Muhammadiyah di Belakang PDRI

Muhammadiyah di Belakang PDRI

Bekas kantor PDRI di Bukittinggi, Sumatera Barat Dok Yuris

Kemungkinan adanya Agresi Belanda II telah diprediksikan oleh para Pimpinan Republik di Jawa. Guna mengantisipasi hal itu, disusunlah beberapa rencana. Menurut Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2005), pada November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta Menteri Kemakmuran Mr Sjafruddin Prawiranegara berangkat ke Bukittinggi. Ketika Hatta kembali ke Yogyakarta, Sjafruddin tetap tinggal untuk mempersiapkan kemungkinan pembentukan pemerintahan darurat di Sumatra seandainya ibukota republik jatuh ke tangan Belanda.

Rencana lain, pada pertengahan Desember 1948, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru mengirimkan sebuah pesawat untuk membawa Soekarno dan Hatta ke luar Jawa dan pesawat itu akan singgah di Bukittinggi. Kemudian Hatta akan memimpin pemerintahan darurat dan Soekarno akan ke New Delhi dan lalu ke New York mengadukan masalah Indonesia ke PBB. Namun, rencana ini gagal. Pesawat Nehru tertahan di Singapura dikarenakan Pemerintah Belanda tidak memberikan izin melintas. Karena tertahannya pesawat, Soekarno dan Hatta tetap berada di Yogyakarta ketika Belanda akhirnya menyerang pada 19 Desember 1949. Soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim termasuk yang ditawan.

Berita kejatuhan Yogyakarta ke tangan Belanda awalnya dianggap hanya propaganda semata. Kawat yang dikirim dari Yogyakarta tidak pernah sampai. Sjafruddin sempat menunda pembentukan pemerintahan darurat sembari terus waspada. Bersama beberapa tokoh lokal dan komandan militer Sumatra Kolonel Hidayat, Sjafruddin meninggalkan Bukittinggi, menuju desa Halaban dan sampai pada 21 Desember. Resimen Sumatra, Mr Mohammad Rasjid menyusul. Malam itu juga, menurut Wakil Ketua PWM Sumatra Barat Bahtiar, para tokoh berhasil merumuskan dan mendeklarasikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada pukul 03.40 WIB dinihari tanggal 22 Desember 1948.

Dalam PDRI, Sjafruddin dibantu oleh Mr Teuku Mohammad Hassan, Mr Mohammad Rasjid, Lukman Hakim, KH Masykur, Indra Cahya, Mananti Sitompul, Sudirman, Abdul Haris Nasution, Hidayat, Umar Said, Muhammad Nazir, Hubertus Suyono, dan lainnya. Perwakilan Indonesia di Belanda, Mr A.A. Maramis diangkat sebagai Menteri Luar Negeri. PDRI di Jawa berada di bawah kepemimpinan Sukiman, Kasimo, Mr Susanto Tirtoprojo. Kahin menyebut bahwa PDRI merupakan simbol perjuangan nasional dan pemersatu, khususnya bagi perjuangan gerilya yang tersebar di Jawa dan Sumatera. Sebabnya, PDRI diakui dan didukung penuh oleh Panglima Besar Sudirman sebagai pengganti yang sah dari Soekarno-Hatta.

Pimpinan PDRI kemudian meninggalkan Halaban dan menyebar. Sjafruddin menuju ke selatan hingga ke Bidar Alam, perbatasan Sumatra Barat dan Jambi. Hidayat menuju utara, berhenti sementara di Rao, lalu melanjutkan long march hingga ke Aceh ketika Bukittinggi berhasil dikuasai Belanda.

Saat itu, Kolonel Hussein Joesoef yang membawahi Divisi X Komandemen Sumatra, Langkat dan Tanah Karo, menjadikan Bireuen sebagai pusat kemiliteran Aceh. Tempat itu diyakini tidak pernah terjamah Belanda. Sementara Mr Rasjid bersama Chatib Sulaiman dan Anwar Sutan Saidi menuju Koto Tinggi.

Guna melindungi PDRI dari kejaran Belanda, digunakan strategi perang gerilya. Setelah berpencar, Sjafruddin dan Rasjid mempergunakan pemancar radio untuk menyebar pesan ke luar sekaligus berkomunikasi dengan pimpinan republik lainnya. Belanda kesusahan menemukan keberadaan radio yang disiarkan secara berpindah-pindah. Belanda kemudian berhasil merangsek hingga ke Bukittinggi dan mengacaukan sinyal komunikasi radio. Belanda juga berusaha menduduki semua kota utama di dataran tinggi.

Kebersamaan merupakan kunci lolos dari kejaran Belanda. Para pejuang dan penduduk sempat kesusahan, mengungsi hingga ke perbukitan. Sejarawan Ahmad Syafii Maarif menyebut bahwa ketika pasukan Sjafruddin tiba di Sumpur Kudus, orang tua dari istri Syafii sebagai tetua adat termasuk di antara yang menampung dan menyuplai bahan makanan. Masyarakat ikut bahu-membahu membantu dalam wujud tenaga dan harta. Semua itu demi kedaulatan bangsa, mengusir penjajah Belanda.

