Abu Hurairah: Pecinta Hadits dan Pebisnis Zahid

Abu Hurairah: Pecinta Hadits dan Pebisnis Zahid

Nama aslinya Abdu Syams (hamba matahari). Setelah masuk Islam, Rasulullah menamainya Abdurrahman. Populer dengan julukan Abu Hurairah (bapak kucing). Julukan ini disebabkan ketika ia menemukan seekor kucing di jalanan kota Madinah. Dia membawa dan mendekap kucing itu di lengan bajunya. Orang-orang melihat peristiwa itu dan mulailah ia dipanggil dengan Abu Hurairah. Bapak Kucing.

Ia berasal dari Hadramaut (Yaman sekarang) dari kabilah al-Dausi dan masuk Islam di hadapan Thufail bin ‘Amru. Berangkat hijrah dan sampai ke Madinah pada tahun 7 H, tepat beberapa saat sebelum Perang Khaibar (Muharram 7 H). Lalu menjadi pelayan Nabi dan menemaninya sehari-hari selama 4 tahun. Terhitung 4 tahun sebelum Nabi meninggal pada 12 Rabi’ul awwal 11 H/8 Juni 632 M. Abu Hurairah berperawakan tinggi, berkulit kecoklatan (adam), dan berjenggot kemerahan. Termasuk sahabat yang miskin dan sering tinggal di pojok serambi Masjid Nabawi (ahli shuffah), meski jika berbisnis, pernah mempunyai cerita sukses.

Ia pernah diutus Rasulullah dan Umar bin Khattab ke Bahrain untuk berdakwah. Ada kisah menarik. Ketika Umar mengutusnya lagi ke Bahrain, Umar memberikan bekal sebesar 10.000 Dirham. Tetapi, Abu Hurairah menampiknya dengan mengatakan, “maukah engkau menjadi musuh Allah dan musuh kitab-Nya dengan memberikan harta ini?” Umar menjawab, “aku tidak mau menjadi musuh Allah dan kitab-Nya, lalu bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” “Aku akan berdagang dan Allah selalu bersamaku.” Jawab Abu Hurairah. Sepulangnya dari Bahrain, ia segera menemui Umar dan malah menyerahkan uang sekitar 20.000 Dirham dari hasil berdagangnya untuk diinfaqkan ke Baitul Mal. Abu Hurairah, pedagang zahid.

‘Ajaj Khatib menulis dalam bukunya As-Sunnah Qabla at-Tadwin dan ‘Abu Hurairah Rawiyah al-Islam, setidaknya ada empat faktor yang menyebabkannya menjadi kompilator (pengumpul) terbanyak Hadits. Pertama, ia senantiasa mengikuti Nabi, baik ketika bepergian maupun di rumah. Abu Hurairah tidak memiliki pekerjaan selain berada di dekat Nabi. Sebuah riwayat dari Sa’ad bin al-Musayyab, Abu Hurairah bercerita, “mereka mengatakan bahwa Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan Hadits, demi Allah, tunggulah saatnya.” Mereka juga berkata, “kenapa orang Muhajirin dan Anshar tidak meriwayatkan Hadits seperti banyak Hadits yang diriwayatkannya? Aku akan memberitahukan kalian. Para sahabatku dari kaum Anshar, mereka sibuk mengurusi tanah-ladang mereka, sedang sahabat-sahabatku dari kaum Muhajirin, mereka sibuk berdagang. Aku senantiasa menemani Nabi untuk memenuhi hak perutku. Jadi aku dapat melihat sesuatu.”

Suatu ketika Nabi bersabda, “siapa di antara kalian yang merentangkan pakaiannya dan mengambil perkataanku ini kemudian dikumpulkannya di dadanya, maka ia tidak akan lupa selama-lamanya. Aku pun merentangkan ‘sorbanku’ sampai Rasulullah selesai bersabda. Lalu aku taruh sorban itu ke dadaku, hingga aku tidak lupa sedikit pun perkataan yang diucapkan Nabi padaku mulai hari itu. Kalau bukan karena dua ayat Al-Qur’an (Al-Baqarah: 159-160), aku tidak akan menceritakan apa pun selamanya.”

