Syekh Abdul Qadir Jailani lahir di Jailan, selatan laut Kaspia (sekarang menjadi Provinsi Mazandaran), Iran, pada 470 H/1077 M, dari pasangan Abu Salih dan Umm Khair Fatima. Konon, dia adalah keturunan Nabi Muhammad dari cucu-cucunya, Hasan dan Husein. Meskipun belum ada yang secara meyakinkan menjelaskan kebenaran cerita tersebut. Ayahnya diyakini keturunan dari Hasan, sedangkan ibunya dari Husein. Sebagian besar usianya dihabiskan untuk belajar. Abdul Qadir baru menikah pada usia 50 tahun.
Abdul Qadir lahir pada saat yang tepat. Ketika dinasti Saljuk yang berpusat di Iran sedang berada dalam masa kejayaannya. Perkembangan ilmu pengetahuan sedang pesat-pesatnya. Madrasah (sekolah) yang diasuh guruguru yang terkenal alim menjamur. Meskipun lahir di dusun yang jauh dari kota, dan akses yang masih sangat sulit, dia sudah mendengar hingar-bingar kemajuan ilmu pengetahuan di kota. Hasrat belajar Abdul Qadir pun tersalur.
Sejak kecil, dia dikenal sebagai pribadi yang suka mencari ilmu. Di usia yang masih muda, Abdul Qadir merantau ke Baghdad. Saat itu, Iraq belum berdiri sebagai negara, tapi menjadi bagian dari kekuasaan Dinasti Saljuk. Dia mendaftar ke Madrasah al-Nizamiyah-nya Abu Hamid al-Ghazali (yang saat itu diasuh oleh adiknya, Ahmad alGhazali, karena Abu Hamid al-Ghazali sudah meninggal). Tetapi Abdul Qadir tidak diterima.
Akhirnya, dia belajar ke beberapa ulama di Iraq. Belajar ilmu-ilmu ushul dan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Tak heran di usia mudanya, dia sangat teguh dalam berprinsip dalam hal akidah. Sang pencari sejati. Dalam rentang waktu selanjutnya, hingga wafatnya, dia menekuni jalan tasawuf. Kemurnian akidah dan jalan tasawuf inilah yang meneguhkannya sebagai guru yang amat dihormati. Dua hal yang dia jaga hingga wafatnya pada 561 H/1166 M di Baghdad.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa pada masyarakat yang mengantarnya dikenal luas. Suatu saat, salah satu anaknya, Abdul Wahab, meminta wasiat di saat menjelang wafatnya. Dia menyatakan, “engkau harus senantiasa bertakwa kepada Allah. Jangan takut kepada siapa pun kecuali Allah. Setiap kebutuhan mintalah kepada Nya. Jangan berpegang selain kepada tali-Nya. Carilah segalanya dari Allah.” Jawaban ini menegaskan bahwa, Abdul Qadir melihat gelagat para murid dan pengikutnya yang terlalu menyanjung dirinya. Sehingga, dalam setiap doa pun harus menyebut nama dirinya. Hal yang sama sekali tidak diinginkan oleh guru besar Madzhab Hambali ini.
Menjaga Akidah dengan Tasawuf ‘Amali
Syekh Abdul Qadir dikenal sebagai penjaga akidah. Namun, ia juga dikenal sebagai tokoh tasawuf. Ia produktif dalam menuliskan karya. Sekitar 17 kitab sudah ditulisnya. Dua di antaranya yang paling utama adalah al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq dan Futuh al-Ghaib. Dua karya inilah yang mencerminkan pikiran utamanya: akidah dan tasawuf. Abdul Qadir Jailani adalah ulama madzhab Hambali. Ada yang menyebutnya Salafi. Hal ini terlihat dalam al-Ghunyah. Dia sangat teguh memegang paham akidah madzhab Hambali. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak memercayai segala pemujaan, karamah, dan wasilah.