Dalam situasi genting, kata Bahtiar, Muhammadiyah mengerahkan dua pasukan. Lembaga pendidikan dan layanan sosial Muhammadiyah juga dijadikan sebagai pusat dan gerakan gerilya. Aktivitas sekolah Muhammadiyah dan panti asuhan menjadi terhenti.

Sekolah dan aset Muhammadiyah banyak yang hancur akibat agresi Belanda. Harta benda dan dokumen Muhammadiyah ikut dijarah. Termasuk mesin ketik yang sangat berharga kala itu. Belum lagi, beban psikis yang dialami oleh para tokoh dan guru Muhammadiyah karena intimidasi dan siksaan.

Pimpinan Muhammadiyah mengambil kebijakan menggantikan posisi AR Sutan Mansur kepada Saalah Yusuf Sutan Mangkuto sebagai consul Muhammadiyah Sumatera Bagian Tengah. AR Sutan Mansur ditarik menjadi wakil Pengurus Besar untuk seluruh Sumatera. Malik Ahmad setia mendampingi Sjafruddin dengan kawalan pasukan resimen III. Lain waktu, Malik Ahmad juga membersamai Mr Rasjid. Ketika pusat PDRI pindah ke Koto Tinggi berdasar instruksi gubernur militer Sumatra Barat pada 13 Januari 1949, Malik Ahmad selain mengurusi pengungsi dan pejabat PDRI, juga diserahi tugas mengurusi perburuhan dan sosial.

“Sedangkan tokoh (Muhammadiyah) dan warganya terlibat secara aktif dalam mempertahankan kemerdekaan seperti Saalah Yusuf Sutan Mangkuto, Malik Ahmad, Oedin, Marzuki Yatim, Abdullah Kamil, Duski Samad dan lain-lain. Sementara itu, A. Malik Ahmad, RI. Dt. Sinaro Panjang, H. Idris Manaf dan Hasan Ahmad berjuang bergerilya dengan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain,” tutur Bahtiar.

Tugu PDRI Dok Ist

Tokoh Muhammadiyah lainnya, Chatib Sulaiman merupakan di antara sosok sentral yang gugur dalam sebuah penyerangan oleh Belanda di Lurah Kincia, Situjuah Batua, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Peristiwa Situjuah Batua pada 15 Januari 1949 terjadi ketika pejuang Indonesia lengah. Sebelumnya, Belanda belum pernah berhasil masuk ke Situjuah. Pasukan Indonesia juga sudah berusaha memutus akses, menggali jalan dan meruntuhkan jembatan supaya tidak bisa dilalui kenderaan Belanda. Pada 14 Januari malam, sekitar 80 pemimpin lokal mengadakan rapat untuk menghadapi agresi Belanda. Rapat yang diinstruksikan Mr Rasjid ini dipimpin oleh Chatib Sulaiman. Forum berlangsung hingga 15 Januari dini hari. Setelah itu, karena kelelahan, para peserta dan pejuang pun beristirahat.

Tanpa diduga, sebelum fajar, serdadu Belanda memasuki Situjuah. Dengan sigap segera melucuti senjata pejuang Indonesia dan mengepung yang masih terlelap. Serangan tiba-tiba itu menggugurkan sekitar 69 pejuang Indonesia. Peristiwa ini menjadi pukulan telak bagi pejuang Indonesia. Namun, mereka menyusun kekuatan kembali. Sampai-sampai Belanda frustasi dengan perlawanan di Sumatra Barat dan beberapa daerah lainnya.

Selain frustasi, menurut Kahin, Belanda juga ditekan oleh PBB supaya mengadakan negosiasi. Dalam upaya perundingan, Belanda sama sekali tidak menghubungi pimpinan PDRI Sjafruddin atau panglima gerilya Sudirman. Belanda bernegosiasi dengan pimpinan yang berstatus tahanan, Soekarno dan Hatta.

April 1949, delegasi Indonesia dipimpin oleh tokoh Muhammadiyah Mr Mohammad Roem mengadakan perundingan dengan Belanda yang dipimpin JH Van Royen. Di antara hasilnya adalah mengizinkan pemimpin Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta, dan dalam waktu dekat akan mengadakan konferensi meja bundar untuk membicarakan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia.

Mulanya, ada yang mencurigai bahwa Belanda hanya bermain intrik sebagaimana perjanjian Linggarjati dan perjanjian Renville terdahulu, sehingga mereka menolak perjanjian Roem-Royen. Pejuang Indonesia akhirnya melunak setelah Hatta menemui Kolonel Hidayat dan Mohammad Nasir bertemu Sjafruddin. Pada 13 Juli 1949, Sjafruddin mengembalikan mandat pemerintahan kepada Soekarno.

Peristiwa PDRI menjadi tonggak sejarah. Melalui Kepres Nomor 28 Tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. (ribas)

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 24 Tahun 2018

Exit mobile version