Muhammadiyah dan PDRI

Perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Belanda dan Jepang memang sangat berat. Tetapi lebih berat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari cengkeraman kolonialisme Belanda yang berambisi menguasai kembali tanah air Indonesia.

Dalam Agresi Militer Belanda I, Jakarta berhasil dikuasai Pasukan Sekutu (Allied Forces Netherlands East Indies). Pusat pemerintahan Indonesia di Jakarta harus pindah ke Yogyakarta (1946) demi keamanan penyelenggaraan pemerintahan. Sekitar dua tahun kemudian, Yogyakarta pun berhasil dikuasai Pasukan Sekutu pada 19-20 Desember 1948 dan para pejabat tinggi pemerintahan Indonesia (Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan beberapa menteri) ditangkap dan diasingkan.

Pihak Belanda menyatakan kemenangan mereka karena merasa berhasil melumpuhkan pemerintahan pusat Indonesia.

Namun, sebelum terjadi kekosongan pemerintahan Indonesia, Hatta telah mengamanatkan kepada Syafruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran), yang kebetulan tidak menetap di Yogyakarta sehingga lolos dari penangkapan oleh tantara Sekutu, untuk menyelenggarakan pemerintahan darurat di Sumatera Barat.

Inilah yang dikenal sebagai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang secara politik berhasil menyelamatkan Indonesia dari Agresi Militer Belanda II. Pada saat yang sama, Jenderal Sudirman yang tengah sakit menyatakan dukungan atas PDRI di bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara. Setelah revolusi Palagan Ambarawa (Oktober-Desember 1945) yang secara politik dimenangkan oleh pihak Indonesia, eksistensi PDRI di Sumatera Barat (1948-1949) menjadi bukti bahwa pemerintahan Indonesia belum habis.

Republik Indonesia masih berdiri sekalipun sistem pemerintahan diselenggarakan secara mobile, berpindah-pindah tempat dengan fasilitas ala kadarnya. Pemerintahan sementara ini mendapat dukungan penuh dari rakyat Indonesia, terutama warga di Sumatera Barat. Sedangkan Sumatera Barat adalah salah satu basis massa terbesar gerakan Muhammadiyah di luar Pulau Jawa yang telah tumbuh sejak 1927.

Sayang sekali, bangsa ini terlalu pendek ingatan sejarahnya. PDRI yang hanya berusia sekitar 7 bulan tersebut dianggap sebagai serpihan sejarah yang mungkin tidak penting. Padahal, tanpa PDRI, keberlangsungan pemerintahan Indonesia mungkin akan berakhir. Kekosongan pemerintahan pusat pada 19-22 Desember telah digantikan secara sah lewat mandat yang diberikan kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk PDRI di Sumatera Barat.

Setelah situasi nasional semakin kondusif, Bung Karno dan Bung Hatta kembali melanjutkan pemerintahan yang sebelumnya sempat berpindah-pindah tempat itu. Dalam konteks ini, peristiwa PDRI harus dapat diletakkan dalam sejarah dan matarantai keberlangsungan pemerintahan Indonesia sejak masa Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini. Menurut Ahmad Syafii Maarif, peristiwa PDRI di Sumatera Barat, Revolusi 10 November di Surabaya, perlawanan Jenderal Sudirman, dan diplomasi Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, dan Hatta sebagai tonggak-tonggak sejarah revolusi Indonesia.

Salah satu fakta historis yang tak dapat dipungkiri, PDRI diselenggarakan di Sumatera Barat, sebuah wilayah yang menjadi basis massa terbesar gerakan Muhammadiyah di luar Jawa. Ketika PDRI mendapat dukungan penuh dari masyarakat setempat, secara tidak langsung gerakan Muhammadiyah turut mendukung eksistensi PDRI. Kontribusi Muhammadiyah terhadap keberlangsungan pemerintahan Indonesia, terutama ketika republik ini melewati masa-masa darurat pada 1948-1949, tentu tidak dapat diabaikan begitu saja. (rief)

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 24 Tahun 2018

Exit mobile version