Sementara Futuh al-Ghaib menggambarkan pikirannya tentang perilaku tasawuf yang dituntun oleh syariah. Buku kedua inilah yang dijadikan pijakan sebagian pemujanya dalam laku tasawuf. Dia pun mendirikan Tariqat Qadiriyah dengan tujuan membimbing laku tasawuf ‘amali yang dituntun syari’ah. Buku lain yang merinci tasawuf ‘amali ini adalah Sirr al-Asrar Fi Ma Yahtaju Ilaihi al-Abrar. Buku yang menyingkap rahasia manfaat batiniah dari ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji.
Abdul Qadir mengkritik Islam warisan. Islam yang hanya “melakukan” ibadah. Kesadaran batiniahnya kurang. Maka ada dua hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki ini, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan mengingat dan menghadirkan Allah dalam kalbu. Amaliyah ibadah dengan memasukkan dua hal itu, menurutnya, akan membimbing kepada Islam yang sebenarnya. Inilah yang dimaksud dengan tasawuf ‘amali.
Cerita Menyimpang
Selama ini, jika bicara tentang Abdul Qadir, kita selalu dikaburkan dengan pemujaan berlebihan tentangnya. Bahkan ada yang meyakini bahwa berdoa pun harus menyebutkan nama dan silsilahnya hingga Nabi Muhammad saw. Keyakinan bahwa ia dilimpahi banyak karamah, menggiring umat mendudukkan Abdul Qadir sebagai wasilah dan berharap syafaatnya. Padahal secara jelas disebutkan Abdul Qadir bahwa hal-hal seperti itu sama sekali tidak sesuai dengan Sunnah, dan dia tidak pernah mengajarkan yang demikian.
Ternyata, pemujaan berlebihan ini disebabkan oleh terbitnya tiga jilid buku, Bahjatu al-Asraar wa Ma’dinu alAnwar fi Ba’di Manaqib al-Quthb ar-Rabbani Abdul Qadir Jailani, karangan al-Muqri’ Abu al-Hasan asy-Syanthufi alMishri. Kitab-kitab ini adalah kumpulan cerita terkait Abdul Qadir Jailani. Sayangnya, hampir keseluruhannya adalah kebohongan. Penulisnya diketahui belum pernah sama sekali bertemu dengan Abdul Qadir.
Selain kitab itu, ada satu lagi ulama Sunni yang cerita berlebihan, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah adz-Dzahabi al-Fariqi, dikenal sebagai al-Imam adz-Dzahabi atau al-Dhahabi. Dia menulis Siyar A’lamin Nubala. Di dalamnya nukilan perkataan dan perbuatan Abdul Qadir Jailani dengan berlebihan. Misalnya, adz-Dzahabi menukil pernyataan Abdul Qadir Jailani yang dipastikan tidak benar. Menurutnya, Abdul Qadir pernah menyatakan, “lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.” Cerita-cerita inilah yang menjadi bahan utama tradisi manaqiban. Tradisi yang berisi cerita riwayat hidup Syekh Abdul Qadir Jailani.
Beruntung ada ulama lain yang mencoba meluruskannya. Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Syaikh Abdul Qadir al-Jailani termasuk orang yang berpegang-teguh dengan sunnah dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, qodar, dan semisalnya, bersungguhsungguh dalam membantah orang yang menyelisihi perkara tersebut.” Bantahan terhadap cerita rekaan itu juga dilakukan oleh ulama madzhab Syafii, al-Kamal Ja’far al-Adfawy.
Selama 25 tahun Abdul Qadir Jailani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi. Selain itu, dia juga memimpin madrasah dan ribath (semacam pesantren) di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Sepeninggalnya, Madrasah itu dilanjutkan anaknya, Abdul Wahab dan Abdul Razaq, sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M. Meskipun sudah hampir 850 tahun meninggal, tapi namanya masih selalu dipuja. Bahkan sebagian besar memujanya dengan berlebihan. Melebihi pujian terhadap Rasulullah saw. (ba; dari berbagai sumber)
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 2 Tahun 2015