Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Apakah Muhammadiyah memiliki model gerakan sosial yang nyata dan aktual dalam masyarakat? Jawabannya pasti ya. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial berbasis Islam telah berkiprah lebih dari satu abad dengan model dakwah kemasyarakatan yang bersifat mencerdaskan, membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan umat atau masyarakat di negeri tercinta ini. Gerakan di bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan dakwah yang mencerahkan pikiran masyarakat merupakan aplikasi dari gerakan sosial Muhammadiyah. Kekuatan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam justru pada dakwah kemasyarakatan, yang berbasis pada nilai-nilai ajaran Islam yang berkemajuan.
Kini Muhammadiyah makin diuji keberadaannya di basis umat dan masyarakat bawah. Apakah gerakan Islam ini benar-benar berperan nyata dan strategis di akar jamaah atau sebaliknya makin menjauh dari denyut nadi umat. Di sinilah pentingnya mempertajam kembali orientasi, strategi, dan model gerakan sosial Muhammadiyah. Terutama dalam memajukan kehidupan umat atau masyarakat di basis komunitas sebagai pilar strategis masyarakat madani.
Pengembangan Masyarakat
Model gerakan sosial Muhammadiyah sebenarnya telah hadir dan faktual yaitu melalui Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah (GJDJ) yang diprogramkan sejak tahun 1968 hasil Muktamar ke-37 di Yogyakarta. GJDJ itu model gerakan sosial berbasis jamaah atau komunitas, yang sifatnya inklusif. Siapa saja tanpa membedakan agama, suku, ras, golongan, dan afiliasi sosial lainnya menjadi bagian dari komunitas dakwah Muhammadiyah.
Kegiatannya yang bersifat keagamaan dan kemasyarakatan. Strategi gerakannya ialah community development atau pengembangan masyarakat. Pelaku gerakannya adalah keluarga-keluarga Muhammadiyah sebagai inti jamaah. Basis teologisnya ialah Al-Ma’un sebagaimana dikembangkan oleh Kiai Ahmad Dahlan dengan pendekatan transformatif Ali Imran 104 dan 110 yang oleh Kuntowijoyo disebut proses liberasi, humanisasi, emansipasi, dan transendensi.
Strategi gerakan sosial GJDJ ialah community development atau pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat (CD, Comdev) ialah model pembangunan dari, oleh, dan untuk masyarakat berbasis kondisi dan kemandirian setempat.
Langkah Muhammadiyah itu sebenarnya terobosan karena ketika itu belum ada organisasi dakwah dan kemasyarakatan yang mengembangkan community development (Comdev). Pengembangan model Comdev secara historis dimulai Pasca Perang Dunia II yang dipelopori PBB (UNDP) tahun 1948 untuk membantu negara-negara sedang berkembang (Developing Countries) yang baru merdeka memperbaiki kehidupannya akibat penjajahan dan perang dengan membangkitkan potensi yang dimilikinya.
Dalam kurun mutakhir, konsep Comdev berkembang sebagai alternatif Welfare-State yang dianggap gagal dalam memenuhi janji-janjinya untuk menyejahterakan masyarakat. Welfare-State dengan proyek industrialisasinya bahkan menciptakan kerusakan struktur masyarakat di tingkat komunitas seperti masyarakat desa, keluarga besar, dan kelompok-kelompok keagamaan. Orientasinya membangun kembali strukturstruktur komunitas yang hilang atau hancur akibat modernisasi dan industrialisasi yang mencerabut basis kehidupan masyarakat itu.
Adapun ciri pendekatannya ialah pertama mengedepankan strategi dari bawah (bottom-up) ketimbang dari atas (top-down). Kedua, berbasis pada pengembangan partisipasi masyarakat yang luas. Ketiga, fokus pada kebutuhan bagian terbesar warga masyarakat. Keempat, mengutamakan proses dengan orientasi pemberdayaan. Kelima, bersifat menyeluruh artinya menyangkut segala aspek dan proses dari kehidupan masyarakat.
Sedangkan prinsip pelaksanaan Comdev ialah (1) Keterpaduan pembangunan aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan, dan spiritual; (2) Mengatasi ketidakberdayaan struktural; (3) Menjunjung Hak Asasi Manusia; (4) Keberlanjutan; (5) Pemberdayaan (6) Kaitan masalah individual dan politik; (7) Kepemilikan oleh komunitas; (8) Kemandirian; (9) Ketidaktergantungan pada pihak lain termasuk pemerintah; (10) Keterkaitan jangka pendek dan menengah; (11) Pembangunan yang bersifat organik dan bukan mekanistik; (12) Kecepatan pembangunan ditentukan sendiri oleh masyarakat; (13) Pengalaman pihak luar diadaptasi sesuai kondisi lokal; (14) Proses sama pentingnya dengan hasil pembangunan; (15) Proses tanpa paksaan, partisipatif, inklusif, kooperatif, serta pengambilan keputusan secara demokratis, dialogis dan berdasarkan konsensus. (Soemardjo, 2013).
