PDRI Mengisi Kekosongan Kekuasaan RI

demokrasi pancasila

Foto Dok Ilustrasi

PDRI Mengisi Kekosongan Kekuasaan RI

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Sejarah maha penting itu terjadi 69 tahun yang silam, saat PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia, 22 Des. 1948-13 Juli 1949) dibentuk di desa kecil Halaban, selatan Payakumbuh, Sumatera Barat, setelah pemimpin tertinggi RI di Yogyakarta ditawan Belanda sekitar jam 14.00 tanggal 19 Desember 1948 sebagai bagian dari Agresi Belanda kedua.

Sejak jam 06.00 pada hari itu pasukan Belanda telah menghujani Yogyakarta dengan bom dan tembakan. Tujuannya satu: menawan Soekarno-Hatta dan Jenderal Soedirman. Tetapi Belanda salah perhitungan, peta dunia telah berubah drastis pasca PD (Perang Dunia) II. Kekuatan nasionalisme di muka bumi sedang berjuang melumpuhkan imperialisme-kolonialisme dalam bentuk apa pun. PDRI adalah salah satu ujung tombak nasionalisme itu yang sudah menyatu dengan keyakinan agama yang tak tergoyahkan bahwa penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi.

Dengan ditawannya Soekarno-Hatta, kekuatan kolonial mengira bahwa riwayat republik sudah tamat dan sistem penjajahan akan dilanjutkan lagi setelah dihalau Jepang pada 1942. Sejarawan alm. Sartono Kartodirdjo memberi kesaksian tentang kejadian ini sebagai berikut: “Pemerintah RI beralih ke Sumatra Barat dan dikenal sebagai PDRI. Rasanya kita tidak menghadapi fakta historis, melainkan suatu peristiwa yang mirip dengan mitos wayang yang mengisahkan tokoh sakti yang dapat beralih tempat atau wajah. Strategi seperti itu justru membuat setrategi Belanda berantakan.” (Lih. Sartono Kartodirdjo, “Sekapur Sirih” untuk karya Mestika Zed, Pemerintah Darurat Republik Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997, hlm. vi).

Sartono melanjutkan: “Terbuktilah di sini bahwa meskipun teknologi Belanda superior, mereka tidak mampu mematahkan ideologi Indonesia, nasionalisme yang berkobar di dada para pejuang pada umumnya dan pimpinan PDRI khususnya.” (Ibid.). Nasionalisme Indonesia yang sudah bersemi sejak dasa warsa pertama abad ke-20 merupakan kekuatan maha dahsyat yang dimiliki bangsa ini untuk pada akhirnya berhasil mengusir penjajahan yang menindas dan congkak. Tetapi kita juga harus merasa malu, sebuah Negeri Kincir kecil di Eropa telah menjajah wilayah Nusantara ini dalam tempo yang bervariasi. Yang terpendek dijajah adalah Aceh yang hanya berlangsung 30 tahun, 1912-1942). Maka mitos yang masih sering diulang-ulang sampai hari ini bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun harus tidak diucapkan lagi.

Sekiranya PDRI gagal dalam perjuangannya mempertahankan RI, berdasarkan mandat yang dikirim Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tertanggal 19 Desember 1948 (yang tidak pernah sampai saat itu ke tangan Sjafruddin Prawiranegara), masih ada cadangan kekuatan RI di luar negeri di tangan Dr. Soedarsono dan A.A. Maramis di India serta L.N. Palar di PBB untuk membentuk pemerintah pengasingan di luar negeri.

Semuanya sudah diperhitungkan dalam situasi politik yang tidak menentu itu. Tetapi PDRI bukan saja berhasil membentuk pemerintahan darurat yang didukung sepenuhnya oleh Jenderal Soedirman, pemimpin perang grilya di Jawa, Sjafruddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI bersama tokoh-tokoh pejuang yang lain telah membuktikan bahwa mimpi Belanda untuk berkuasa lagi telah hancur sama sekali.

Inilah pidato radio heroik Sjafruddin sehari setelah PDRI terbentuk: “Negara Indonesia tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu adalah sangat berharga bagi bangsa kita. Patah tumbuh hilang berganti. Hilang pemerintah SoekarnoHatta, sementara atau untuk selama-selamanya, rakyat Indonesia akan mendirikan pemerintah yang baru, hilang pemerintah ini akan timbul yang baru lagi.” (Lih. Amrin Imran, Saleh A. Djamhari, J.R. Chaniago, PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) Dalam Perang Kemerdekaan. Jakarta: Citra Pendidikan, 2003, hlm. 74).

Saat pidato ini disampaikan, Sjafruddin belum tahu persis apakah Soekarno-Hatta telah ditawan atau tidak, mengingat sukarnya komunikasi di era itu. Padahal sore hari pada 19 Desember itu Soekarno-Hatta bersama beberapa meneteri yang lain telah meninggalkan Yogyakarta, dipindahkan ke luar Jawa oleh Belanda sebagai tahanan politik selama beberapa bulan.

Akhirnya, karena yang memimpin PDRI itu bukan hanya Sjafruddin Prawiranegara, tetapi banyak yang lain, maka beberapa nama besar PDRI yang berjuang di luar Jawa itu perlu saya sebutkan di sini a.l.: Mr. Teuku Mohammad Hasan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Mr. Lukman Hakim, Ir. Mananti Sitompul, Ir. Indratjaja, Mr. A.A. Maramis, Marjono Danubroto, A. Latif, A. Karim, Kolonel Hidayat, Kolonel Laut M. Nazir, Kolonel Laut Adam, Komodor Muda Habertus Soejono, Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kapten Udara Sidik Tamimi.

Di belakang PDRI berdiri puluhan juta rakyat Indonesia, desa dan kota, sama-sama bertekad mengusir penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa dengan segala kekuatan. PDRI telah berhasil mengisi kekosongan kekuasaan pemerintah pusat setelah Yogyakarta jatuh. PDRI adalah salah satu episode maha menentukan bagi kelangsungan RI, tetapi yang sering dilupakan.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 24 Tahun 2018

Exit mobile version