Kedua, kecerdasan, cintanya pada ilmu serta ketekunannya terhadap Hadits. Abu Hurairah memang diberikan kecerdasan alami oleh Allah sehingga apa yang dihafalnya tidak lupa. Selain itu, Abu Hurairah pernah berdoa agar ilmunya tidak mudah dilupakan. Ketiga, ia mengetahui banyak para sahabat senior, mengambil riwayat apa yang tidak sempat didengarnya dari Rasulullah. Sehingga dia dapat merengkuh segala yang telah lalu darinya, selain juga meluaskan khazanah riwayatnya. Ia meriwayatkan dari para sahabat senior seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, Ubay bin Ka’ab, Fadhal bin Abbas bin Abdul Muthalib, Usamah bin Zaid, dan Aisyah. Sahabat yang meriwayatkan darinya antara lain: Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Wasilah bin Asqa’, Jabir bin Abdullah al-Anshari, dan Abu Ayub al-Anshari.

Para tabi’in dan generasi sesudahnya yang meriwayatkan darinya menurut al-Bukhari sekitar 800 orang. Selain meriwayatkan, orang-orang tersebut juga menulis Hadits darinya. MM. A’zami, pakar Hadits kontemporer dalam disertasinya menganalisa dan mengumpulkan sekitar 10 orang yang menulis Hadits darinya, di antaranya Muhammad bin Sirin dan Hamam bin Munabbih.

Keempat, ia memiliki usia yang panjang setelah wafatnya Nabi selama sekitar 47 tahun. Selama itu, ia menyebarkan Hadits dan tidak ada kegiatan apa pun yang menghalanginya. Orang-orang bersaksi ketika ia menyebarkan Hadits setelah wafatnya Nabi, bahwa ia memang mendengarnya dari Nabi atas apa yang mereka tidak dengar. Malik bin Abu Amir berkata, “Seorang laki-laki datang menemui Thalhah bin Ubaidillah, lalu berujar: Hai Abu Muhammad, bagaimana menurutmu si Yaman ini (maksudnya Abu Hurairah), dia lebih tahu tentang Hadits Nabi dari kalian? Kami mendengar dari mereka apa yang tidak kami dengar dari kalian, atau dia berkata-kata atas nama Nabi dengan apa yang tidak dikatakannya. Thalhah berkata: boleh jadi ia mendengar dari Nabi saw apa yang tidak kita dengar, maka aku tidak meragukannya. Memang dia telah mendengar dari Rasulullah apa yang tidak kami dengar. Karena dia itu miskin, tidak punya apa-apa, tamu Rasulullah, tangannya bersama Rasulullah, sedang kami adalah orang yang memiliki rumah dan kaya. Kami mendatangi Rasulullah di sore hari saja, maka tidak diragukan dia telah mendengar dari Rasulullah apa yang tidak kami dengar. Dan kami tidak menemukan seseorang yang memiliki kebaikan mengatakan atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan.”

Keempat faktor dan dengan posisi strategisnya sebagai pembantu (khadim) Nabi lebih memungkinkan bagi Abu Hurairah untuk memperoleh banyak riwayat. Baik itu dari para istri Nabi, terutama Aisyah dan para sahabat lain yang ia temui bersama Nabi. Kelebihan-kelebihan Abu Hurairah dalam masalah Hadits juga tidak terkontaminasi unsur dan dinamika sosio-politik. Sebuah riwayat mengisahkan, ketika fitnah politik pada masa Usman bin Affan, Abu Hurairah menjauh dari peristiwa tersebut dengan malah berdiam di rumah Usman, mengasuh anaknya yang masih kecil. Mungkin sebelumnya ia telah mengetahui Hadits: “Satakunu fitan, al-qa’id fiiha khairun min al-qa’im (akan datang fitnah pecah belah itu, ia yang duduk berdiam lebih baik dari mereka yang berbaur di dalamnya).” Anak Usman inilah nantinya yang mengantar jenazah Abu Hurairah menuju pemakamannya di Baqi’, Madinah.(Mukhlis Rahmanto)

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 3 Tahun 2015

Exit mobile version