Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Saya termasuk warga Persyarikatan yang terlambat mengenal Muhammadiyah dari dekat melalui dokumen sejarah awal gerakan Islam ini. Dari satu sisi, kenyataan ini tidaklah terlalu mengejutkan karena literatur yang mudah dijangkau tentang masa dini itu nyaris tidak ada. Kalau pun ada, belum tentu berwujud buku yang disebarkan secara luas.
Dari sisi lain, karya tulis para murid Kiai Ahmad Dahlan, seperti K.H. Muhammad Soedja’ dan KRH Hadjid, belum terlalu lama kita kenal. Dan itu pun jumlahnya sangat terbatas. Kemudian dokumen majalah SM (Suara Muhammadiyah) yang terbit pertama tahun 1915 jauh dari lengkap.
Sekiranya alm. DR. Kuntowijoyo tidak menemukan edisi kedua majalah ini di Leiden beberapa tahun yang lalu, jejak awal penerbitan ini semakin gelap bagi kita. Tanpa pengetahuan yang memadai tentang sumbersumber primer ini, kita tidak bisa mengatakan telah mengenal Muhammadiyah dari jarak yang dekat.
Begitu pula AD (Anggaran Dasar) dan ART (Anggaran Rumah Tangga) Muhammadiyah yang lengkap dari tahun 1912 (1330) sampai yang terakhir belum lagi dibukukan sampai sekarang. Memang alm. Mh. Djaldan Badawi telah berjasa mengumpulkan AD/ART itu dari tahun 1912 sampai Muktamar Surakarta tahun 1985, tetapi belum dalam wujud buku cetak.1
Kumpulan dokumen ini sangat penting dibaca oleh pimpinan Persyarikatan dari pusat sampai ke tingkat ranting. Sayangnya dokumen itu belum tersedia dalam bentuk cetak. Saya sudah mengusulkan kepada Penerbit Suara Muhammadiyah agar secepatnya merealisasikan usul ini dalam wujud cetak yang lengkap.
Orang mungkin akan kaget bila membaca Artikel 6 AD 1912 yang berbuyi: “Hoofbestuur [Pengurus Besar] dipilih dalam perkumpulan umum dengan suara yang sungguh-sungguh terbanyak.2 Coba dibaca ulang anak kalimat ini: “… dengan suara yang sungguh-sungguh terbanyak,” pada saat perkataan demokrasi belum lagi dikenal publik secara luas.
Ungkapan ini menunjukkan bahwa Muhammadiyah yang didirikan oleh para kiai itu sudah berfikir jauh ke depan tentang cara dan metode berorganisasi berdasarkan musyawarah, tidak main dikte oleh pemimpin tunggal. Padahal sudah dapat dipastikan dalam ‘perkumpulan umum’ itu Ahmad Dahlan akan terpilih dengan suara mayoritas mutlak. Tetapi dalam AD yang dicantumkan adalah anak kalimat di atas yang memuat pesan egalitarian yang kuat dalam situasi sejarah di lingkungan rakyat yang di atas 90% masih buta huruf.
Fakta yang tidak kurang mengejutkan adalah masalah asas atau dasar dalam AD Muhammadiyah. Dalam lacakan saya, tercantumnya dasar Islam dalam AD Muhammadiyah baru muncul tahun 1959 setelah partai-partai Muslim gagal memperjuangkan Dasar Islam dalam sidang-sidang Majelis Konstituante.
Tersebut dalam Fasal 2 AD 1959: “Persyarikatan berasaskan Islam.3 Dengan demikian, selama 47 tahun dalam AD Muhammadiyah tidak memakai dasar apa pun. Saya tidak keberatan asas Islam itu dicantumkan dalam AD. Tetapi kenyataan menyatakan bahwa tanpa mencantumkan asas Islam itu, apakah selama 47 tahun Muhammadiyah dinilai kurang keislamannya? Tentu saja tidak. Sekiranya kita membaca dokumen tentang AD ini, maka perdebatan tentang asas Persyarikatan dalam Muktamar Surakarta tahun 1985 tidak perlu terlalu sengit dan bersitegang urat leher.
Untuk perbandingan dalam masalah pemilihan pimpinan ini, sayang saya tidak sempat melacak AD Boedi Oetomo (1908) dan AD Sarekat Islam (1911), apakah ada artikel yang mirip dengan AD Muhammadiyah tahun 1912 itu. Tetapi sudah sangat jelas bahwa Muhammadiyah sejak awal berdirinya telah mengusung gagasan pemilihan pimpinan “dengan suara yang sungguh-sungguh terbanyak.”
Artinya, dalam kultur Muhammadiyah, sistem pemungutan suara tidaklah sesuatu yang tabu dan haram, jika memang diperlukan. Bagi saya terobosan ini sungguh mendahului zaman, sebuah gagasan yang berasal bukan dari mereka yang berpendidikan Barat, tetapi datang dari kultur pesantren dengan para kiainya.
Pesan utama yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini adalah agar setiap pimpinan Muhammadiyah, apalagi pada tingkat PP akan sangat janggal jika dokumen-dokumen tentang masa awal terbentuknya Muhammadiyah absen dari pengetahuan mereka.
Muhammadiyah lahir bukan dalam situasi kehampaan sosio-kultural. Untuk mengenal gerakan Islam ini dari dekat tidak cukup hanya dengan mengatakan: “Asal saya mengenal Al-Qur’an dan sunnah, itulah Muhammadiyah. Perkara latar belakang sosio-kultural kelahirannya tidak teramat penting!” Cara berfikir semacam ini bercorak a’historis yang menurut Abadallah Laroui, orang dalam kategori ini akan gagal membaca realitas.4
Sekurang-kurangnya karya K.R.H. Hadjid5 dan karya HM. Sudja’’6 sebagai sumber primer patut benar dibaca oleh para pemimpin dan calon pemimpin Muhammadiyah agar mereka tidak sampai gagal membaca realitas tentang gerakan Islam ini. Kegagalan ini dapat membawa situasi terputusnya rantai pemikiran mereka dengan organisasi yang dipimpinnya. Akibatnya pasti akan bingung dalam mengambil keputusan-keputusan penting seperti yang berlaku pada Muktamar Surakarta di atas. Semoga bermanfaat.
- Lih. Mh. Djaldan Badawi, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, 1912-1985. Yogyakarta: Sektariat PP Muhammadiyah Yogyakarta, 1998.
- Ibid. hlm. 2.
- Ibid. hlm. 67.
- Lih. Abdallah Laroui, The Crisis of the Arab Intellectual: Traditionalism or Historicism? Terj. Diarmid Cammell. Berkeley: University of California Press, 1976, hlm. 154.
- K.R.H. Hadjid, Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah dan Kelompok 17 Ayat al-Qur’an (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018).
- H.M. Sudja’, Cerita Tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan: Catatan Haji Muhammad Sudja’. (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018). Karya ini pernah pula terbit tahun 1993 di bawah judul: Moehammad Soedja’, Cerita Tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan. (Jakarta: Rhineka Cipta, 1993).
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 4 Tahun 2019