Praksis Gerakan
Salah satu langkah penting dan strategis dalam membangun gerakan sosial ke bawah sebagai bagian dari model pengembangan masyarakat (Comdev) yang bersifat program ialah mengembangkan “Model Praksis Gerakan”. Praksis gerakan merupakan bentuk aksi berbasis pemikiran inovatif, kreatif, dan altenatif kegiatan yang berkemajuan. Model praksis gerakan merupakan ikhtiar mempertajam dan mengembangkan berbagai usaha (amal usaha, program, dan kegiatan) ke arah yang lebih baik, berkualitas, dan berkeunggulan sehingga menjadi model yang dapat direplikasi di seluruh lingkungan Muhammadiyah sesuai dengan kapasitas dan kreasi setempat. Model Praksis Gerakan secara umum dapat memperkuat proses pengembangan strategi dari revitalisasi menuju transformasi, yakni berkembangnya program dan langkah-langkah strategis Muhammadiyah yang bersifat membebaskan, memberdayakan, dan memajukan.
Dalam menghadapi gerakan-gerakan lain pengembangan “Model Praksis Gerakan” dapat meningkatkan keunggulan komparasi dan kompetisi Muhammadiyah secara objektif dan elegan.
Kini makin berkembang berbagai usaha dan kegiatan di berbagai bidang seperti lembaga pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan ekonomi, dan model-model dakwah atau misi gerakan lain yang lebih maju dan diminati masyarakat luas. Banyak hal yang dulu dipelopori Muhammadiyah kini dikembangkan pihak lain yang boleh jadi jauh lebih baik dan kompetitif. Jika kecenderungan tersebut tidak diantisipasi dan dihadapi Muhammadiyah dengan usaha-usaha kreatif, inovatif, dan alternatif yang lebih unggul atau kompetitif maka pelan tapi pasti Muhammadiyah akan ketinggalan dan tidak tertutup kemungkinan ditinggalkan masyarakat.
Karenanya menjadi semakin penting dan strategis adanya pengembangan “Model Praksis Gerakan” Muhammadiyah di berbagai bidang yang harus disebarluaskan dan diwujudkan untuk dijadikan pilihan utama pasca Muktamar Satu Abad itu. Semua pihak dan potensi harus dikerahkan agar gerakan kreatif, inovatif, dan alternatif itu mencapai keberhasilan khususnya dalam tiga tahun ke depan. Keberhasilan pelaksanaan “Model Praksis Gerakan” Muhammadiyah tersebut memerlukan mobilisasi faktor-faktor berikut ini: (a) pendayagunaan seluruh potensi yang dimiliki oleh Persyarikatan, termasuk dukungan dari amal usaha Muhammadiyah; (b) dukungan kepemimpinan yang benar-benar kolektif, proaktif, terorganisasi, dinamis, dan dapat memimpin serta mengontrol seluruh proses pelaksanaan; (c) mobilisasi dana dari dalam dan luar secara lebih terprogram dan optimal; dan (d) komitmen dan kesungguhan dari seluruh anggota Muhammadiyah, termasuk dari para anggota pimpinannya.
Semangat kemandirian yang kini digelorakan dapat dijadikan momentum untuk menyukseskan model-model praksis gerakan di seluruh tingkatan pimpinan. Kemandirian harus ditunjukkan pada penguatan pilar-pilar sistem gerakan, organisasi dan kepemimpinan, jaringan, sumberdaya, serta aksi dan pelayanan yang benarbenar nyata, optimal, unggul, dan berdampak langsung (dapat dibuktikan keberhasilannya) bagi kemajuan Muhammadiyah. Kemandirian harus ditunjukkan dengan mengerahkan segala kemampuan dalam melakukan kerja-kerja konkret dan strategis yang membangkitkan kekuatan “indigeneous” (kekuatan dari dalam) atau “inner dynamics” (dinamika inti) yang selama ini dimiliki Muhammadiyah untuk melahirkan gelombang besar untuk perubahan dan kemajuan.
Kemandirian juga dapat dioptimalkan dengan menggalang jaringan, sinergi, dan kerjasama dengan semua pihak baik di dalam maupun ke luar lingkungan Persyarikatan sesuai Kepribadian Muhammladiyah.
Dalam memobilisasi potensi dan mewujudkan “Model Praksis Gerakan” yang membawa kemajuan maka peran pimpinan Munammadiyah sangatlah menentukan. Segenap pimpinan di seluruh tingkatan harus mengerahkan segenap kemampuan untuk menjadikan Muhammadiyah semakin maju dan unggul dalam gerakannya. Lebih-lebih dalam menggerakkan dan memajukan umat di basis gerakan. Kepemimpiman di lingkungan Persyarikatan selain dituntut memiliki komitmen, kebersamaan, konsistensi, kemampuan, dan pengkhidmatan yang tinggi, pada saat yang sama harus membawa perubahan yang berkemajuan sesuai misi dan cita-cita gerakan. Inilah kepemimpinan transformatif yang membumi di ranah praksis dan berkarakter ideologi gerakan!
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 7 Tahun 2015