Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr wb Majelis Tarjih yang terhormat, kadangkala kita bepergian ke luar kota selama beberapa hari. Pertanyaannya adalah ketika sudah tiba di tempat tujuan, siang hari shalat Zhuhur dan Ashar jamak dan qashar. Ketika malam hari karena waktunya senggang, shalat Maghrib dan Isyak normal tanpa jamak dan qashar. Ketika siang hari berikutnya, karena masih ada kegiatan maka shalat Zhuhur dan Ashar dilakukan jamak dan qashar. Malam harinya dilakukan shalat biasa lagi tanpa jamak dan qashar. Apakah bisa melakukan shalat jamak dan qashar dicampur dengan shalat biasa pada saat musafir? Bagaimana juga jika malam hari di mana lokasi menginap dekat masjid dan melakukan shalat berjamaah di masjid tetapi siang harinya melakukan shalat Zhuhur dan Ashar jamak dan qashar?
Wassalamu ‘alaikum wr wb
Iwan Hafiz
(disidangkan pada Jum’at, 24 Rajab 1438 H / 21 April 2017 M)
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan, berikut jawabannya.
Masalah shalat jamak dan qashar sudah pernah dibahas oleh Majelis Tarjih dan Tajdid. Misalnya saja dalam buku Tanya Jawab Agama (TJA) Jilid 1 di halaman 59, TJA Jilid 3 di halaman 80, dan TJA jilid 6 di halaman 80 yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah.
‘Azimah (hukum asal) dari mengerjakan shalat adalah sesuai dengan waktu dan jumlah rakaat yang sudah ditentukan. Artinya, jika tidak ada suatu alasan tertentu, maka shalat harus dilaksanakan sesuai dengan tata caranya dan sesuai waktunya. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, ‘azimah ini boleh tidak dilaksanakan karena untuk memberikan keringanan atau rukhsah, yaitu dengan shalat secara jamak dan qashar. Jika dirasa melaksanakan shalat secara normal (sesuai waktu dan jumlah rakaatnya) tidak memberatkan, maka tidak mengerjakan secara jamak dan qashar diperbolehkan.
Tentang kebolehan mengqashar shalat, terdapat dalam surat An-Nisa’ [4]: 101,
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqasar shalat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Ayat di atas berkaitan dengan hadits:
Dari Ya’la bin ‘Umayyah, (diriwayatkan) ia berkata: Aku berkata kepada Umar bin Khattab mengenai ayat yang berbunyi “Tak ada dosa atasmu meng-qashar shalat, jika kamu khawatir terhadap orang-orang kafir yang hendak memberi cobaan kepadamu” (Qs An-Nisa’: 101), sementara manusia saat ini dalam kondisi aman (maksudnya tidak dalam kondisi perang). Umar menjawab: Sungguh aku juga pernah penasaran tentang ayat itu sebagaimana kamu penasaran, lalu aku tanyakan kepada Rasulullah saw tentang ayat tersebut, beliau lalu menjawab: Itu (mengqashar shalat) adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian. Oleh karena itu, terimalah sedekah-Nya [HR. Muslim no. 686]
Selain itu terdapat hadits lain,
Dari Ibnu Abbas ra, (diriwayatkan) ia berkata: Nabi saw tinggal di suatu daerah selama sembilan belas hari, selalu shalat qashar, maka kami apabila bepergian selama sembilan belas hari selalu mengqashar shalat, dan apabila lebih kami menyempurnakannya [HR. Al-Bukhari no. 1030].
Sedangkan kebolehan melakukan jamak terdapat dalam hadits:
Dari Anas bin Malik ra, ia berkata: Rasulullah saw apabila berangkat sebelum tergelincir matahari, beliau mengakhirkan Zhuhur hingga waktu Ashar, kemudian beliau berhenti lalu melakukan jamak. Apabila berangkat sesudah tergelincir matahari beliau mengerjakan shalat Zhuhur dahulu, barulah berangkat [HR. al-Bukhari no 1061].
Dalam hadits lain,
Dari Muadz, bahwasanya Nabi saw saat perang Tabuk, apabila berangkat (dari tempat persinggahan) sebelum tergelincir matahari, beliau akhirkan Zhuhur sampai waktu Ashar menjamak keduanya (Zhuhur dan Ashar). Apabila beliau berangkat setelah tergelincirnya matahari, shalat jamak Zhuhur dan Ashar kemudian beliau berangkat. Jika berangkat sebelum Maghrib, beliau mengakhirkan Maghrib sampai waktu Isya, dan mengerjakannya beserta Isya. Jika berangkat sesudah (masuk waktu) Maghrib, beliau menyegerakan Isya dan mengerjakan shalat Maghrib dan Isya di waktu Maghrib (HR. Ahmad no. 21589].
Pada dasarnya shalat jamak adalah sebuah rukhsah atau keringanan dalam melaksanakan kewajiban shalat karena ada alasan (udzur) tertentu, seperti bepergian, takut (dalam keadaan perang), hujan, dan lain-lain. Sedangkan qashar dapat dilaksanakan saat bepergian. Dalam hal ini keringanan shalat merupakan bentuk pemberian Allah kepada manusia, sebagaimana hadits dari Ya’la bin Umayyah di atas.
Berdasarkan keumuman dalil yang ada, menggabungkan dua cara tersebut diperbolehkan, sebagaimana keadaan yang saudara alami untuk melaksanakan secara jamak-qashar dan secara biasa (sempurna) dalam satu perjalanan (safar). Terlepas dari kebolehan mengambil ‘azimah atau rukhsah, aturan yang benar ketika saudara shalat berjamaah di masjid bermakmum bersama jamaah muqim (bukan orang yang bepergian) memang harus sempurna.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 21 Tahun 2018