakarta bulan Nopember 1959. Artinya, selama 47 tahun sejak 1912, Muhammadiyah tidak mencantumkan asas dalam AD-nya. Pencantuman asas ini sebenarnya juga adalah sebagai respon Muhammadiyah terhadap fluktuasi politik nasional dalam Majelis Konstituante yang bersidang antara 1956 s/d 1959 di mana partai-partai Islam gagal memperjuangkan dasar Islam sebagai dasar negara yang kemudian melahirkan Dekrit 5 Juli 1959 dengan mengukuhkan kembali Pancasila sebagai dasar negara.

Bagi saya pencantuman asas sebagai identitas Persyarikatan tidak ada masalah, dengan catatan bahwa tanpa asas keislaman Muhammadiyah tidak ada yang meragukan, bukan? Perdebatan sengit tentang asas dalam sidang Muktamar Surakarta sebenarnya bisa diperlunak sekiranya kita pada saat itu sadar bahwa sebelum tahun 1959 Muhammadiyah dalam AD-nya tidak mencantumkan asas apa pun. Tulisan ini tidak akan melanjutkan pembicaraan tentang asas itu, karena asas Islam telah masuk kembali dalam AD Muhammadiyah dalam Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta setelah absen selama 15 tahun.

Dengan sedikit perubahan redaksi dibandingkan dengan AD tahun 1985, AD tahun 2000 Pasal 1 ayat 2 berbunyi: ”Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, berasas Islam, dan bersumber pada Al-Qur’an dan AsSunnah.” Tetapi ada masalah yang sangat serius yang perlu mendapat perhatian Muhammadiyah, yaitu konsep nahi munkar yang dikaitkan dengan bunyi AD dan kenyataan hidup di Indonesia yang sarat dengan budaya hitam dengan segala bentuk kemungkaran: korupsi, kerusakan lingkungan, politik tunamoral, pencurian kekayaan laut, dan yang sejenis itu.

Dengan mencantumkan konsep nahi mungkar dalam AD berarti Muhammadiyah telah memasuki sebuah arena petarungan keras sebagai imbangan dari misi amar makruf yang sudah berjalan relatif baik selama ini. Dalam ranah melawan kemungkaran, peran Muhammadiyah nyaris tak terasa, kecuali berupa imbauan-imbauan moral tanpa eksekusi. Jangankan Muhammadiyah sebagai pembantu negara, Indonesia sebagai negara dengan segala alat pemaksanya yang lengkap sering tidak berdaya melumpuhkan budaya hitam yang munkar itu. Kelanjutan dari pemikiran ini, maka Muhammadiyah sudah saatnya berfikir ulang tentang cakupan misinya, tidak hanya berfungsi sebagai gerakan pembantu, tetapi juga harus memasuki wilayah penentu, suatu wilayah baru yang memang bukan menjadi sasaran utama Muhammadiyah sejak semula. Dalam kalimat lain, saya rumuskan: Muhammadiyah sejak awal memang tidak dirancang untuk mengurus negara.

Sekalipun saya sudah punya pemikiran kasar mengenai hubungan Muhammadiyah dan negara, dalam artikel ini belum akan disampaikan. Saya ingin memancing lebih dulu bagaimana pendapat pembaca Suara Muhammadiyah tentang masalah krusial yang tidak sederhana ini. Saya berharap pada forum Muktamar ke47 di Makassar bulan Agustus 2015 akan dibicarakan secara sungguh-sungguh bagaimana sebaiknya hubungan Muhammadiyah dengan negara dengan mempertimbangkan konsep nahi munkar dalam AD sebagai hasil dari Muktamar ke-41 di Surakarta tahun 1985 yang dikuatkan oleh muktamar-muktamar selanjutnya.

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2015

Exit mobile version